Opini

Aplikasi ‘Penghasil Uang’ dan Modus Kejahatan Pencucian Uang

Sabtu, 10 April 2021 | 04:30 WIB

Aplikasi ‘Penghasil Uang’ dan Modus Kejahatan Pencucian Uang

Praktik money laundering dari tahun ke tahun, semakin berubah cara dan praktiknya. Praktik tersebut seolah beriringan dengan perkembangan teknologi.

Kejahatan money laundering dalam sejarahnya di awali oleh praktik yang dilakukan oleh seseorang yang bernama Al Capone. Ia merompak kapal Portugis pada tahun 1860-an dan berhasil melarikan sejumlah berlian dari kapal tersebut. Berlian-berlian itu kemudian ditanamkan dalam sebuah badan usaha yang didirikan oleh seorang mantan perompak juga bernama Laundromats yang secara otomatis bisa mencuci hasil kejahatan berupa berlian menjadi mata uang tunai.

 

Karena tidak diketahui sumber asal kekayaannya—yang tiba-tiba menjadi orang yang kaya—akhirnya petugas kepolisian federal Amerika mencurigai Al Capone telah melakukan penggelapan pajak disebabkan tidak melaporkan sumber asal kekayaannya. Saat itu, belum pernah terpikirkan mengenai adanya kemungkinan tindak kriminal/kejahatan lewat praktik money laundering tersebut. Alhasil, pidana yang dikenakan kepada Al Capone tidak setimbang dengan hasil kejahatannya. Ia tetap leluasa menikmatinya meski setelah keluar dari penjara.

 

Kasus kedua dimainkan oleh Meyer Lansky yang agaknya lebih beruntung dari nasibnya Al Capone. Ia selamat dari jerat hukum akibat praktik money laundering yang dimainkannya lebih rapi. Ia menciptakan sebuah barier berupa sistem perbankan di Swiss. Di samping itu, ia juga menciptakan barier berupa industri perhotelan, dan terakhir mendirikan sebuah lapangan Golf. Alhasil, dari ulahnya ini, pihak kepolisian dan perangkat hukum negaranya tidak menaruh kecurigaan sebab dia secara rutin melakukan pembayaran pajak ke negaranya.

 

Praktik ketiga dilakukan oleh seorang mafia obat bius bernama Franklin Jurador, yang berhasil mengelabui petugas hukum karena hasil kejahatannya itu dicuci lewat aksi jual beli aset fiktif (barang ma’dum). Aksinya ini berjalan sangat rapi, sehingga tidak terendus sama sekali. Alhasil, dia berhasil menikmati  kekayaan berupa hasil penjualan obat bius tersebut meskipun harus dengan jalan memutar otak, yaitu memasukkan hasil kejahatannya dalam suatu sistem keuangan.

 

Berangkat dari ketiga pola ini, kita bisa menarik kesimpulan, bahwa praktik money laundering dari tahun ke tahun, semakin berubah cara dan praktiknya. Praktik tersebut seolah beriringan dengan perkembangan teknologi. Teknologi di masa Al Capone, tidak sehebat teknologi di masa Meyer Lansky, apalagi denggan teknologi di masa  Franklin J (tahun 1986). Sangat berbeda sekali, sehingga praktiknya menjadi mengalami penyesuaian.

 

Money Laundering Era Digital

Meskipun peran dan perkembangan teknologi sangat mempengaruhi terhadap kecanggihan praktik money laundering, akan tetapi rumus utama terjadinya money laundering tetap sama, yaitu mengikuti 3 alur, antara lain: placement (penempatan aset), layering (penciptaan sekat/barrier) and integration (penggabungan kembali aset).

 

Indonesia akhir-akhir ini dibanjiri oleh berbagai aplikasi yang menyaru sebagai aplikasi penghasil keuangan. Ada yang dilakukan dengan dalih investasi, arisan berantai, jual beli poin menonton, jual aset kripto, marketplace, dan sejenisnya.

 

Dalih mereka bermacam-macam. Ada yang berdalih menolong masyarakat karena situasi pandemi Covid-19. Ada yang berdalih niat gotong royong, membantu bangkitnya Usaha Masyarakat Kecil dan Menengah (UMKM), dan dalih periklanan lewat media sosial.

 

 

Padahal jika ditelusuri lebih mendalam, semua aset yang mereka perdagangkan sama sekali tidak memiliki basis underlying asset (aset penjamin). Semua aset baik itu aset investasi maupun aset digital yang diatasnamakan cashback, poin atau voucher, seluruhnya tidak memiliki aset penjamin pencairannya.

 

Tentu cashback, poin dan voucher atau koin digital ini tidak sebagaimana yang berlaku atas beberapa marketplace besar seperti Tokopedia, Bukalapak, atau Shopee. Keberadaan aset digital terakhir ini memiliki underlying asset atau biasa dikenal dengan istilah ma fi al-dzimmah untuk scope kajian ekonomi syariah.

 

 

Apakah inisiator aset fiktif digital itu sudah puas dan merasa tenang jiwanya?

Ibarat seekor kucing yang mencuri ikan, tidak ada seorang pun yang melakukan kejahatan dengan jalan mengais rezeki dari jalan haram, jiwanya akan merasa tenang. Mereka akan selalu dirundung rasa resah dan gelisah. Mengapa? Sebab, sewaktu-waktu aksi kejahatannya dan aksi haramnya itu akan terbongkar jua.

 

Sepandai-pandai orang menyembunyikan bangkai, maka akan terendus jua. Dan sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh jua. Itu sebabnya ada adagium yang masyhur di kalangan para pengkaji hukum, bahwa, “tidak ada satu tindak kejahatan pun yang berjalan sempurna. Pasti akan ada celah ketidaksempurnaan itu dan bisa dijadikan wasilah untuk membongkar kedoknya.”

 

Ketika Money Laundrier Tidak Tenang

Sumber ketidaktenangan para pelaku money laundrier pada dasarnya adalah karena saking besarnya aset kejahatan yang mereka terima, maka mereka tidak akan berani untuk memunculkan hartanya itu secara langsung ke permukaan. Naluri masyarakat pasti akan bertanya? Memangnya kerja apa dia kog bisa tiba-tiba memiliki uang banyak.

 

Itu sebabnya, hal pertama yang akan terpikirkan oleh para money laundrier adalah bagaimana cara menyembunyikan aset hasil kejahatan itu agar tidak diketahui publik. Kegelisahan ini sudah pasti akan muncul, seiring finansial mereka berada di rekening perbankan, dan diketahui dari mana aliran dana itu berasal.

 

Sebab, bagaimanapun juga, untuk membongkar sebuah aksi kejahatan di bidang finansial, naluri penegak hukum itu pasti mengarahnya adalah ke rekening. Lewat peran negara, pihak penegak hukum bisa membongkar bagaimana dana-dana itu mengalir. Dan bila aliran itu kelak dikaitkan dengan investigasi terhadap mekanisme bisnis yang dijalankan, maka langsung bisa disimpulkan bahwa si pelaku telah melakukan praktik money game atau tindak kejahatan lainnya.

 

Itu sebabnya, seorang pelaku kriminal bidang keuangan, tidak akan pernah merasa tenang dengan aksi kejahatannya. Untuk mengatasinya, mereka akan membangun sebuah jaring sistem baru guna merancaukan perhatian para penyidik (creating confuusion). Caranya, mereka akan memindahkan dana itu ke sebuah entitas bisnis baru dan “rendah risiko baginya” (low risks).

 

Maksud dari rendah risiko ini jangan dimaknai sebagai tidak berisiko tinggi (high risk) bagi masyarakat lainnya. Low risk, ini adalah versi money laundrier. Mengapa? Sebab, uangnya akan cepat kembali ke rekeningnya (integrated), dan bersalin rupa menjadi “clean funds” dari sebelumnya berstatus sebagai “dirty funds”. Dengan demikian, ia menjadi tenang karena asal-usul hartanya itu sudah tidak diketahui oleh aparat penegak hukum.

 

Ketika hal ini telah berhasil ia lakukan, maka perhatian aparat akan menjadi tertuju, bahwa hartanya itu diperoleh karena menjalankan bisniis X yang berada di sektor legal. Nah, inilah maksud dari low risks bagi money laundrier tersebut.

 

Low Risk Money Laundrier adalah High Risk Member

Bagaimanapun juga, ketika seorang money laundrier telah bergerak menciptakan sebuah mesin cuci finansial yang baru, maka orientasi utama mereka ada 3, yaitu:

  1. Menyelematkan perolehan harta haram alhasil mereka hanya bermaksud untuk melakukan penempatan dirty asset (aset haram) yang telah dikuasainya
  2. Mengelabui petugas, alhasil mereka hanya butuh sarana untuk membingungkan petugas sehingga mereka sendiri sebenarnya juga meyakini bahwa media baru yang diciptakan tersebut tidak akan bertahan lama
  3. Uangnya cepat kembali. Ini adalah poin akhirnya, sehingga mereka aman dari ciuman aparat penegak hukum.

 

Alhasil, dari 3 orientasi utama tersebut, sistem yang diciptakannya, akan memuat kesan sebagai berikut:

  1. Sistemnya semi legal, karena menggunakan produk dari perusahaan yang sudah dikenal legal, namun produknya sulit dijual di pasaran
  2. Dia akan menggunakan sistem jaringan, sebab sistem jaringan ini sifatnya adalah memudahkan tanggung jawab supervisi kaum atasan terhadap kinerja bawahan (member). Asal mereka dijanjikan komisi yang besar, mereka akan rela untuk berlomba-lomba mengikuti arahan dari sponsor atau inisiator
  3. Agar keuangan cepat kembali, maka dilakukanlah mark-up terhadap harga produk aslinya. Karena tidak layak bagi perusahaan yang menerbitkan produk untuk membuka kedok harga produknya ke masyarakat umum, sebab hal itu tidak etis secara bisnis bagi dua pihak yang sudah menjalin kerjasama, maka salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah membandingkan harga produk yang sudah dimark-up tersebut dengan produk serupa di pasaran. Misalnya, Glucoff dengan harga 390 ribu, dibandingkan dengan Glucovance yang 10 tabletnya berharga 49 ribu. Jarak yang jauh, dengan produk yang memiliki bahan aktif sama, mengindikasikan adanya mark-up harga.
  4. Mereka tidak berorientasi pada mudah atau tidaknya konsumen menjalankan misi yang diciptakannya. Sebab tujuan jangka pendek mereka adalah hanya berfokus pada menyelamatkan hasil kejahatan.

 

Jadi, apakah low risk bagi money laundrier sebagai yang low risk bagi member? Jawabnya, sudah barang tentu tidak. Sebab, para member dibebani oleh aksi penjualan barang dengan harga tinggi. Hanya bonus yang menjadi sarana pemancing utama mereka. Alhasil, mereka dalam ujung tanduk, yaitu menari dalam lokasi yang high risk (berisiko tinggi). Penggendangnya adalah para sponsor dan inisiator aplikasi. Iramanya adalah berupa misi-misi dengan janji-janji komisi yang tinggi. Apakah anda menemukan fakta semacam ini?

 

 

Muhammad Syamsudin, S.Si., M.Ag, Direktur eL-Samsi dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur