Mataram, NU Online
Frekunsi adalah kekayaan nasional yang harus dilindungi negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk memastikan agar pemanfaatan frekuensi benar-benar untuk rakyat, maka Undang-Undang melarang monopoli kepemilikan televisi dan radio. Selain itu, UU juga mengatur bahwa frekuensi adalah ranah publik dan sumber daya terbatas. Oleh sebab itu, tidak dibenarkan jual beli frekuensi.
Tetapi, kemungkinan untuk melakukan monopoli frekuensi terbuka luas di lapangan karena ukuran kepemilikan adalah badan hukum, bukan individu. Monopoli frekuensi akan menimbulkan penyimpangan-penyimpangan seperti alat politik partai tertentu, penggalian keuntungan ekonomi, dan konten yang ditampilkan tidak mendidik.
“Intinya tidak boleh ada monopoli kepemilikan,” tegas Pimpinan Sidang Zaini Rahman usai memimpin Komisi Bahtsul Masail Qonuniyyah atau Perundang-Undangan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Pesantren Darul Falah Mataram, Jumat (24/11).
Komisi Qonuniyyah, lanjut Zaini, juga menegaskan akan mengawal Rancangan Undang-Undang Komunikasi Publik sampai selesai karena memonopoli hak rakyat itu tidak dibenarkan Undang-Undang.
“Kita akan kawal sampai tuntas,” katanya.
Diantara beberapa rekomendasi yang dicetuskan oleh Komisi Qonuniyyah adalah UU Penyiaran perlu direvisi dan memastikan secara ketat bahwa frekuensi tidak dimonopoli, UU tersebut diarahkan untuk optimalisasi keragaman konten, lembaga penyiaran daerah harus dibimbing untuk menciptakan konten yang bermutu dan postif, dan kualitas konten harus terus dikontrol. (Muchlishin Rochmat)