Beberapa hari lalu, tepatnya Rabu, 17 Januari 2024, Indonesia kehilangan seorang sosok ulama kharismatik. Beliau adalah KH Abdul Syakur Yasin, atau dikenal Buya Syakur. Ia menyusul dua dari empat teman sejawatnya yang telah mendahului, yakni KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholish Madjid (Cak Nur).
Dua teman lainnya, yang juga para cendekiawan Muslim adalah Quraish Shihab dan Alwi Shihab. Keempat nama ini kerap disebutkan dalam ceramah-ceramahnya.
Bisa dikatakan bahwa Buya Syakur bukan hanya milik umat Islam, tetapi milik masyarakat dengan beragam latar agama. Buktinya, bila melihat ragam komentar atas ceramah dan kajian-kajiannya di kanal YouTube, ada banyak warganet non-Muslim yang terang-terangan mengatakan identitas agamanya.
Saya sendiri sebagai seorang pastor Katolik, juga ikut menikmati kajian dan ajaran-ajaran Buya Syakur. Secara langsung saya memang belum pernah berjumpa dengan sosok pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Cadangpinggan, Indramayu ini. Namun melalui kanal YouTube, saya ikut menikmati setiap kajiannya.
Dalam konteks studi Islam dan media, sosok Buya Syakur mampu menepis anggapan bahwa di tengah perkembangan dunia digital, para ulama tradisional akan semakin tergerus peran dan otoritasnya. Keterbukaannya untuk memanfaatkan media sosial, khususnya melalui kanal YouTube KH Buya Syakur Yasin MA (Wamimma TV), semakin memperluas jangkauan audiens dan pengajarannya.
Sekembalinya ke Indonesia pada 1991 bersama keempat teman sejawatnya tersebut di atas, Buya Syakur memang memilih untuk melakukan aktivitas dakwahnya pada tingkat lokal. Ia mendirikan dan mengasuh pondok pesantren di Indramayu, kampung halamannya sendiri. Sementara itu, keempat temannya berkiprah pada tingkat nasional. Ini diakuinya pada saat memberikan kajian yang ditayangkan di salah satu konten ceramahnya.
Baca Juga
Buya Syakur dan Fiqih Gender
Sebelum memanfaatkan media sosial, tampaknya nama Buya Syakur belum banyak dikenal masyarakat luas. Hal ini terjadi karena Buya Syakur lebih banyak mengajar dan mengisi pengajian di pondok pesantren yang didirikan dan diasuhnya, serta pengajian-pengajian di daerah Indramayu dan Cirebon.
Inilah alasan saya menyebut dan menempatkan Buya Syakur sebagai sosok ulama lokal dalam judul tulisan ini. Lokalitas Buya Syakur tak hanya dilihat dari kiprah dakwahnya. Penampilan dan gaya ceramahnya pun menunjukkan sisi lokalitasnya.
Dilihat dari aspek visual video-video dakwahnya, Buya Syakur sering tampil dalam balutan busana lokal. Ia sering mengenakan kemeja atau batik dengan kopiah berwarna putih, kadang-kadang juga ditambah dengan syal.
Gaya ceramahnya pun tidak jauh berbeda dari ulama-ulama lokal lainnya. Tak jarang ia memakai bahasa daerah, seperti Bahasa Jawa dan Sunda, dalam menjelaskan materi kajiannya. Sesekali ia juga menghisap rokok dan menikmati segelas teh yang tersaji di mejanya.
Selain itu, hal lain yang menempatkannya sebagai sosok ulama lokal sekaligus tradisional adalah berbagai kajian yang ia bahas. Setidaknya ada tujuh kitab klasik yang menjadi bahan kajian Buya Syakur, yakni Kitab Roaitullah, Kitab Al Islamu Minhaj Wa Suluk, Kitab Alamul Jin wasy Syayathin, Kitab Al Hikam, Kitab Tafsir fi Dhilalil Qur’an, Kitab Fathur Rabani, dan Kitab La Tahzan.
Sejumlah akademisi berpendapat bahwa gaya dan isi kajian keislaman seperti itu tidak akan lagi banyak peminatnya. Masyarakat lebih memilih untuk mengakses kajian-kajian keislaman yang siap pakai (ready-to-use), yang langsung dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, kehadiran Buya Syakur di media sosial mampu menepisnya. Kajian-kajiannya, meskipun sarat akan kajian-kajian doktrinal dan kitab klasik, ditambah lagi dengan cara penyampaian yang terkesan tradisional, rupanya tetap diminati banyak orang. Ini terbukti dari jumlah tayang konten-konten kajiannya, yang meskipun berdurasi panjang, tetap mendapatkan ribuan jumlah tayang. Kolom komentarnya pun tak pernah sepi.
Buya Syakur adalah sosok ulama lokal yang kajian-kajian dan ceramahnya diterima secara global. Ia mampu beradaptasi dan mengadaptasi perkembangan zaman, khususnya dengan hadir melalui media-media sosial.
Ceramah-ceramahnya tidak hanya diterima oleh para santri di Indramayu, tetapi juga para santri online yang tersebar di berbagai penjuru. Pesan-pesan kemanusiaannya tak hanya didengarkan oleh umat Islam, tetapi juga umat beragama lain yang dengan sadar ikut mengakses berbagai konten ceramah dan kajiannya.
Di tengah gempuran konten-konten dakwah populer, yang dihadirkan oleh para pendakwah-pendakwah baru, Buya Syakur memberikan warna tersendiri bagi kehadiran kajian Islam di media sosial. Konten-konten kajiannya juga menjadi alternatif pilihan bagi masyarakat untuk memperoleh pengetahuan Islam yang disampaikan pengajar otoritatif.
Selamat jalan Buya Syakur. Semoga Allah memberikan tempat terbaik di surga.
Stepanus Sigit Pranoto, SCJ, Alumnus Program Doktoral Studi Islam, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kepala Kantor Operasional Wilayah Lampung YPK Leo Dehon. Tinggal di Kota Metro, Lampung.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
2
Cerita Rayhan, Anak 6 Tahun Juara 1 MHN Aqidatul Awam OSN Zona Jateng-DIY
3
Peran Generasi Muda NU Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045 di Tengah Konflik Global
4
Luhut Binsar Pandjaitan: NU Harus Memimpin Upaya Perdamaian Timur Tengah
5
OSN Jelang Peringatan 100 Tahun Al-Falah Ploso Digelar untuk Ingatkan Fondasi Pesantren dengan Tradisi Ngaji
6
Pengadilan Internasional Perintahkan Tangkap Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant atas Kejahatan Kemanusiaan
Terkini
Lihat Semua