Nasional

RUU Keamanan Siber Berisiko Giring Indonesia ke Arah Militerisasi Ruang Digital

NU Online  ·  Sabtu, 25 Oktober 2025 | 16:50 WIB

RUU Keamanan Siber Berisiko Giring Indonesia ke Arah Militerisasi Ruang Digital

Direktur Reksha Initiative Wahyudi Jafar dalam diskusi di Universitas Indonesia, Depok, Jumat (24/10/2025). (Foto: Fathur)

Depok, NU Online
Direktur Reksha Initiative Wahyudi Jafar menilai Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) yang tengah disusun DPR berpotensi menggeser orientasi keamanan siber nasional dari perlindungan warga menuju penguatan kontrol negara dan militerisasi ruang digital.

 

Menurutnya, proses penyusunan RUU ini seolah mengulang kembali inisiatif serupa pada periode DPR 2014–2019 yang sempat ditolak publik karena dinilai membatasi kebebasan sipil.

 

"RUU ini dulu sudah pernah dihentikan pembahasannya oleh DPR pada 2019 karena substansinya lebih banyak membatasi ruang kebebasan sipil. Kini, rancangan itu dihidupkan kembali tanpa perbaikan mendasar,” ujar Wahyudi dalam diskusi publik bertajuk Problematika RUU Keamanan dan Ketahanan Siber di FISIP UI, Depok, Jumat (24/10/2025).

 

Wahyudi menjelaskan, RUU KKS masih menekankan pendekatan state-centric atau berpusat pada keamanan negara, bukan perlindungan individu. Padahal, katanya, esensi keamanan siber justru harus melindungi masyarakat sebagai pengguna utama ruang digital.

 

"Tujuan utama keamanan siber itu melindungi individu, bukan negara. Karena ketika terjadi serangan siber, yang menjadi korban pertama adalah warga, bukan aparat atau institusi negara,” tegasnya.

 

Ia menyebut, pendekatan berbasis hak asasi manusia (HAM) semestinya menjadi landasan utama dalam kebijakan keamanan siber, sebagaimana mandat PBB yang mewajibkan negara anggota mengintegrasikan prinsip HAM dalam kebijakan keamanan digitalnya.


Wahyudi mengkritik banyaknya tumpang tindih antara RUU KKS dengan peraturan yang sudah ada, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan berbagai aturan turunan lain di bidang keamanan digital.


“Rancangan ini menciptakan ketidakpastian hukum karena menduplikasi banyak pasal yang sudah diatur dalam UU ITE, termasuk soal penyelenggara sistem elektronik,” ujarnya.


Ia juga menyoroti tidak adanya pembagian yang tegas antara kewenangan sipil dan militer dalam menangani isu keamanan siber.

 

“Ketika batas antara keamanan siber, kejahatan siber, dan pertahanan siber tidak jelas, maka muncul potensi tumpang tindih kewenangan. Aktor militer bisa saja masuk ke ruang-ruang yang semestinya menjadi ranah sipil,” terang Wahyudi.

 

Selain itu, Wahyudi menilai draf RUU KKS juga terlalu menitikberatkan pada aspek pengendalian dan sanksi ketimbang perlindungan.

 

Ia mencontohkan pasal mengenai pengawasan Artificial Intelligence (AI) yang mencantumkan “Etika AI” sebagai dasar pengawasan, namun tetap disertai sanksi administratif.

 

“Pendekatan etika itu sifatnya sukarela, bukan paksaan. Tapi di sini justru dijadikan dasar hukum untuk sanksi. Ini menunjukkan kecenderungan kontrol yang berlebihan,” ungkapnya.

 

Wahyudi menegaskan pentingnya pembedaan tegas antara keamanan siber (cyber security) dan kejahatan siber (cyber crime). Menurutnya, menggabungkan dua aspek itu dalam satu undang-undang akan menimbulkan kebingungan hukum sekaligus membuka celah penyalahgunaan.

 

“Keamanan siber itu soal perlindungan sistem dan jaringan, sedangkan kejahatan siber soal penegakan hukum terhadap pelaku. Ketika dua hal itu dicampur, risikonya justru muncul kriminalisasi baru di ruang digital,” jelasnya.

 

Ia mencontohkan adanya pasal dalam draf yang mengategorikan serangan terhadap sistem siber sebagai makar di ruang digital.

 

“Formulasi semacam ini berbahaya karena menyeret logika militer ke ranah sipil,” kata Wahyudi.

 

Wahyudi mengingatkan bahwa penambahan istilah “ketahanan” dalam judul RUU juga dapat menjadi pintu masuk militerisasi.

 

“Istilah ketahanan di sini diterjemahkan dari resilience, yang di Eropa justru dipakai untuk menjamin keamanan produk digital, bukan pertahanan negara. Namun di Indonesia, maknanya malah digeser ke arah pertahanan,” katanya.

 

Karena itu, ia menilai RUU KKS perlu dikaji ulang secara mendalam agar tidak mengancam hak-hak sipil warga negara. “Kebijakan keamanan siber harus berorientasi pada perlindungan warga, bukan alat kontrol negara,” pungkasnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang