Nasional TWEET TASAWUF

Yang Perlu Diperhatikan ketika Mengucap Istighfar

Selasa, 2 Juli 2019 | 07:30 WIB

Jakarta, NU Online
Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Muhibbin Caringin, Bogor, Jawa Barat, KH M. Luqman hakim menyatakan bahwa hamba yang beristighfar mengakui eksistensi kehambaan di hadapan Allah SWT.

Sebab menurutnya, hakikat hamba adalah sosok tak berdaya dan tak mampu, hina, apalagi gerak-gerik hamba tanpa penyertaan Allah, berarti adalah ucapan dan tindakan yang salah dan penuh kealpaan.

“Hamba yang beristighfar berarti mengakui tajallinya Allah dalam Asma’ Keagungan-Nya. Karena Pengampunan Allah itu manifestasi dari Kemahaagungan-Nya,” ujar Kiai Luqman dikutip NU Online, Selasa (2/7) lewat twitternya.

“Musyahadah hamba kepada Asma’ Keagungan-Nya, merupakan prestasi paling elementer dalam mengenal siapa dirinya,” sambung Direktur Sufi Center ini.

Ia juga menjelaskan, Istighfar berarti kefanaan hamba, lebur dalam eksistensi Keagungan Allah SWT. Orang yang tidak pernah beristighfar tidak pernah mampu memasuki maqam fana’ apalagi tahap al-Baqa’. Yaitu Penyaksian Keabadian Ilahi dalam Keagungan-Nya.

Bila Allah mengampuni dosa-dosa seseorang, lanjutnya, ia pasti ditakdirkan beristighfar. Betapa indahnya Istighfar itu. Beristighfarlah, ajaknya, namun hati seseorang harus tetap bersholawat. Sebab manusia bisa istighfar semata karena syafaat Nabi Muhammad SAW.

“Bersholawatlah tetapi hatimu beristighfar, karena kamu bersholawat itu disebabkan ampunan Allah padamu. karena SholawatNya Allah pada Sang Nabi SAW,” jelas Kiai Luqman.

Istighfar, imbuhnya, sangat dicintai oleh Allah SWT. Mahabbatullah tidak pernah terjadi manakala hamba tidak beristighfar setiap saat. Oleh sebab itu, hamba yang beristighfar dapat menumbuhkan rindu kepada Allah, karena Cinta-Nya turun pada hamba-Nya yang beristighfar.

“Istighfar melahirkan perdamaian kemanusiaan, karena dalam Istighfar pun ada dua macam Istighfar. Istighfar untuk diri sendiri, dan yang bersifat sosial kemanusiaan, yaitu memohonkan ampunan kepada sesama hamba Allah,” tandas Kiai Luqman. (Fathoni)