Nasional

Sebuah Siang di Pesantren Kempek

Kamis, 4 Oktober 2012 | 23:46 WIB

Cirebon, NU Online
Pengeras suara berdenging keras di Senin pagi. Seperti tiga hari sebelumnya, pengeras suara mengimbau seisi kompleks pesantren Hidayatul Mubtadi’in, Kempek, Cirebon untuk segera menyantap hidangan pagi.
<>
Pesantren Kempek ini diambil sebagai tempat berjalannya Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2012, pertengahan September 2012 lalu. Kompleks pesantren dengan luas 20 hektar ini tepat berada di tengah kampung. Dua sisinya bersebelahan dengan sawah. Sementara sisi lainnya bersebelahan dengan pemukiman warga.

Suara pengeras Senin itu, pertengahan September, pagi agak lain. Laiknya seorang nenek, ia lebih banyak bercakap. Ini tentu  berbeda dari hari-hari sebelumnya karena Presiden SBY akan mengunjungi peserta sidang di GOR.

Pagi itu, ia terus mengingatkan peserta Munas-Konbes NU 2012 yang sudah sarapan untuk segera menumpangi minibus tiga per empat yang berbaris menuju GOR, Gelanggang Olahraga Pesantren Kempek. Karena, peserta Munas-Konbes NU harus sudah ada di dalam GOR 30 menit sebelum Presiden tiba. Kawan-kawan pers pun demikian.

Mendengar pengeras yang dikendalikan langsung dari pos gerbang Madrasah Aliyah, saya langsung melompat lalu menyambar segala keperluan. Tidak lupa mengalungkan tanda pengenal di leher, saya turun dari asrama, menuju lokasi prasmanan yang atap tendanya terlihat dari asrama kami yang berlantai dua.

Sejumlah minibus ini disediakan panitia Munas-Konbes NU 2012 untuk mengantar peserta dari tempat prasmanan menuju GOR pesantren Kempek. Jarak antara dua titik yang masih satu kompleks itu, mengambil jarak 400 meter. Jarak itu cukup jauh dan meletihkan bagi peserta Munas-Konbes NU yang tak bisa dibilang muda.

GOR, bangunan paling timur pesantren. Lima puluh meter dari gerbang masuk kompleks, sebuah simpang empat telah menghadang. Lurus, sekolah Mts dan MA KHAS, KH. Aqil Siroj. Kanan, ndalem KH Jakfar Aqil Siroj, pengurus Pesantren Kempek dan masjid. Kiri, GOR.

Dua orang santri yang bertanggung jawab pada setiap pintu kamar asrama, telah memarkir sepatu saya. Perilaku ini sulit ditemukan pada murid sekolah dimana mereka memarkir alas kaki orang lain. Pemilik alas kaki paling sembarangan sekalipun, akan menemukan miliknya terjajar rapi, siap pakai.

Minibus sudah berangkat. Saya dengan Mahbib, rekan saya berjalan menuju simpang empat. Panas membakar dari atas dan bawah. Karet alas sepatu hampir lumer di bakar bumi Kempek yang panas. Sementara matahari dari langit Cirebon tidak basa-basi menikam kepala.

Hampir tiba di simpang empat, orang-orang mulai ramai. Kami bertemu dengan Mahmud Hamdani, pengurus wilayah LPBI NU Jakarta. Ia menggabungkan diri. Di sela bahu, punggung, dan ketiak banyak orang, kami terus merangsek maju agar sampai di simpang empat.

Lima meter dari simpang empat menuju timur, jalan kami tertutup oleh kerumunan ibu-ibu berkerudung. Sebagian berseragam Muslimat NU. Sebagian lain hanya berpakaian pada umumnya kaum ibu majelis taklim.

“Fiz, ente lihat tuh, ibu-ibu kita semangat sekali,” kata pak Mahmud.

Sebentar kemudian kegaduhan datang dari arah timur kami. Kerumunan kaum ibu pecah. Mereka berteriak, berlari, dan berdesakan mendorong-dorong. kebisingan memecah di langit panas. Belasan ibu berlari tersuruk-suruk. Sebagian takut dan panik. Wajah beberapa mereka, memucat.

Mereka mengeluh dengan bahasa khas Cirebonan. Saya tidak mengerti arti harfiahnya. Tetapi wajah mereka membentuk garis-garis kekecewaan.

“Aku meliput peristiwa di gerbang pesantren, Bung,” kata Mahbib yang tak sempat saya jawab sudah berbalik arah meninggalkan kami.

Saya menghentikan langkah lalu menepi. Pak Mahmud mengikut. Berpijak di tubir selokan, kami mengamati kekisruhan yang ada. Dengan mata terus teruju pada kegaduhan, kami terus meraba penyebabnya.

Dua menit usai. Seorang lelaki berbaju batik dan bercelana hitam, muncul dari balik kerumunan. Dengan menggenggam handy talky, ia menghalau kerumunan ibu-ibu yang menghalangi jalan.

“Semua minggir, sebentar lagi presiden mau lewat,” teriak ulang lelaki tersebut bersaing dengan kegaduhan. Ia berteriak dengan sekuat tenaga dalam. Hampir saja ia memuntahkan tenggorokkannya.

Dengan pengeras suara mini menyumpal sebuah telinganya, lelaki itu terus menghalau kaum ibu dari jalan yang baru diaspal. Lelaki itu tidak sempat menyaksikan aspal baru yang semakin hitam oleh kekecewaan kaum ibu dan panasnya Kempek.

Sebagian ibu berlari ke timur. Sebagian ditahan. Mereka berdesakan di tepi jalan entah sampai kapan. Saat jalan agak lowong itulah, kami bergerak maju ke timur untuk mendengarkan pidato sambutan presiden. Saat itu pula kami melewati sejumlah alas kaki perempuan dengan aneka bentuk, tertinggal di kulit aspal jalan.

Sementara esok harinya, kegiatan Munas-Konbes NU 2012 sudah kosong. Selasa (18/9) pagi, kami ditunggu sebuah minibus yang siap mengantar ke stasiun Cirebon. Melewati simpang empat kemarin, langkah saya sempat melambat, tetapi enggan menoleh ke arah timur.

Minibus kami meninggalkan gerbang pesantren. Dua puluh menit menuju stasiun Cirebon, ingatan terus membayang pada simpang empat siang kemarin. Ingatan itu patah oleh sebuah pesan singkat masuk ke telepon genggam yang mengabarkan bahwa Hj. Asni, istri alm. H. Mahbub Djunaidi telah meninggal dunia di Bandung. 


Penulis: Alhafiz Kurniawan