Perempuan di Akar Rumput Pikul Beban Ganda Hadapi Ketidakadilan Pembangunan
NU Online · Rabu, 3 Desember 2025 | 18:30 WIB
Mufidah Adzkia
Kontributor
Jakarta, NU Online
Ketua Jaringan Jaga Deca Fatricia Ain menegaskan, perempuan di akar rumput memikul beban berlipat ganda dalam menghadapi ketidakadilan pembangunan. Hal itu tidak hanya berdampak secara langsung, tetapi perempuan juga menjadi aktor utama dalam perjuangan pemulihan dan penuntutan hak-hak masyarakat.
Menurut Fatricia, perempuan tani dan buruh kerap berada di garis depan ketika berhadapan dengan korporasi maupun aparat bersenjata.
“Perempuan itu tidak hanya memiliki dampak berlipat ganda dari pembangunan yang tidak adil, tetapi juga ternyata dalam perjuangan penuntutan hak atau pemulihan hak. Justru banyak perempuan-perempuan tani dan buruh yang berada di garis depan ketika berhadapan dengan korporasi yang dituntut maupun dengan militer yang membantu korporasi,” ujarnya dalam Diskusi bertema Pergerakan dan Ketahanan Masyarakat Sipil dalam Neo-Otoritarianisme di Indonesia yang diselenggarakan oleh Tifa Foundation yang digelar secara daring, Rabu (3/12/2025).
Selain berada di barisan terdepan, perempuan juga memegang peran penting dalam menciptakan bentuk perlawanan berkelanjutan, salah satunya melalui pengembangan pertanian pangan organik. Langkah ini bukan hanya bentuk perlawanan, tetapi juga solusi nyata menuju swasembada dan keberlanjutan pangan.
“Perempuan memiliki ide dan gagasan yang sangat baik untuk membangun perjuangan komunitas. Mereka juga sering menjadi juru bicara yang lebih efektif dalam menyuarakan hak-hak masyarakat,” tambah Fatricia.
Fatricia juga menjelaskan bahwa Jaringan Jaga Deca saat ini berupaya memformulasikan keterhubungan antara buruh dan petani yang sering diadu melalui konflik horizontal di sektor sawit maupun nikel.
“Buruh dan tani harus berjuang bersama karena kita sama-sama terdampak. Buruh tidak hanya memperjuangkan upah dan K3, tetapi juga hak atas tanah. Di pedesaan, land rights adalah isu yang sangat penting,” jelasnya.
Baca Juga
Peran Perempuan Masih Lemah
Selain itu, Fatricia menyoroti meningkatnya kasus perampasan lahan, baik oleh korporasi sawit maupun melalui program pemerintah, Pada 2024, Jaringan Jaga Deca mencatat sedikitnya 25 warga dikriminalisasi karena menggelar aksi damai menuntut hak atas tanah mereka. Ia menilai negara kini juga berperan sebagai korporasi, salah satunya melalui pengelolaan lahan sitaan oleh PT Agrinas.
“Yang terjadi adalah perampasan hak berlapis-lapis. Setelah tanah dirampas, ketika menuntut hak, kami justru menghadapi kriminalisasi,” tegasnya.
Fatricia memaparkan bahwa di banyak wilayah, program kemitraan inti-plasma yang diadopsi dari kerangka Sustainable Development Goals (SDGs), terutama pada pilar kemitraan (Goal 17), justru memunculkan masalah serius.
“Kami mengalami perampasan hak mulai dari hilangnya lahan, tidak adanya bagi hasil, sampai beban utang besar. Ini jauh dari narasi kesejahteraan maupun transisi energi yang kerap dibanggakan,” katanya.
Selain kehilangan tanah, masyarakat juga merasakan dampak ekologis, mulai dari krisis air bersih, kekeringan untuk pertanian, hingga menurunnya kualitas lingkungan hidup akibat ekspansi sawit dan industri ekstraktif. Fatricia menegaskan bahwa praktik militerisasi di kawasan perkebunan sawit bukan fenomena baru.
“Sejak Orde Baru, militerisasi telah menjadi bagian dari konflik agraria. Hingga kini, pola yang sama masih terjadi,” ujarnya.
Ia menjelaskan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang diberlakukan pada masa pemerintahan Presiden Prabowo juga disebut memperparah situasi, karena tidak hanya menertibkan korporasi tanpa izin, namun juga lahan-lahan kecil milik warga yang menjadi sumber penghidupan.
Konflik agraria yang dialami masyarakat khususnya petani sawit telah berlangsung lintas generasi. Di Kabupaten Bulukumba, misalnya, tercatat 4.934 petani dengan total lahan 6.746 hektar masih terjerat skema kemitraan yang merugikan.
“Sejak generasi kakek saya, kemudian orang tua kami, sampai kini, kami masih menghadapi perusahaan yang sama dengan skema-skema yang tidak pernah benar-benar berpihak pada rakyat,” kata Fatricia.
“Kami percaya pada perjuangan kolektif sebagai kunci ketahanan di tapak. Pola represi mungkin tetap sama dari masa ke masa, tapi perlawanan kami juga tidak berhenti,” tutupnya.
Sebagai informasi, Jaga Deca adalah jaringan organisasi masyarakat sipil yang berkomitmen pada pembangunan berkelanjutan dengan menjunjung prinsip Hak Asasi Manusia, perlindungan perempuan dan anak, pengakuan masyarakat lokal dan adat, serta keberlanjutan lingkungan.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua