Nasional

Logika Sederhana Gus Baha Merespons Beda Penentuan Awal Ramadhan

Selasa, 18 Februari 2025 | 10:00 WIB

Logika Sederhana Gus Baha Merespons Beda Penentuan Awal Ramadhan

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha). (Foto: dok. NU Online)

Jakarta, NU Online

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menjelaskan titik perbedaan beberapa organisasi masyarakat dalam menentukan awal Ramadhan atau bulan hijriah lainnya seperti Syawal dan Dzulhijjah.


Gus Baha lalu mencontohkan, titik perbedaan antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yaitu terletak ketika hilal sudah melewati ufuk apakah harus 2 derajat atau yang penting lewat saja meskipun satu derajat. 


"Kalau secara Muhammadiyah, yang menentukan, bahwa jika sudah melewati ufuk maka sudah masuk tanggal 1. Setiap sudah melewati ufuk, maka hilal sudah berganti. Hilal itukan maknanya tanggal," jelasnya seperti dikutip dari Youtube Santri Gayeng, Selasa (18/2/2025).


Gus Baha menambahkan, sikap Muhammadiyah ini mengikuti pendapat ahli falak yang mengatakan bahwa bulan baru akan ditetapkan jika sudah melewati ufuk secara hisab wujudul hilal. Untuk ukuran lewatnya, tidak ditentukan, karena hakikatnya lewat berarti sudah berganti.


Gus Baha lalu memberikan contoh lain, apakah tahun 2001 bisa dikatakan abad 21, padahal baru lewat satu tahun. Secara hakikat sudah lewat, tapi belum bisa dikatakan abad 21 secara sempurna.


"Ada ahli falak berpendapat, pokoknya jika sudah melewati ufuk, baik 1 derajat, 2 derajat, 2,5 derajat, maka ganti bulan. Ini benar secara hakikat. Tapi secara hukum masih diperdebatkan. Karena menunggu melihat hilal dulu," imbuhnya.


Sedangkan Nahdlatul Ulama, meskipun secara hisab wujudul hilal diketahui sudah melewati ufuk, tapi tetap harus menunggu melihat hilal langsung. Dengan alasan, hukum bergantung dengan apa yang dilihat. 


Logika sederhananya, kata Gus Baha, ada seorang santri diminta menghormati tamu yang akan datang. Beberapa waktu kemudian tamu tersebut datang, tapi dia hanya diam di depan gerbang dan tidak mengucapkan salam. Sehingga santri yang diminta menghormati tadi tidak melihat secara langsung tamu tersebut. Dalam hal ini, santri tersebut tidak salah. 


"Kalau model Nahdlatul Ulama, hukum itu menunggu melihat, kalau belum melihat tidak jadi. Hukum itu ta'alluq (berkaitan) dengan melihat. Ini sama benarnya. Maka harus ada ru'yatul hilal bil fi'li, bisa dilihat secara nyata," ujar ulama asal Rembang ini. 


Gus Baha menegaskan, perbedaan cara melihat hilal ini tidak perlu dijadikan masalah besar. Hal tersebut menandakan bahwa tradisi ilmu jalan. Karena tradisi ulama yaitu terbiasa dalam pendapat yang berbeda dengan dasar kajian masing-masing.


Perbedaan pendapat tidak perlu disikapi dengan cara menyalahkan dan menjelekkan satu dengan yang lain. Karena ulama ketika berbeda pendapat tetap bisa hidup bersama dan kerja sama dalam berbagai hal. 


"Saya biasa saja melihat perbedaan, alhamdulillah masih punya tradisi ilmu. Ulama tetap berpendapat bahwa jika terjadi perbedaan pendapat tentang hilal, maka biarkan berbeda," ucap Gus Baha.