Muhammad Syakir NF
Penulis
Toleransi dijalankan betul oleh tokoh-tokoh dua organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Mereka saling menghormati satu sama lain, meskipun berbeda pandangan. Bukan saja persoalan qunut Subuh dan rakaat tarawih, tetapi juga perihal tahlil. Tercatat, beberapa tokoh dua ormas ini pernah melakukan tahlilan.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat ini, Abdul Mu’ti mengaku menjalankan tradisi itu. Pasalnya, tumbuh dan belajar di lingkungan masyarakat Nahdlatul Ulama membuatnya melaksanakan hal tersebut. Ia tidak menolak dan mempertentangkannya.
“Ayah saya bangga ketika saya menjadi ketua Jamiyyah Sabilul Khairat yang di antara kegiatan rutinnya adalah tahlilan, Yasinan, dan berjanjen (membaca al-Barzanji),” kenang pria yang lahir dari keluarga petani dan guru mengaji di Desa Getassrabi, Kudus, Jawa Tengah, sebagaimana dikutip muhammadiyahgl.com. (https://muhammadiyahgl.com/abdul-muti-sekum-muhammadiyah-belajar-pada-nahdliyyin/)
Hal yang sama dilakukan oleh Din Syamsuddin, Ketua PP Muhammadiyah 2005-2015. Lahir dari lingkungan NU di Tanah Sumbawa, tahlilan menjadi hal yang tak asing baginya. Tradisi itu juga tidak ia tolak mentah-mentah, meskipun ia menjadi pemimpin ormas Muhammadiyah. Bahkan, ia menghadiri peringatan tujuh hari wafatnya KH Salahuddin Wahid.
Dalam kesempatan tersebut, ia menyampaikan pidato mengenang sosok yang ia merasa dekat dengannya itu. Namun, di awal pidato, ia merespons pidato yang disampaikan oleh Emha Ainun Nadjib, budayawan asal Jombang, Jawa Timur yang lebih dikenal dengan sebutan Cak Nun. Dengan berguyon, ia menyatakan kesiapannya memimpin tahlil ‘babak kedua’.
“Cak Nun tadi agak under estimate, meremehkan sedikit bernada melecehkan saya, seolah-olah saya tidak bisa tahlilan. Padahal, kalau ada tahlilan babak kedua saya siap memimpinnya,” katanya dalam video yang diunggah kanal Youtube Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
“Tapi, jangan malam ini,” imbuh Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Ia menyampaikan bahwa tahlilan sudah menjadi bagian dari kehidupannya waktu kecil. Pasalnya, ayahnya yang bernama Syamsuddin adalah tokoh NU. “Saya sebagai putranya disekolahkan di sekolah NU, madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah NU di Sumbawa,” katanya.
“Karena saya sebagai ketua pelajar, maka jadilah saya ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama. Saya bersyukur pernah hidup di dua dunia waktu kecil di NU waktu dewasa di Muhammadiyah Maka insya Allah kalau mati masuk surga,” lanjut Din.
Berbeda dengan kedua tokoh Muhammadiyah di atas, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Menko PMK) Muhadjir Effendi bahkan memimpin tahlilan saat berziarah ke makam Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1999-2010 KH Hasyim Muzadi pada Rabu (25/10/2017) pagi.
Hal itu ia lakukan saat masih menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) usai kunjungannya untuk mengisi Seminar Ulama Pesantren dan Cendekiawan Bela Negara dengan tema bahasan tentang "Ahlussunnah wa-Jama'ah dan Bela Negara" di Pondok Pesantren Al-Hikam, Depok, Jawa Barat, yang didirikan oleh Kiai Hasyim.
“Tapi dalam acara itu ada yg lebih menarik yaitu setelah acara selesai. Yaitu Pak. Muhadjir berjalan sendiri menuju maqbarah alm KH Ahmad Hasyim Muzadi. Saya pun mengikuti beliau berjalan sampai di maqbarah. Pak Menteri membaca fatihah yg agak sedikit keras, saya pun mengikutinya,” tulis KH Cholil Nafis, Ketua Pembina Yayasan Investa Cendekia Amanah, melalui akun Facebooknya.
Lebih lanjut, Kiai Cholil menceritakan ia mengikuti setiap bacaan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) 2000-2016 itu. Menurutnya, Muhadjir hafal dengan lancar memimpin setiap bacaan tahlil.
“Pak. Menteri lanjut tahlilan, saya sengaja mengikuti lebih keras agar jama'ah di belakang mengikuti bacaannya. Saya pun mengikuti alur tahlil yg biasa dibaca warga nahdliyin yg dipimpin oleh Pak Muhadjir. Ternyata beliau hafal dan lancar membaca tahlil,” lanjut Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) 2005-2015 itu.
Seusai tahlil, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2015-2020 itu meminta Kiai Cholil untuk memimpin doa. “Saya pun berdoa, dan Pak Menteri dan jama'ah mengamininya. Bacaan doa berjemaah dan membacanya dengan keras,” lanjutnya.
Dari para tokoh tersebut, kita belajar tentang arti toleransi yang sesungguhnya. Meskipun Muhammadiyah secara organisasi menganggap tahlilan sebagai sebuah bid’ah yang patut ditinggalkan karena tidak ada tuntunannya dari Rasulullah, tetapi beberapa tokohnya menjalankan praktik tersebut karena dalam rangka menghormati paham yang diyakini masyarakat NU.
Syakir NF, mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) dan Pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 4 Maksiat Hati yang Bisa Hapus Pahala Amal Ibadah
2
Khutbah Jumat: Jangan Golput, Ayo Gunakan Hak Pilih dalam Pilkada!
3
Poligami Nabi Muhammad yang Sering Disalahpahami
4
Peserta Konferensi Internasional Humanitarian Islam Disambut Barongsai di Klenteng Sam Poo Kong Semarang
5
Kunjungi Masjid Menara Kudus, Akademisi Internasional Saksikan Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
6
Khutbah Jumat Bahasa Sunda: Bahaya Arak keur Kahirupan Manusa
Terkini
Lihat Semua