Nasional

Sekolah Kepemimpinan Kartini Diproyeksikan Cetak Perempuan Berdaya

NU Online  ·  Selasa, 21 Oktober 2025 | 09:00 WIB

Sekolah Kepemimpinan Kartini Diproyeksikan Cetak Perempuan Berdaya

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Fauzi (kiri). (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online

 

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi meresmikan Sekolah Kepemimpinan Perempuan Kartini yang diinisiasi oleh Kartini Love AI. Hal ini dilakukan sebagai langkah strategis untuk memperkuat kapasitas dan keberanian perempuan dalam berpartisipasi aktif pada proses pengambilan keputusan di berbagai bidang pembangunan.

 

 

“Saya melihat bahwa forum ini sangat strategis dan penting. Salah satu pola yang harus kita lakukan adalah memastikan perempuan tidak kehilangan ruang. Perempuan harus didorong untuk berani bicara. Namun, masih banyak perempuan yang belum berani untuk berbicara. Maka, Sekolah Kepemimpinan Kartini ini harus kita dukung bersama,” ujar Arifah dalam keterangan yang diterima NU Online, Senin (20/10/2025).

 

 

Sekolah Kepemimpinan Kartini hadir untuk memberdayakan perempuan melalui pengembangan diri secara holistik, mencakup peningkatan kapasitas pribadi, dan kepemimpinan.

 

Program ini dirancang untuk menumbuhkan kepercayaan diri, kemampuan komunikasi, serta membangun jejaring profesional yang kuat agar perempuan mampu menjadi pemimpin berintegritas dan berdaya saing. 

 

Selain itu, peserta juga dibekali pemahaman hukum, khususnya terkait Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), agar perempuan memahami hak-haknya dan berani mengambil langkah hukum dalam memperjuangkan keadilan.

 

 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2024, perempuan berjumlah 49,88 persen dari total penduduk Indonesia. Namun, hanya 22,46 persen di antaranya yang menduduki kursi parlemen. Menurut Arifah, data ini menunjukkan bahwa ruang partisipasi dan kepemimpinan perempuan masih perlu terus diperluas.

 

 

“Kepemimpinan perempuan juga perlu dilihat secara lebih luas, tidak hanya di lembaga politik, tetapi juga di sektor lainnya, baik di lembaga pemerintahan, sektor swasta, dunia pendidikan, maupun di tingkat desa. Banyak perempuan hebat yang berpotensi menjadi kepala desa, pejabat tinggi pratama dan madya, atau pemimpin komunitas yang menjadi ujung tombak pembangunan di akar rumput,” katanya.

 

 

Ia menegaskan bahwa kepemimpinan perempuan bukan semata soal representasi, tetapi tentang menghadirkan perspektif yang inklusif, empatik, dan berkeadilan. 

 

“Kalau kita ingin menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa, kita harus menguatkan dulu perempuan-perempuannya,” ungkapnya.

 

Sebagai contoh, Arifah menyebut inisiatif pendidikan politik bagi calon kader perempuan desa di Kabupaten Cilacap yang menghasilkan kerja sama program senilai Rp1,2 triliun selama dua tahun untuk penguatan ekonomi perempuan. 

 

“Ini bukan angka kecil, dan semuanya berawal dari pendidikan politik bagi perempuan di tingkat desa,” ujarnya.

 

 

Melalui Sekolah Kepemimpinan Kartini, Arifah berharap lahir lebih banyak perempuan pemimpin yang mampu membawa perubahan nyata di lingkungannya. 

 

“Forum seperti ini adalah ruang kolaborasi yang luar biasa. Kami di Kemen PPPA sangat terbuka untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk Sekolah Kepemimpinan Kartini. Dengan saling memahami, saling mendukung, dan saling memperkuat, kita bisa mewujudkan perempuan berdaya dan anak terlindungi menuju Indonesia Emas 2045,” ujarnya.

 

 

Sementara itu, Founder Kartini Love AI Awaludin Marwan menyampaikan bahwa kepemimpinan perempuan merupakan solusi strategis untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi perempuan. 

 

“Menguatkan kapasitas kepemimpinan perempuan dengan mendorong kemandirian ekonomi dan pendidikan mereka diharapkan dapat menjadi langkah strategis untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi perempuan,” ujarnya.

 

 

Sekolah Kepemimpinan Kartini saat ini masih dalam tahap piloting. Kegiatan diselenggarakan dalam bentuk short course selama dua hari, dengan jeda waktu dua minggu di antara pertemuan untuk penugasan dan pengembangan gagasan peserta.

 

Materi yang diberikan meliputi kepemimpinan perempuan dalam struktur dan kultur birokrasi, kebijakan pemberdayaan, tantangan dan peluang penggunaan kecerdasan artifisial di ruang politik dan demokrasi, hingga isu hukum, kekerasan terhadap perempuan, dan resolusi konflik.

 

Untuk tahap awal, program ini menyasar peserta di tingkat manajerial dengan pengalaman kerja minimal tujuh tahun dan memiliki perspektif gender.

 

“Jadi, pesertanya tidak harus semuanya perempuan, laki-laki pun boleh ikut selama memiliki perspektif yang berpihak pada perempuan,” ucapnya.

 

“Semoga dengan peluncuran Sekolah Kepemimpinan Kartini ini, gagasan dan cita-cita Kartini tidak sirna atau padam, tetapi justru menjadi semangat baru untuk mendorong berbagai terobosan,” lanjut Awaludin.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang