Tangerang Selatan, NU Online
Belanda pada masa kolonialisme berupaya menyita naskah-naskah kuno yang ada di Nusantara. Tak terkecuali di Gegesik, Cirebon, Jawa Barat. Ki Dalang Konjem pernah membuang naskah-naskahnya pada tahun 1800-an ke septic tank di belakang rumahnya demi selamat dari sitaan Koloni.
Hal itu diceritakan oleh Dewan Pakar Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon Opan Safari saat Pelatihan Digitalisasi Manuskrip di Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (30/10).
Tentara Belanda dan orang dari Keraton Kasepuhan, jelasnya, datang ke rumah Ki Dalang Konjem hendak menyita naskah-naskah miliknya. "Ia membungkusnya dengan kain dan diletakkan di suatu wadah yang aman dan dibuang ke septic tank di belakang rumahnya," kata Opan.
Tentara Belanda dan utusan Keraton Kasepuhan pun menanyakan kepemilikan Ki Dalang Konjem atas naskah-naskah dan hendak dibawanya ke Keraton. Mereka bahkan menggeledah rumahnya. Ia pun menyampaikan bahwa naskah-naskahnya sudah dibuang karena tidak penting.
Utusan yang hendak menyita naskah tersebut melihat ke tempat pembuangan naskah. Namun karena tak kuat dengan baunya mengingat kotoran semua, mereka mengurungkan niat untuk mengambilnya.
Pada tahun 1970-an, Ki Jublag, cucu Ki Konjem, menggali tanah bekas septic tank tersebut karena teringat pesan kakeknya untuk membuka peti yang dibuangnya tersebut pada suatu saat nanti. Ia yang sudah diberitahu lokasinya pun menelusuri dan menggalinya. Betul saja, naskah-naskah tersebut selamat.
Opan menjelaskan bahwa naskah-naskah beraksara Carakan yang ditemukan di tempat tersebut berisi tentang Perang Baratayuda versi Cirebon. Naskah-naskah tersebut ia jadikan sebagai bahan disertasinya.
Menurut Opan sebagaimana dituturkan oleh Kiai Asy'ari, salah satu tokoh setempat, upaya Belanda untuk menyita adalah bagian dari usaha mereka agar masyarakat Nusantara tidak membaca naskah. Sebab, pembacaan yang dilakukan dapat menimbulkan spirit perlawanan.
"Saya juga dapat cerita dari orang-orang tua, Belanda itu ada upaya untuk kalau tidak menyita (naskah), itu melarang untuk membuka,” katanya.
Larangan untuk membuka ini juga menjadi sebuah mitos yang sampai membuat masyarakat saat ini tidak berani membacanya. Padahal, naskah tersebut bisa berisi sekadar data biasa atau bahkan pengetahuan seperti yang pernah juga Opan temui di wilayah yang sama. Ia dilarang membaca karena harus turunan keraton dan orang setempat. Ketika mengaku bahwa ia adalah bagian dari kedua itu, akhirnya dipersilakan membaca dengan menunaikan satu syarat yakni membuat tahlilan sebagai ritual pembukaan naskah.
Ternyata, setelah dibuka, katanya, kitab-kitab tersebut berisi tentang materi-materi hukum Islam atau fiqih. "Ternyata isinya itu fikih. Semuanya fiqih, ya tentang shalat, wudlu, dan sebagainya. Bagi semua orang itu penting karena pelajaran utama,” ujar dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon tersebut.
Hal itu, menurutnya, bagian dari cara Belanda untuk membodohi masyarakat Nusantara agar tak pintar, tak berpengetahuan sehingga perlawanan dapat diredam.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan