Wartawan Masih Rentan Kekerasan, UU Pers Digugat ke Mahkamah Konstitusi
NU Online · Selasa, 11 November 2025 | 10:00 WIB
Haekal Attar
Penulis
Jakarta, NU Online
Seorang saksi dari pemohon perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) Moh Adimaja menceritakan pengalaman pahitnya karena telah mengalami tindakan kekerasan secara fisik oleh sekelompok masyarakat yang tidak dikenal saat meliput di kawasan Kwitang, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Pengalaman itu ia ceritakan di hadapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo beserta hakim konstitusi lain di Gedung MK, Jakarta, pada Senin (10/11/2025).
“Saya mengalami pemukulan secara brutal oleh oknum masyarakat di lokasi kejadian. Peristiwa itu bahkan sempat viral, ketika seorang wartawan menginformasikan bahwa saya dan rekan saya dikeroyok,” ujarnya.
Ia menambahkan, selain mendapat intimidasi fisik, dirinya juga menerima ancaman verbal dari pelaku. Sehingga, katanya, Pasal 8 Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers perlu diuji.
“Saat itu kami dianggap sebagai intel atau pelapor. Ada pula upaya untuk merebut kamera, kami dipukul menggunakan kayu, dan bahkan dipaksa jatuh,” jelasnya.
Lebih lanjut, Adimaja menegaskan bahwa tugas seorang pewarta foto adalah mengambil gambar sesuai fakta di lapangan, bukan sesuatu yang direkayasa atau diatur. Ia berharap perlindungan hukum terhadap jurnalis dapat diperjelas agar peristiwa serupa tidak kembali terjadi.
Meski begitu, beberapa waktu lalu, pemerintah yang diwakili oleh Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Fifi Aleyda Yahya, selaku perwakilan Pemerintah, menyatakan bahwa dalil Pemohon yang menyebut ketentuan Pasal 8 UU Pers bersifat multitafsir tidak berdasar.
Menurutnya, frasa 'perlindungan hukum' tidak berdiri sendiri, tetapi harus dipahami dalam konteks hukum positif yang berlaku, termasuk peraturan sektoral lainnya. Lebih lanjut, Pasal 8 UU Pers bersifat norma terbuka (open norm), sehingga penerapannya fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan hukum serta kebutuhan di lapangan.
“UU Pers secara nyata telah memberikan jaminan perlindungan hukum bagi wartawan, khususnya dalam menjalankan fungsi, hak, dan kewajibannya. Dengan demikian, Pasal 8 UU Pers tidaklah multitafsir,” ujarnya di Gedung MK, Jakarta, pada Senin (6/10/2025) lalu.
Dalam petitumnya, Iwakum meminta agar Pasal 8 UU Pers, yang berbunyi “dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum,” dimaknai lebih tegas, yaitu: pertama, “termasuk perlindungan dari tindakan kepolisian dan gugatan perdata terhadap wartawan yang menjalankan profesinya sesuai kode etik pers”.
Kedua, “pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pers.”
Dalam permohonan juga, Iwakum menyinggung kasus kriminalisasi jurnalis Muhammad Asrul dan Diananta Pramudianto yang dijerat pidana atas karya jurnalistik mereka. Pemohon menilai hal tersebut menunjukkan ketidakpastian hukum akibat ketidakjelasan Pasal 8 UU Pers.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
5
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua