Mataram, NU Online
Sa’dah sedang duduk santai bersama keluarganya saat gempa melanda Lombok, NTB 6 Agustus yang lalu.
“Habis Isya, lagi duduk-duduk sama keluarga, mendadak terdengar gemuruh. Saya bawa anak-anak dan istri ke luar,” cerita Sa’dah, Senin (20/8).
Pria berumur 50 tahun ini tingggal di Dusun Tratag, Desa Bantuhumbung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Seperti kebanyakan rumah-rumah warga di kampungnya, rumah Sa’dah juga rusak.
Tak jauh dari rumahnya, ada pula rumah anaknya yang telah roboh dan rata dengan tanah. Menurutnya, di kampungnya hanya ada satu rumah yang tidak rusak sama sekali. “Letaknya di ujung sana,” katanya sambil menujukkan jari ke arah perkebunan.
Sa’dah dan warga Tratag lainnya beruntung karena semuanya selamat. Malam itu, saat gempa datang, ia dan kebanyakan warga berlarian ke sebuah lahan kosong di tengah kampung.
Namun, dari raut wajahnya, Sa’dah masih terlihat bimbang bagaimana menghadapi hari-hari ini. Selama ini, penghasilannya sebagai buruh tani dengan upah empat puluh ribu rupiah per hari.
“Kerja dari jam setengah delapan sampai jam lima sore,” kisah dia.
Kini, dalam situasi Lombok yang masih belum menentu, Sa’dah mengaku hanya menunggu bantuan yang datang. Ia mengatakan belum lama ini datang bantuan berupa minyak goreng, beras, mie instan dan air.
Dalam kekalutan itu, Sa’dah sadar bahwa apa yang mereka hadapi adalah cobaan yang harus meningkatkan kedekatan mereka dengan Tuhan.
“Ya ada kiai kemarin menasihati biar sabar. Kami sedang dicoba perlu bertakwa dan memohon pada Tuhan,” katanya. (Kendi Setiawan)