Nasional

Miskomunikasi, Evaluasi UU Otsus di Papua Terhambat

Senin, 14 Desember 2020 | 15:15 WIB

Miskomunikasi, Evaluasi UU Otsus di Papua Terhambat

Gus Dur bersama masyarakat Papua. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Beberapa waktu lalu Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga kultural di Bumi Cendrawasih menggelar Rapat Dengar Pendapat Wilayah (RDPW) di lima wilayah adat untuk mengevaluasi Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) terhadap orang asli Papua. 


Namun gelaran itu dihambat, bahkan dijaga ketat oleh pihak keamanan karena RDPW tersebut dianggap bertentangan dengan politik negara. Hal itu pun akhirnya menghambat MRP untuk bisa mendengar pendapat orang asli Papua.


“Ini yang terjadi,” kata Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Papua Tony Wanggai dalam Ziarah Pemikiran bertajuk Gus Dur dan Papua yang merupakan rangkaian dari agenda Temu Nasional (Tunas) Gusdurian 2020, pada Sabtu (12/12).


Menurutnya, perlu ada komunikasi yang baik. Sebab RDPW yang dilakukan MRP itu dijamin oleh undang-undang. Kata Tony, dijamin bahwa untuk perubahan terhadap UU Otsus harus meminta pendapat orang asli Papua. 


“Di dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2004 juga begitu (diatur). Di dalam UUD 1945 pun kebebasan berpendapat diatur. Harusnya kan terserah masyarakat mau berpendapat apa, nanti tinggal pemerintah yang bagaimana,” tegas Tony.


“Misalnya masyarakat mengatakan ketidakpuasan, menyatakan UU Otsus gagal, atau misalnya suara yang lebih keras lagi. Nanti tinggal pemerintah pusat mengoreksi kinerja gubernur, bupati atau walikota. Misalnya ada apa sampai masyarakat mengatakan begitu atau seperti apa mengelola uangnya,” sambungnya.


Sebagai anggota MRP, Tony merasa ada miskomunikasi yang terjadi sehingga RDPW di lima wilayah adat beberapa waktu lalu itu tidak berjalan dengan baik. Bahkan di Merauke, anggota MRP ada diborgol padahal belum mengadakan kegiatan apa pun.


“Belum menggelar kegiatan tapi sudah diduga bahwa akan melakukan putusan dengan negara. Kemudian berapa anggota MRP dan staf ahlinya diborgol oleh pihak kepolisian di Merauke. Padahal Merauke kan punya hak imunitas,” kata Tony.


Menurutnya tensi politik pada 2000 lalu jauh lebih tinggi daripada 2021 yang akan berakhirnya Dana Otsus. Dengan begitu, Tony meminta pemerintah untuk lebih memberikan kebebasan berdemokrasi kepada orang asli Papua.


“Itu yang kami sangat prihatin (soal kebebasan berdemokrasi di Papua),” pungkasnya.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad