Nasional OBITUARI

Kiai Abdul Ghofir Nawawi, Dari Cirebon Sebar Kerukunan Beragama di Gorontalo

Senin, 20 Mei 2019 | 23:00 WIB

Kiai Abdul Ghofir Nawawi, Dari Cirebon Sebar Kerukunan Beragama di Gorontalo

KH Abdul Ghofir Nawawi

Gorontalo, NU Online
Kabar duka datang dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Gorontalo dan Keluarga Besar Nahdlatul Ulama Gorontalo, Senin, 20 Mei 2019. Sesepuh NU, pengasuh, pendiri Salafiyah Syafi’iyah, KH Abdul Ghofir Nawawi meninggal dunia sekitar pukul 13.15 WITA. Sang Guru meninggal dunia setelah dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bumi Panua, Pohuwato.

KH Abdul Ghofir Nawawi meninggal dunia pada usia 69 tahun. Almarhum meninggalkan seorang anak dan empat orang cucu. Isterinya, almarhumah Mahani Suweleh binti Abdullah Suweleh telah mendahuluinya menghadap Sang Khalik pada tahun 2006.

Sebelumnya, KH Abdul Ghofir Nawawi merupakan santri dari Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Dia mendirikan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah pada tahun 1976. Di sisi lain, KH Abdul Ghofir Nawawi dikenal sebagai salah satu tokoh agama yang paling dihormati baik di Kabupaten Pohuwato maupun Provinsi Gorontalo pada umumnya. Itu karena perjuangannya, khususnya dalam dunia pendidikan.

Bahkan atas perjuangannya itu, pria asli Cirebon, Jawa Barat itu diberi penghargaan dari Kementerian Agama RI. Kabar duka ini pun sudah tersebar di media sosial. Tak sedikit warganet mengucapkan belasungkawa atas kepergian Rais Syuriyah PWNU Gorontalo itu.

Riwayat Kelahiran dan Pendidikan

KH Abd Ghafir Nawawi Bin Kiai Nawawi bin Murda’i bin Salam, lahir di Cirebon, pada Senin Pahing 27 Oktober 1947 M atau bertepatan dengan 17 Ramadhan 1366 H. Riwayat pendidikan almarhum adalah SR Kedondong Kecamatan Susukan Cirebon 1960; MTs Pondok Pesantren Wathaniyah Arjawinangun Cirebon tahun 1964; MA AIN Pondok Pesantren Buntet Cirebon 1966.

Ia juga belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah, serta meluluskan S1 Universitas Syeikh Yusuf Jakarta tahun 1970. Almarhum memperoleh beasiswa dan Gelar MA (Honoris Causa) disiplin ilmu Perbandingan Agama dari Rabithan Alam Islami, Timur Tengah tahun 1978.

Di bidang organisasi, almarhum aktif sebagai pengurus IPNU Cirebon 1964, pengurus GP Ansor di Cirebon 1967, Dai Pembangunan Rabithah Alam Islami Makkah tahun 1978 sampai 2010; dan sejak 1988 hingga wafatnya ia merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah.

Almarhum juga aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulut Tahun 1995-2000; Rais Syuriyah PWNU Sulut 1995-2000, Tim Perumus Pembentukan Provinsi Gorontalo tahun 2000, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Gorontalo Tahun 2001- 2005, Tim 8 Pembentukan Kabupaten Pohuwato tahun 2002, serta Rais Syuriyah PWNU Gorontalo sejak tahun 2006 sampai wafatnya.

Sejarah Pengabdian Dakwah

Setelah lulus MA tahun 1966 Pimpinan Pondok Pesantren Wathaniyah, Mbah Syatori yang merupakan murid langsung dari Hadratusyaikh KH Hasyim Asy’ari meminta santrinya untuk diutus berdakwa ke wilayah Timor Timur, Flores dan Kupang. Karena takzim almarhum kepada kiainya, hanya almarhumlah yang sanggup mengamban amanah dengan bekal wirid dan uang secukupnya berdakwah ke Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang saat itu bergejolak.

"Beliau sempat dianurgahi penghargaan Pangkat Sersan II TNI AD oleh Pemerintah RI," tutur adik almarhum, KH Abdul Ghofur Nawawi.

Sepulangnya dari Timur Timur, Abdul Ghofir kemudian kembali ke kampung orang tuanya, karena orang tua tidak menginginkannya masih menjadi anggota aktif TNI, bahkan diminta mengambalikan SK dengan jabatan Sersan II tersebut.

Tahun 1977, ia mengikuti Seleksi Nasional Dai Pembangunan atas perintah dari KH Fuad Amin, menantu KH Syatori dan KH Mustahdi, pendiri Pesantren Tahfidz Winong. Kiai Fuad Amin juga merupakan saudara sepupu dari KH Mahrus Ali Lirboyo. Hal itu juga direstui oleh KH Ali Kamali.

Pada tahun 1978, dari hasil seleksi tersebut kemudian ditempatkan pada Pondok Pesantren Alhuda Kotamadya Gorontalo. Sembari mengajar ia berdakwah. Karena dalam berdakwah ia tegas dan keras, Pemerintah Orde Baru saat itu melarangnya melanjutkan dakwahnya di masjid-masjid dan berupaya memindahkan atau memulangkan ke Jakarta.

Kiai Abdul Ghofir pernah ditawari menjadi PNS di Departeman Sosial, tetapi ia menolaknya. Saat itu ia berada di Kupang. Begitu pula saat berdakwah di Grontalo berlaku hal yang sama, ketika ditawari kembali diangkat menjadi PNS di Departeman Agama, lagi-lagi ia menolak. 

Terpilih menjadi Dai Pembangunan terbaik se-Indonesia saat itu, ia memperoleh hadiah melaksanakan ibadah Haji di Tanah Suci oleh Rabithah Alam Islami tahun 1981. Saat itu pula ia diberi gelar MA (Honoris Causa).

Sekembalinya ke Gorontalo, ia ditugaskan di UPT Trans Marisa 1 Sub A yang sekarang menjadi Manunggal Dab Sub B sekarang menajdi Banuroja, Marisa 2 Sub A yang sekarang menjadi Sari Murni dan Sub B sekarang Menjadi Sidorukun, Marisa 3 Sub A menjadi Pancakarsa 1 dan Sub B sekarang menjadi Pancakarsa 2, Marisa 4 Sub A sekarang Kalimas dan Sub B sekarang Tirto Asri, Malango dan Marisa 5 sekarang Mekarti Jaya. Marisa 6 Sub A, Sub B dan Sub C sekarang Puncak Jaya.
 
Pada tahun 1983-1984, sebagai Dai Pembangunan melaksanakan dakwah melalui metode door to door (dari rumah ke rumah), desa ke desa sampai ke wilayah transmigrasi Marisa 4 yang sekarang menjadi Kecamatan Taluditi. Hal itu sebagai realisasi tugas atau amanah utusan Rabithah Alam Islami yang berpusat di Makkah. Ia juga ditugaskan di Kabupaten Gorontalo tepatanya di Kecamatan Marisa (wilayah transmigrasi Randangan) sampai berdirinya Madrasah Ibtidaiyah tahun 1985. 

Tahun 1988 ia mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat yang menghasilkan keputusan untuk mendirikan Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah dan melanjutkan mendirikan MTS, MA, SMK, Madrasyah Diniyah dan TK Salafiyah Syafi’iyah yang kesemuanya berada dalam lingkungan Yayasan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah.

Tahun 1996 bulan Desember ia mendirikan Majelis Taklim Akbar yang pertama kali dilaksankan di Marisa 5. Majelis ini melaksanakan pengajian setiap bulan sekali yang sampai kini masih berjalan aktif. Dari hasil akhir perjuangan panjangnya, khususnya di Pohuwato, ia memimpikan wilayah Randangan Taluditi sebagai miniatur Indonesia pada aspek kerukunan antarumat beragama. (Abdullah Diko&Murdani Mokodongan/Kendi Setiawan)