Nasional

Setahun Prabowo-Gibran: Menata Reforma Agraria di Tengah Dominasi Oligarki Lahan

NU Online  ·  Kamis, 30 Oktober 2025 | 14:15 WIB

Setahun Prabowo-Gibran: Menata Reforma Agraria di Tengah Dominasi Oligarki Lahan

Gambar hanya sebagai ilustrasi berita. Sejumlah petani sedang bekerja di sawah. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Setahun pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka ditandai dengan komitmen untuk menata ulang distribusi dan penguasaan tanah melalui program Reforma Agraria.


Janji agar tanah menjadi instrumen pemerataan ekonomi mulai diuji: apakah kebijakan yang tercatat dalam dokumen dan data resmi benar-benar berdampak bagi kehidupan rakyat di lapangan?


Reforma agraria di atas kertas

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melaporkan bahwa hingga Oktober 2025, pemerintah telah mendistribusikan 195.734 bidang tanah kepada 39.556 kepala keluarga.


Selain itu, sebanyak 4 juta bidang tanah telah didaftarkan dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), dan 2,69 juta di antaranya telah bersertifikat.


Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menyebut bahwa pemerintah kini menggunakan pendekatan closed loop. Skema ini diharapkan tidak hanya berhenti pada pemberian sertifikat, tetapi memastikan tanah tersebut dapat diolah dan memberikan nilai ekonomi bagi penerimanya.


Namun, sejumlah pihak mempertanyakan efektivitas kebijakan ini. Meski jumlah sertifikat meningkat, belum semua penerima memiliki akses pada permodalan, teknologi, atau pasar yang diperlukan untuk mengolah tanah secara produktif.


Pertanyaan mendasar pun muncul: sejauh mana tanah tersebut benar-benar mengubah kondisi ekonomi masyarakat penerima?


Luka lama konflik agraria

Anggota Komisi III DPR RI Benny K Harman menyebut bahwa konflik agraria di Indonesia merupakan luka lama yang tak kunjung sembuh.


Ia menjelaskan bahwa masalah agraria masih berakar pada warisan kebijakan Orde Baru yang sentralistik dan berorientasi pada stabilitas keamanan.


“Kita menghadapi tiga sumber masalah utama: warisan kebijakan Orde Baru, tumpang tindih hukum pertanahan, dan konsentrasi penguasaan tanah di tangan oligarki,” ujarnya dalam diskusi Pusat Pengkajian Agraria dan Sumber Daya Alam (PPASDA), pada 14 Oktober 2025.


Benny menyoroti bahwa 0,2 persen penduduk menguasai 35 persen total lahan nasional. Konsentrasi kepemilikan ini berimplikasi pada ketimpangan ekonomi, kriminalisasi petani, hingga pelanggaran hak-hak dasar masyarakat adat.


“Pertanahan bukan sekadar urusan teknis, tapi soal keadilan sosial. DPR harus memastikan kebijakan yang dibuat berpihak kepada rakyat, bukan oligarki,” tegasnya.


Militerisasi pangan, minim partisipasi publik

Koordinator Nasional FIAN Indonesia Marthin Hadiwinata menyebut bahwa ada kecenderungan militerisasi dalam kebijakan pangan dan agraria. Hal ini terlihat dari komposisi Badan Gizi Nasional (BGN) yang didominasi unsur keamanan.


“Enam dari sepuluh anggota Badan Gizi Nasional berasal dari unsur keamanan. Ini bisa dibaca sebagai militerisasi pangan. Akibatnya, tidak ada pelibatan publik sama sekali,” ujarnya di Menteng, Jakarta, pada 30 September 2025.


Menurut Marthin, pola tersebut menggeser peran petani dan nelayan sebagai produsen pangan utama, seperti yang terlihat dalam proyek food estate yang dinilai gagal karena minim transparansi dan partisipasi.


“Pangan itu oleh produsen pangan, bukan oleh militer. Kita tidak sedang berperang. Jadi tidak ada alasan pembentukan badan pangan didominasi aparat,” jelasnya.


Pansus agraria dan harapan penuntasan konflik

Pada 2 Oktober 2025, DPR mengesahkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Penyelesaian Konflik Agraria. Pansus ini diharapkan menjadi langkah konkret dalam mempercepat penyelesaian konflik yang telah berlangsung lama.


Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyambut positif pembentukan Pansus, tetapi menegaskan bahwa keberhasilannya bergantung pada keterlibatan masyarakat.


“Pansus harus mengandung nilai-nilai dan semangat aspirasi rakyat. Ia harus melibatkan organisasi masyarakat sipil dan organisasi rakyat secara aktif dan bermakna,” kata Dewi.


KPA mencatat, terdapat setidaknya 24 masalah struktural yang masih membayangi sektor agraria, mulai dari tumpang tindih izin korporasi hingga ketimpangan penguasaan lahan.


Kompleksitas birokrasi dan pembenahan data

Direktur Penanganan Perkara Pertanahan Kementerian ATR/BPN Joko Subagyo mengakui lemahnya basis data pertanahan nasional.


“Data pertanahan yang ditinggalkan dari masa lalu itu memang kurang bagus. Maka kami butuh upaya keras untuk melakukan pendaftaran tanah,” ujarnya.


Ia menjelaskan bahwa digitalisasi data pertanahan dan pembentukan pengadilan khusus pertanahan tengah diupayakan untuk mempercepat penyelesaian sengketa.


Kedaulatan pangan dan masa depan petani

Guru Besar IPB University Prof Dwi Andreas Santosa mengingatkan bahwa kedaulatan pangan mustahil tercapai tanpa keberpihakan nyata kepada petani kecil.


“Petani kita menghadapi biaya produksi tinggi, harga jual rendah, dan tekanan impor. Kedaulatan pangan tidak mungkin dicapai tanpa keadilan agraria,” ujarnya.


Pandangan ini sejalan dengan Komnas HAM yang menegaskan bahwa hak atas tanah dan pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia.


“Konflik agraria tidak bisa dilihat hanya dari aspek hukum, tapi juga dari aspek kemanusiaan,” kata Ketua Komnas HAM Anis Hidayah.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang