Nasional LITERASI DIGITAL

Mengapa Santri Perlu Mengabadikan Ilmu Gurunya dalam Ruang Digital?

Senin, 26 September 2022 | 03:00 WIB

Mengapa Santri Perlu Mengabadikan Ilmu Gurunya dalam Ruang Digital?

Seminar literasi digital di Pesantren Al-Hikmah 2 Benda, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Ahad (25/9/2022).

Brebes, NU Online

Wakil Ketua Lembaga Ta’lif Wan Nasyr (LTN) PBNU, Rahmat Sahid mendorong santri meniru Plato dalam mengabadikan kegiatan ilmiah bersama sang guru. Dalam hal ini, santri perlu mengabadikan ilmu-ilmu gurunya ke dalam ruang-ruang digital. 


Plato adalah murid dari Socrates. Dikarenakan apa yang dikenal sebagai pemikiran Socrates pada dasarnya berasal dari catatan Plato, Xenophone (430-357) dan siswa-siswa lainnya. Paling terkenal adalah penggambaran Socrates dalam dialog-dialog yang ditulis Plato.


“Jika Plato tidak menulis tentang Scocrates dan memiliki murid Aristoteles maka mungkin ilmu filsafat tidak sampai pada kita. Santri perlu mengabadikan gurunya di dunia digital,” jelas Rahmat Sahid saat seminar literasi digital di Pesantren Al-Hikmah 2 Benda, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Ahad (25/9/2022).


Menurut Rahmat, dunia digital memberikan kesempatan luar untuk santri mengabadikan guru dan ulama lewat berbagai fasilitas teknologi.


Sementara ini, bagi yang literasinya mengamati dari dongeng dan film, maka tahunya ulama hanya seperti yang muncul di sinetron dan film misteri. Ulama lokal yang hebat tidak dikenal.


“Ketika sosok ulama atau guru ditulis oleh orang yang mengalami ngaji langsung bersamanya akan berbeda rasa dan nilainya tulisan dengan penulis lainnya,” ungkap Rahmat.


Menurut dia, dengan begitu banyak santri yang memanfaatkan kemajuan teknologi, maka ketika seseorang mengklik di google tentang ulama Brebes yang muncul adalah ulama dengan sanad keilmuan yang jelas.


“Setidaknya Mbah Kiai Idris ada jejak digitalnya, Abah Kiai Mashuri akan dikenal dengan berbagai kelebihannya sehingga ketika diketik Ulama Brebes maka yang muncul Abah Mashuri dan ulama besar lainnya,” jelas Rahmat.


Baginya, literasi digital yang perlu dipahami oleh kaum nahdliyin bukan meninggalkan ajaran luhur dari pendahulu dan beralih ke tradisi baru yang fenomenal. Namun, tetap merawat tradisi atau ajaran baik untuk hidup di era teknologi.


Santri diajarkan sikap jujur dan amanah, sehingga di dalam menulis dan bermedia sosial sikap ini tetap dipertahankan. Dala bahasa lain, menyambut era digital dengan tetap meniru nilai luhur yang diajarkan pendahulu. Santri perlu menyambungkan sanad guru yang luar biasa dengan dunia digital.


“Sekarang anak muda tidak pernah belajar memegang handphone, tapi pintar menggunakannya. Maka manfaatkan untuk hal baik seperti mengabadikan guru dan ulama di dunia digital. Merekam ulama lokal,” ungkapnya.


Sementara itu, penulis buku Ulama Brebes, Lukman Hakim menjelaskan bahwa menulis hal baik bisa dimulai dari hal di sekitar dan dekat dengan penulis. Tidak usah berpikir menulis itu harus baik. Paksakan dulu saja menulis apa adanya.


“Saya dulu takut tulisan saya dikritik, padahal kalau tulisan kita dikritik berarti tulisan kita dibaca. Maka saya mengubah pemikiran, tetap lanjut menulis,” kenangnya.


Katanya, menulis bisa dimulai dari pengalaman ngaji bersama kiai, bahas materi ngajinya, bisa juga menulis kisah-kisah yang disampaikan kiai saat mengaji. 


Bisa juga menulis resensi kitab, profil tokoh, hal menarik dari tokoh dan kitab, analisis kitab fathul qarib. Ada contohnya, tulisan tentang nadzom Alfiyah jadi kaidah berpolitik.


Bisa juga menulis sederhana tentang teman yang berprestasi. Mengambil pelajaran dari cara mereka belajar, membagi waktu, cara bangkit. Dakwah lewat bicara perlu diseimbangkan dengan dakwah lewat tulisan.


“Tulisan serius kadang lakunya di dunia akademik, di masyarakat umum kurang tepat. Tulisan sederhana dan memberikan solusi lebih menarik. Bisa juga menulis cara kiai mengatasi masalah,” tandas Lukman.


Kontributor: Syarif Abdurrahman

Editor: Fathoni Ahmad