Nasional

Waspada Bermedsos, Kenali Sanksi UU ITE Jilid II Termasuk Potensi Kriminalisasinya

Jumat, 12 Januari 2024 | 08:00 WIB

Waspada Bermedsos, Kenali Sanksi UU ITE Jilid II Termasuk Potensi Kriminalisasinya

Media sosial. (Ilustrasi: NU Online)

Jakarta, NU Online

Peraturan mengenai penggunaan teknologi informasi dan komunikasi diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jilid 2 merupakan perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2016 dan Nomor 11 Tahun 2008.


Dilansir laman resmi Sekretariat Negara, salinan lembaran UU Nomor 1 Tahun 2024 diteken presiden pada Selasa (2/1/2024). UU ITE jilid 2 tersebut diteken pemerintah dalam rangka menjaga ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan, serta untuk memberikan kejelasan atas timbulnya multitafsir dan kontroversi di masyarakat, telah ditetapkan. 


Perubahan ini mencakup pengaturan layanan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik, seperti Tanda Tangan Elektronik, segel elektronik, penanda waktu elektronik, layanan pengiriman elektronik tercatat, autentikasi situs web, preservasi Tanda Tangan Elektronik, identitas digital, dan layanan lain yang menggunakan Sertifikat Elektronik.


UU ITE Nomor 1 Tahun 2024 juga mengatur kewajiban Penyelenggara Sistem Elektornik (PSE) untuk melindungi anak yang menggunakan atau mengakses Sistem Elektronik, dengan menyertakan sanksi yang menyertainya. Berikut adalah beberapa sanksi dalam UU ITE jilid II:


1. Sanksi berita bohong

Pidana penjara enam tahun dan denda Rp1 miliar bagi penyebar berita bohong (Pasal 45 Ayat 1).

"Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)," bunyi Pasal 45 ayat (1).


2. Pelaku Penyebar Informasi Kejahatan

Pidana penjara sepuluh tahun dan/atau denda maksimal Rp10 miliar bagi pelaku penyebar informasi kejahatan (Pasal 45 Ayat 2).


"Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)."


3. Pencemaran nama baik

Pidana penjara dua tahun dan/atau denda maksimal Rp400 juta untuk pencemaran nama baik (Pasal 45 Ayat 4). "Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun. Dan/atau denda paling banyak Rp400 juta," bunyi pasal 45 ayat (4). 


4. Penyebar Informasi Elektronik

Pidana penjara enam tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar bagi yang sengaja menyebarkan informasi elektronik untuk keuntungan pribadi atau melawan hukum (Pasal 45 Ayat 10).


"Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27B ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar," bunyi Pasal 45 ayat (10). 


5. Pelanggar perlindungan anak

Sanksi administratif kepada PSE meliputi teguran tertulis, denda administratif, penghentian sementara, dan/atau pemutusan akses jika melanggar ketentuan pelindungan anak.


6. Penebar Kebencian 

Pidana penjara enam tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar bagi orang yang mendistribusikan informasi elektronik yang menghasut atau menimbulkan rasa kebencian terhadap kelompok tertentu (Pasal 28 Ayat 2).


"Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp1.0OO.0O0.000,0O (satu miliar rupiah)."


7. Ancaman kekerasan

Pidana penjara empat tahun dan/atau denda maksimal Rp750 juta bagi yang mengirimkan informasi elektronik yang mengandung ancaman kekerasan (Pasal 29).


"Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/ atau menakut nakuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)."

 

UU ITE Jilid II juga ternyata memberi wewenang bagi penyidik kepolisian untuk menutup akun media sosial seseorang. Hal itu ditambahkan dalam Pasal 43 huruf (i). "Memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses secara sementara. Terhadap akun media sosial, rekening bank, uang elektronik, dan atau aset digital."

 

Potensi kriminalisasi

Pakar Hukum Pidana dan Kriminologi dari Universitas Brawijaya Malang, Fachrizal Affandi mengatakan Pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024  tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menambah potensi kriminalisasi terhadap masyarakat sipil yang masih besar.


"UU ITE terbaru ini menciptakan kekacauan. Revisi yang kedua justru menghidupkan lagi pasal-pasal yang bermasalah bahkan ada pasal membuat keonaran online yang sudah ada di KUHP masuk dalam draf UU ITE," kata Affandi kepada NU Online, Selasa (9/1/2024).


Misalnya Pasal karet seperti Pasal 26, Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat 1 dan 2, serta Pasal 45 di UU ITE mengancam demokrasi, terutama kemerdekaan berpendapat dan berekspresi. 


Beberapa pasal yang dianggap bermasalah, termasuk Pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan atau pencemaran nama baik, masih dipertahankan, yang sebelumnya kerap digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis, aktivis, dan masyarakat.


Selain itu, pengaturan Pasal 40 yang berpotensi digunakan sebagai dasar untuk praktik kesewenang-wenangan pemerintah dalam memblokir, memutus akses internet secara ilegal atau melabel hoaks konten-konten publik. Kewenangan besar pemerintah yang diberikan melalui pasal ini dikhawatirkan akan menjadi alat sensor informasi dan suara kritis publik.


Masih dipertahankannya pasal-pasal bermasalah dalam momentum penting revisi UU ITE ini, lanjut Affandi, tentu menjadi keprihatinan publik karena ketentuan yang ada di dalamnya masih berpotensi menambah daftar panjang kasus kriminalisasi kemerdekaan berpendapat dan berekspresi warga negara.


"Kegagalan menghapus pasal-pasal bermasalah tersebut akan berdampak pada tidak tercapainya tujuan revisi UU ITE untuk dekriminalisasi pasal-pasal yang mengancam hak asasi manusia khususnya kemerdekaan berpendapat dan berekspresi," ujar Fachrizal.


Sepanjang 2020-2022 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) telah menangani 199 kasus terkait pelanggaran hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. 


Beberapa kasus itu antara lain: pemutusan akses internet secara ilegal di Papua oleh Kominfo, dan kriminalisasi aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang menyuarakan adanya konflik kepentingan pejabat publik dalam bisnis tambang di Papua.


YLBHI menilai dari kasus-kasus itu, UU ITE seringkali dijadikan dasar pelaporan dan senjata penguasa untuk membungkam suara kritis warga negara termasuk jurnalis.