Nasional HARI BURUH

Pandemi Covid-19 Jadi Sebab Jutaan Pekerja dalam Risiko

Jumat, 1 Mei 2020 | 15:30 WIB

Pandemi Covid-19 Jadi Sebab Jutaan Pekerja dalam Risiko

Di tengah pandemi Covid-19, pekerja di banyak sektor mengalami risiko

Jakarta, NU Online 
Pekerja berbagai sektor, termasuk buruh, merupakan salah satu kelompok yang paling terdampak selama wabah Covid-19. Briefing terbaru Amnesty International Indonesia menunjukan setidaknya pemotongan upah dan pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan yang terdampak oleh Covid-19 merupakan imbas yang paling mencolok selama pandemi ini berjalan.
 
Briefing bertajuk Covid-19 dan Dampaknya Terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia, yang dirilis hari ini, menunjukkan bahwa dampak negatif dari pandemi ini paling serius dirasakan oleh pekerja sektor padat karya. Kebijakan ‘jarak sosial’ dan ‘bekerja dari rumah’ rupanya menimbulkan permasalahan baru karena tak semua pekerja memiliki privilese ini. Mereka juga terancam mendapat pemotongan upah dan jatah cuti oleh perusahaan apabila tidak hadir di tempat kerja.
 
Amnesty mengkhawatirkan jumlah pekerja yang kehilangan hak-haknya akan semakin bertambah. Saat ini saja, Data Kementerian Tenaga Kerja (20 April) mengungkap bahwa sebanyak 2.084.593 pekerja yang berasal dari 100.000 lebih perusahaan telah sangat terdampak Covid-19. Dari jumlah itu, sekitar 1,5 juta di antaranya berasal dari sektor formal, sementara sisanya disumbang oleh sektor informal. Itu baru yang tercatat resmi.
 
“Pantauan kami menunjukan bahwa hak pekerja tergerus selama wabah ini berlangsung. Untuk itu, kami mendesak pemerintah untuk menjamin akses jaminan sosial bagi para pekerja yang kehilangan pendapatan selama pandemi. Hal ini penting agar mereka tetap bisa bertahan hidup dengan layak,” kata peneliti Amnesty International Indonesia Ari Pramuditya melalui siaran pers, Jumat (1/5).
 
“Bantuan tersebut harus mencakup akses untuk mendapatkan makanan, layanan kesehatan, rumah, air bersih dan sanitasi, sehingga memungkinkan mereka untuk mematuhi kebijakan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB.”
 
Pekerja Sektor Informal Juga Menanggung Risiko
Imbas COVID-19 juga menyasar para pekerja informal, pekerja dengan upah harian serta pekerja berupah rendah mengingat sebagian besar dari pekerja dalam kategori ini tidak terlindungi oleh sistem jaminan sosial.
 
Amnesty merujuk pada data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di tahun 2019, 57 persen populasi Indonesia bekerja di sektor informal, dan sebagian besar pekerja informal ini tak terlindungi oleh sistem jaminan sosial negara.
 
“Pihak yang berwenang di negara ini harus memastikan bahwa perusahaan mematuhi standar hak asasi manusia internasional apabila memang pemutusan hubungan kerja terpaksa dilakukan. Kehilangan pendapatan akibat PHK harus dapat dilindungi oleh bantuan Pemerintah sesuai kriteria yang ada dalam hak atas jaminan sosial,” jelas Ari.
 
“Para pekerja dari semua sektor punya hak yang sama untuk bisa bekerja dari rumah dan untuk mereka yang tidak bisa bekerja dari rumah, pemerintah harus mengeluarkan panduan yang praktis dan efektif bagi para pekerja dan perusahaan untuk memastikan mereka menyediakan perlengkapan dan fasilitas yang diperlukan untuk melindungi para pekerja dari penularan COVID-19,” tambahnya.
 
Tenaga Kesehatan Terancam
Briefing yang baru dirilis ini juga menyoroti dampak lain yang ditimbulkan Covid-19 terhadap hak asasi manusia. Proses distribusi APD (alat perlindungan diri) yang lambat di berbagai berpotensi membuat tenaga kesehatan terancam bahaya.
 
Amnesty mencatat setidaknya terdapat 46 dokter dan perawat yang telah meninggal dunia baik akibat terpapar COVID-19 atau kelelahan karena jam kerja yang panjang. Selain itu, di tingkat nasional, beberapa pekerja medis lain juga telah terinfeksi virus, termasuk sekitar 150 orang di Jakarta.
 
Temuan lain menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia belum transparan dalam mengeluarkan informasi terkait jumlah tenaga kesehatan yang terinfeksi COVID-19, serta terkait rumah sakit tempat mereka bekerja. Situasi ini justru menghambat pemenuhan hak atas kesehatan dan hak atas informasi sebagaimana diamanatkan oleh Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia.
 
“Hak asasi manusia harus menjadi fokus dari upaya pencegahan dan penanganan Covid-19. Ini penting untuk melindungi kesehatan masyarakat dan orang-orang dengan risiko terinfeksi paling tinggi,” kata Ari.
 
Pentingnya Kebebasan Berekspresi Selama Wabah
Amnesty mendesak otoritas berwenang agar berhati-hari dalam mengambil langkah-langkah yang diterapkan untuk membatasi penyebaran karena itu memiliki implikasi pada hak asasi manusia (HAM), termasuk hak pekerja medis, hak atas informasi, hak pekerja, dan hak atas jaminan sosial. Dalam briefing, Amnesty menganalisa bagaimana pelaksanaan hak-hak tersebut di Indonesia saat ini terdampak.
 
Amnesty juga menyoroti aspek penting lain -yang berhubungan dengan buruh, pekerja serta kelompok lain yang terkena dampak -yaitu kebebasan berekspresi. Amnesty telah berhasil memverifikasi paling tidak sejumlah 53 orang yang telah dikriminalisasi karena tuduhan menyebarkan "berita bohong" dan menghina Presiden serta Pemerintah terkait COVID-19. Amnesty tidak yakin bahwa jumlah tersebut merefleksikan keadaan sebenarnya, sebab kepolisian saja mengklaim bahwa saat ini pihak mereka sedang menangani 99 kasus berita bohong terkait virus corona. Amnesty akan segera menyiapkan laporan yang terkait dengan isu kebebasan berekspresi yang penting ini.
 
Amnesty khawatir adanya tren kriminalisasi pada lebih banyak orang yang menyebarkan informasi "salah dan menyesatkan" serta mengkritik tanggapan Pemerintah terhadap COVID-19, terutama setelah polisi di sejumlah provinsi melakukan patroli siber secara intensif, seperti yang dilakukan polisi di Jawa Barat, Salatiga, Sangihe, Cimahi, Barru (Sulawesi Selatan), Banyumas, dan kepolisian di provinsi lainnya.
 
“Kebijakan yang bertentangan dengan hak asasi manusia harus dihindari. Larangan untuk menyebarkan informasi berdasarkan konsep yang tidak jelas dan ambigu, seperti “berita bohong” atau “menyebarkan informasi yang salah”, akan berdampak buruk terhadap masyarakat dan media dan akhirnya mengarah pada sensor mandiri karena kekhawatiran akan munculnya tindakan keras."
 
“Khususnya bagi media, mereka memainkan peran penting dalam penyampaian informasi kepada publik tentang situasi faktual dan langkah-langkah yang diambil oleh Pemerintah dalam menanggapi COVID-19. Kapasitasnya untuk beroperasi tidak boleh dibatasi secara berlebihan, dan jurnalis serta pembela hak asasi manusia tidak boleh dikenakan pidana atau sanksi karena melakukan kegiatan yang sah, termasuk tidak boleh dipotong upahnya, apalagi di-PHK dengan alasan pandemi dan tanpa disertai perundingan dengan serikat pekerja,” kata Ari.
 
Latar belakang
Berdasarkan hukum internasional, para pekerja dengan berbagai status dan sektor pekerjaan berhak atas hak kesehatan tanpa diskriminasi, sesuai dengan Pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR). Selain itu, Paragraf 12 (b) Komentar Umum No. 14 terhadap Pasal 12 ICESCR menyatakan bahwa akses ke layanan kesehatan harus menghormati prinsip non-diskriminasi, untuk memastikan terpenuhinya hak atas kesehatan bagi semua orang, termasuk para pekerja.
 
Prinsip itu juga memuat ketentuan bahwa layanan kesehatan harus bisa diakses oleh kelompok yang paling rentan atau kelompok marjinal di tengah masyarakat. Dalam konteks pandemi ini, para pekerja di sektor padat karya dan pekerja kontrak atau pekerja informal tergolong sangat rentan terhadap penularan Covid-19 karena tidak adanya dukungan dan panduan Pemerintah yang memadai kepada pengusaha tentang tindakan perlindungan, mereka mungkin tak memiliki pilihan selain terus bekerja dalam kondisi yang berisiko bagi kesehatan mereka.
 
Di samping itu, Paragraf 16 Komentar Umum No. 14 terhadap Pasal 12 ICESCR menjelaskan bahwa pengendalian epidemi juga merupakan bagian dari hak atas kesehatan, yang mencakup program pencegahan dan strategi lain untuk mengendalikan penyakit menular.
 
Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), sebagaimana diatur dalam Komentar Umum No. 34 pada Pasal 19 ICCPR, menjamin hak kebebasan berekspresi dan berpendapat. Lebih jauh, Paragraf 9 dari Komentar Umum No. 34 menjelaskan bahwa “Semua bentuk opini dilindungi, termasuk opini yang bersifat politis, ilmiah, bersejarah, moral, atau religius.” Dengan demikian, segala jenis pelecehan, intimidasi atau stigmatisasi terhadap seseorang, termasuk penangkapan, penahanan, persidangan, atau pemenjaraan karena alasan pendapat yang mereka kemukakan merupakan pelanggaran terhadap Pasal 19 ICCPR.

Redaktur: Abdullah Alawi