Nasional

KontraS: Kultur Militeristik yang Masih Melekat di Tubuh Polri Jadi Akar Kekerasan Polisi kepada Rakyat

NU Online  ·  Selasa, 11 November 2025 | 16:30 WIB

KontraS: Kultur Militeristik yang Masih Melekat di Tubuh Polri Jadi Akar Kekerasan Polisi kepada Rakyat

Ilustrasi barisan polisi sedang mengamankan jalannya demonstrasi di Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya menilai kultur militeristik yang masih melekat dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia menjadi akar dari praktik kekerasan aparat kepada rakyat.


Menurutnya, reformasi kepolisian setelah 1998 yang bertujuan menjadikan Polri sebagai institusi berwatak sipil berjalan tidak tuntas dan semakin kehilangan arah.


“Kultur militeristik masih melekat kuat dalam tubuh kepolisian. Pemisahan dengan TNI belum benar-benar meluruhkan budaya kekerasan ala militer,” ujarnya dalam Seminar Publik Konferensi Nasional Kebebasan Sipil 2025 bertema Memperluas Partisipasi, Melawan Represi yang diselenggarakan secara daring oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Selasa (11/11/2025).


Dimas menegaskan bahwa kekerasan oleh aparat kepolisian terhadap masyarakat terjadi secara berulang karena reformasi institusional yang belum dijalankan secara menyeluruh.


Ia menegaskan bahwa watak militeristik, lemahnya pengawasan, dan regulasi yang belum memadai membuat Polri sulit bertransformasi menjadi lembaga yang mengayomi masyarakat.


Dimas mencontohkan satuan-satuan tertentu, antara lain Brimob dan Densus 88, yang masih beroperasi dengan pola pikir dan strategi yang menyerupai lembaga militer.


“Kultur kekerasan ini masih menjadi fitur utama kepolisian, padahal idealnya polisi adalah pelindung masyarakat, bukan ancaman bagi warga sipil,” tambahnya.

KontraS mencatat bahwa selama lima tahun terakhir, terdapat 719 peristiwa kekerasan kepolisian yang berkaitan dengan pembatasan kebebasan sipil. Dari jumlah itu, 14 orang meninggal dunia, 1.828 mengalami luka-luka, dan 12.454 orang ditangkap.


“Penangkapan massal terbesar sekitar 5.000 orang pada peristiwa Agustus 2024, sebagai penangkapan kolosal terbesar pasca reformasi,” kata Dimas.


Selain persoalan kultur, Dimas menyebut adanya masalah instrumental dalam menjalankan fungsi pokok kepolisian sebagai pelindung, pengayom, dan penegak hukum. Ketiadaan mekanisme pengawasan yang kuat membuat Polri memiliki otoritas yang sangat besar tanpa mekanisme koreksi yang memadai.


“Masalahnya, tanpa adanya kerja-kerja pengawasan, lembaga kepolisian Republik Indonesia menjadi lembaga super power, lembaga yang terlalu besar dan masif dalam tugas dan fungsinya, tetapi sangat minim pengawasan maupun koreksi dari masyarakat dan lembaga-lembaga kekuasaan lainnya,” ujarnya.


Ia menambahkan bahwa model kelembagaan seperti ini berbeda dengan struktur kepolisian di beberapa negara lain. Di Amerika Serikat, misalnya, terdapat pembagian yang jelas antara aparat penegak hukum federal dengan kepolisian lokal yang mengurusi administrasi dan lalu lintas.


“Di Indonesia, semua urusan mulai dari administrasi warga seperti pembuatan SIM dan SKCK masih dipegang oleh kepolisian,” kata Dimas.


Menurutnya, situasi menjadi semakin problematik ketika aparat penegak hukum memiliki kewenangan menilai moralitas warga negara dalam penerbitan SKCK.


“Bayangkan, tidak ada satu pun lembaga lain yang memiliki kewenangan untuk saling melengkapi dalam menentukan kelakuan warga negara,” ujarnya.


Ia juga menyinggung kasus internal seperti skandal Ferdy Sambo yang mencerminkan lemahnya sistem pengawasan internal kepolisian.


“Secara institusional, Polri mengalami problem serius yaitu perilaku koruptif, nepotisme, hingga penyalahgunaan wewenang di level pimpinan. Kasus Ferdy Sambo adalah cerminan bagaimana sistem pengawasan internal lumpuh,” tegasnya.


Sementara itu, Manajer Program PSHK Violla Reininda menilai bahwa kekerasan aparat merupakan bagian dari kecenderungan otoritarianisme baru di Indonesia.


“Kami memotret adanya watak autocratic legalism, di mana hukum digunakan bukan untuk melindungi warga, tapi untuk menjaga kekuasaan dan merepresi kebebasan,” ujarnya.


Menurut Violla, pelemahan lembaga-lembaga demokrasi seperti KPK dan Mahkamah Konstitusi turut mempersempit ruang kebebasan sipil.


“Reformasi institusional kepolisian tidak akan berarti tanpa perbaikan sistem demokrasi secara menyeluruh,” pungkasnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang