Nasional Dinamika Media NU I

Majalah, Pendamping Setia NU

Rabu, 7 November 2012 | 06:17 WIB

Nahdlatul Ulama memiliki sejarah panjang di bidang media, utamanya majalah. Perjalanan media di NU tak terpaut lama dengan NU itu sendiri.

<>

Sebab, tak lama setelah NU lahir di Surabaya tahun 1926, terbit majalah bulanan berbahasa Jawa bernama Swara Nahdlatoel Oelama, terbit pertama bulan Juni 1927. 

Disusul munculnya majalah Oetoesan Nahdlatoel Oelama, Januari 1928. Kemudian majalah Berita Nahdlatul Oelama, tahun 1931. Tiga majalah itu hidup berdampingan. Majalah yang disebut terakhir masih terbit hingga tahun 1953.

Informasi bahwa tiga majalah itu pernah terbit dalam waktu bersamaan ada di Oetoesan Nahdlatoel Oelema Nomor Pertama. "NU seyogyanya tidak hanya menerbitkan majalah Swara Nahdlatoel Oelama yang berhuruf Pego dan berbahasa Jawa, namun menerbitkan majalah berbahasa Melayu dan berhuruf latin," itulah pengantar Oetoesan Nahdlatoel Oelema. Di terbitan itu juga tertera iklan bersama majalah Swara NO dan Oetoesan NO.

Ketika GP Ansor lahir, tak lama juga menerbitkan majalah: Soeara Ansor. Majalah bernama Soeloeh NU juga terbit mendampingi berdirinya Lembaga Pendidikan Ma'arif.  

Begitu juga ketika ada konsolidasi sosial warga NU lewat Lailatul Ijtima', terbit pula Buletin Lailatul Ijtima' Nahdlatoel Ulama (Buletin LINO). Ketika didirikan MIAI dan diterbitkan majalah bernama Soeara Muslimin Indonesia, aktivis dari NU-lah yang menjaga majalah tersebut.

Tahun 50-an, ketika NU keluar dari Masyumi,lalu mendirikan Partai NU, didirikan pula koran yang berskala nasional: Duta Masyaratkat. Koran tersebut berhasil, bukan hanya melahirkan dan mengader penulis-penulis handal di lingkungan NU, tapi juga menjadi bacaan masyarakat luas, bukan hanya NU.

Momentum lahirnya IPNU juga tercatat dan digerakkan oleh majalah bernama Chazanah, begitu juga Sarbumusi yang memiliki buletin Berkala Sarbumusi. Dan Misi Islam menerbitkan majalah dengan tulisan-tulisan memikat pada jamannya: Risalah Islamiyah.

Menghadapi Muktamar NU 1984 di Situbondo, aktivis muda NU mempersiapkan buletin stensilan yang disebarkan ke pengurus cabang, pesantren, dan kiai: Buletin Khittah. Pasca muktamar, suasana NU menjadi segar dengan konsep Khittah yang bersejarah itu. Suasana itu tercermin pada tabloid "hasil" muktamar bersejarah: Warta NU. Terbitan perdana menampilkan berita utama yang gagah, "NU dengan Gerak Baru". 

Jurnal Tashwirul Afar terbit pertama kali saat Muktamar Cipasung yang "genting" itu. Meski baru terbit lagi tahun 1997, jurnal tersebut sampai sekarang masih terbit dan menjadi satu-satunya jurnal yang terbit dari ormas serta beredar luas di masyarakat. Majalah Santri telah berhasil mengikuti dinamika RMI, demikian juga jurnal Pesantren.

Sekelumit catatan di atas tergambar bahwa babak-babak sejarah penting NU selalu diikuti oleh lahirnya media. Ini artinya, sejak awal NU sadar bahwa media menjadi salah satu aktor utama dalam gerak NU. Dari catatan di atas juga tergambar bahwa NU sangat lekan dengan dunia keilmuan atau keulamaan. Ya, namanya juga ulama, mereka tak bisa "hidup" tanpa ilmu yang tertata rapi dan teruji.

Masih banyak lagi media-media yang tidak tercatat dalam pengantar ini, terutama yang terbit di daerah, seperti al-Madaizd di Tasikmalaya, Aula di Surabaya, Bangkit di Jogja, Suara NU di Jawa Tengah serta media-media elektronik (radio) yang tidak terpantau satu per satu. Dan ketika revolusi teknologi informasi bergulir, NU tak mau ketinggalan, tumbuh di mana-mana website NU yang menembus batas-batas geografis, baik yang dikelola secara amatir ataupun profesional. 

NU Online, dengan segenap kekuarangan dan kelebihannya, telah berhasil menampilkan NU di dunia maya. Dan hari ini, kerinduan warga NU akan media audio visual pelan-pelan terobati dengan hadirnya TV9, meski terbatas di Surabaya.

Dengan catatan di atas, timbul harapan bahwa NU patut diperhitungkan di kancah media. Namun, pada saat yang bersamaan muncul pula kendala dan problem-problem dalam pengelolaan media. Ada pertanyaan mengemuka, dari banyaknya media di NU, adakah benang merah yang bisa ditarik? Bahkan ada pertanyaan yang lebih mendasar, apakah media-media itu punya cita-cita yang sama dengan organisasi induknya: NU? (Hamzah Sahal)