Tindakan Polisi Sita Buku Milik Aktivis Dinilai sebagai Bentuk Kemunduran Demokrasi di Indonesia
NU Online · Kamis, 25 September 2025 | 21:30 WIB
Haekal Attar
Penulis
Jakarta, NU Online
Wakil Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Fariz Alnizar menilai tindakan aparat kepolisian menyita buku-buku milik aktivis yang mengandung kajian sosial, sejarah, atau politik adalah bentuk kemunduran dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.
"Buku adalah medium pengetahuan, bukan ancaman. Ketika buku diperlakukan seperti senjata, kita sedang mundur ke zaman ketika pikiran dianggap musuh negara," katanya kepada NU Online pada Kamis (25/9/2025).
Fariz menyayangkan perlakuan negara terhadap buku yang seolah-olah seperti senjata yang mengancam stabilitas. Hal itu menurutnya adalah bentuk represi terhadap wacana kritis.
Baca Juga
Menjadikan Buku sebagai Suluh
"Ini mencerminkan ketakutan terhadap pemikiran yang berbeda, padahal keberagaman gagasan adalah fondasi peradaban demokratis. Jika negara merasa terganggu oleh buku-buku yang mempertanyakan ketimpangan, ketidakadilan, atau relasi kuasa yang timpang," jelasnya.
"Maka justru kita harus bertanya, siapa sebenarnya yang merasa terancam? Buku tidak bisa dipenjara, tapi ide yang dikandungnya bisa menjadi ancaman, bukan bagi rakyat, tapi bagi sistem yang antikritik," tambahnya.
Tak hanya soal buku, Fariz turut menyoroti penangkapan demonstran dalam aksi 25-31 Agustus 2025. Ia menyebutnya sebagai sinyal darurat bagi demokrasi di Indonesia.
"Ketika ekspresi itu dibalas dengan penangkapan besar-besaran, maka kita patut bertanya (kembali) apakah negara masih melihat rakyat sebagai subjek demokrasi, atau sekadar objek untuk dikendalikan? Ya, saya memandang ini sebagai kemunduran," ungkapnya.
Baginya, demokrasi tidak cukup diukur dari keberlangsungan Pemilu, tetapi dari kualitas ruang sipil dan jaminan hak-hak dasar. Menurutnya, jika suara kritis diperlakukan sebagai ancaman, maka itu mencerminkan adanya ketakutan terhadap demokrasi itu sendiri.
"Dampaknya sangat besar. Ketika generasi muda melihat bahwa partisipasi politik dibalas dengan intimidasi, maka akan tumbuh generasi yang apatis atau takut berbicara. Kita sedang membangun masyarakat yang patuh tapi bisu, cerdas tapi tidak berani berpikir berbeda," jelasnya.
Sebelumnya, Tokoh Gerakan Nurani Bangsa (GNB) Nyai Sinta Nuriyah Wahid mendesak agar Polda Metro Jaya segera membebaskan enam aktivis, yaitu Delpedro Marhaen, Muzaffar Salim, Syahdan Husein, Khariq Anhar, RAP, dan Fagia Lesmana.
Nyai Sinta menegaskan, keenam aktivis itu bukanlah musuh negara sehingga jangan diperlakukan seperti musuh negara. Mereka, katanya, adalah generasi penerus bangsa yang memperjuangkan suara-suara kritis terhadap pemerintah dan menjaga ruang kebebasan berpendapat.
"Inilah tujuan Gerakan Nurani Bangsa datang kemari untuk meluruskan semuanya itu dan membebaskan semuanya itu. Karena mereka adalah anak bangsa kita yang berjuang untuk kemanusiaan dan untuk negara Indonesia," katanya saat jumpa pers di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, pada Selasa (23/9/2025).
Dilansir Kompas, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, penyitaan buku-buku tersebut dilakukan agar pihak kepolisian dapat membangun gambaran menyeluruh terkait kasus yang sedang ditangani. Langkah ini dianggap penting untuk memahami secara objektif latar belakang tindakan seseorang.
“Hukum positif negara yang mengatur terkait dengan perbuatan seseorang, itu yang lebih objektif,” kata Trunoyudo di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Jumat (19/9/2025).
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua