Nasional

Pakar Komunikasi Usulkan ‘Hari tanpa Hoaks dan Ujaran Kebencian’

Jumat, 4 Januari 2019 | 18:02 WIB

Pakar Komunikasi Usulkan ‘Hari tanpa Hoaks dan Ujaran Kebencian’

Kampanye Anti Hoaks (ant)

Jakarta, NU Online
Pakar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio mewanti-wanti agar masyarakat lebih berhati-hati pada konten media sosialnya. Pasalnya setiap postingan di media sosial yang menyalahi aturan perundang-undangan berpotensi untuk menimbulkan masalah bagi pemiliknya di kemudian hari. 

Ia mengatakan banyak kasus yang menjerat pemilik akun media sosial yang melanggar aturan, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). “Memiliki akun media sosial itu sebenarnya tidak mudah, karena mereka harus bisa mengontrol dan harus bisa memilah, kira-kira pesan-pesan apa saja yang boleh disampaikan dan tidak. Ini yang harus diperhatikan para pemilik akun media sosial,” ujar Hendri Satrio di Jakarta, Jumat (4/1).
 
Walaupun saat ini sudah ada UU ITE, namun beberapa orang tetap menyebarkan konten yang tidak bertanggung jawab dengan menggunakan beberapa trik untuk menghindari jeratan undang-undang. “Ragam kata dan makna Bahasa Indonesia yang luas bisa dimanfaatkan dengan berbagai cara untuk menghindari UU ITE tersebut,” ucapnya.
 
Oleh karena itu, lanjutnya, yang paling penting adalah memberikan edukasi yang baik untuk pada masyarakat sehingga menyadari bahayanya konten negatif seperti hoaks dan ujaran kebencian. Misalnya dengan mengampanyekan hari anti hoaks dan hari anti ujaran kebencian.

Menurut dia, kedua hal itu bisa dimulai dari hari anti hoaks (hoax free day) terlebih dahulu. “Karena dengan adanya hoaks free day itu tentunya masyarakat akan mencoba minimal untuk diperkenalkan bahwa hari ini kita tidak bisa mengeluarkan kata-kata atau berita hoaks. Setelah itu masyarakat kita ajak untuk tidak melakukan ujaran kebencian melalui hate free day tersebut,” tuturnya
 
Ia juga mengatakan bahwa berkurang atau tidaknya konten hoaks di media sosial bergantung pada dua hal: pertama kebijakan pemerintah dalam melakukan pencegahan dan hukuman atas konten negatif di media sosial, dan kedua pada contoh yang diberikan oleh panutan masyarakat.
 
Kedua hal itu berkaitan dengan tingginya karakter masyarakat Indonesia yang bergantung pada pemimpinnya. “Misalnya dari para capres-cawapres itu memang harus menyampaikan untuk tidak memberikan hoaks atau tidak mengeluarkan kebencian-kebencian,” katanya.

Menurutnya, baik pasangan capres-cawapres, tim kampanye , para relawan dan para simpatisan harus pandai-pandai dalam menahan diri untuk menggunakan hoaks dan ujaran kebencian untuk kepentingan politik. (Ahmad Rozali)