Nasional

Klasifikasi Santri di Pusaran Realitas Politik

Kamis, 3 Oktober 2019 | 22:00 WIB

Klasifikasi Santri di Pusaran Realitas Politik

Zainuddin Syarif saat menjadi panelis pada AICIS 2019 di Hotel Mercure Batavia, Jakarta, Kamis (3/10). (NU Online/Syakir NF)

Jakarta, NU Online

Sejak dahulu, sejumlah kiai sudah berkiprah di dunia politik. Mereka duduk sebagai wakil rakyat dan menyuarakan aspirasi yang diwakilinya. Dunia politik terus berdinamika seiring berkembangnya zaman. Pun dengan pola pikir masyarakat pesantren, meliputi kiai dan santrinya.

 

Terhadap realitas demikian, pengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura, Zainuddin Syarif mengelompokkan santri kedalam tiga bagian.

 

Pertama, secara hubungan prismatik, santri terbagi menjadi dua, yakni santri yang patuh penuh dan santri yang semi-patuh. Santri jenis pertama ini, katanya, yang sam’an wa tha’atan atas apapun perintah kiainya. Ia betul-betul tidak punya pilihan selain apa yang telah kiainya tentukan. Sementara santri jenis kedua ialah santri yang sebetulnya sudah memiliki pilihan sendiri, tetapi ia meninggalkannya demi kepatuhannya kepada sang kiai, entah karena khawatir tidak dapat berkah atau takut kualat.

 

“Dia akan mendapatkan kehidupan yang sengsara kalau tidak ikut. Pilihan politik itu pupus. Maka terpaksa dia harus mengikuti pilihan kiainya,” ujarnya saat diskusi panel Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2019 di Hotel Mercure Batavia, Jakarta, Kamis (3/10).

 

Berbeda persoalannya ketika santri sudah berbaur dengan masyarakat, entah sudah menjadi alumni, mahasiswa, ataupun pindah ke pondok lainnya. Mereka ini, jelasnya, masih mempunyai rasa ikatan dengan kiainya sebagai panutan keagamaannya, tetapi lain soal terkait pilihan politiknya.

 

Kedua, santri yang terlibat aktif dalam dukung-mendukung aktor politik tertentu, atau bahkan dirinya yang menjadi aktor politik. Hal demikian memungkinkan santri dan kiai berada di kubu yang berseberangan. Pada santri yang demikian ini, Zainuddin melihat ada santri yang berani untuk tidak hanya sekadar berlawanan, tetapi menjatuhkan atau menjelekkan.

 

“Yang dilihat bukan kiainya lagi, tapi persoalan konflik pertaruhan politik. Dia menggunakan ujaran kebencian, bahkan berani menjelekkan kiainya,” katanya.

 

Zainuddin menyebut kecenderungan saat ini ada pada jenis kedua ini. “Ini kecenderungan sekarang,” katanya dalam konferensi yang bertema Digital Islam, Education, and Youth: Changing Landscape of Indonesian Islam itu.

 

Terakhir, Zainuddin menyebut santri ketiga adalah mereka yang sudah tercampuri dengan ideologi baru transnasional. Ini biasanya alumnus pesantren yang menamatkan studinya juga di Timur Tengah. Selepas kembali ke tanah air, mereka menggunakan jubah dalam kesehariannya.

 

Lebih lanjut, santri ideologis ini, katanya, mengedepankan bahwa pemerintahan disetir komunis, marxis dan dibenturkan dengan khilafah.

 

Pewarta: Syakir NF

Editor: Aryudi AR