Oleh Muhammad Faishol
Gus Dur adalah salah satu tokoh pencetus perubahan di Indonesia. Selain dikenal sebagai mantan Presiden ke-4 RI, suami Sinta Nuriya Dewi ini juga sering disebut sebagai bapak pluralisme. Konsistensinya berjuang demi kemanusiaan seringkali membuat banyak orang ‘geleng-geleng’ kepala. Pasalnya, banyak sekali sepak terjangnya di anggap sebagai sesuatu yang kontroversial.
Namun, tahukan Anda jika dibalik sikap tersebut Gus Dur memiliki prinsip yang dipegang betul olehnya, Ya, prinsip tersebut adalah Jangan sampai ketidaksukaanmu terhadap seseorang membuat dirimu berlaku tidak adil terhadapnya. Tentu, ‘adil’ ini sangat mudah untuk di ucapkan, digembor-gemborkan, bahkan sebagai salah satu tema dakwah sebagaimana sekarang banyak ‘dai-dai online’ mensyiarkan adil di berbagai media sosial. Seperti, instagram, facebook, twitter dan masih banyak lainnya. Dengan dibumbui kata-kata sastra yang manis lengkap dengan ‘micin’ penggurih sehingga kata adil ‘laku’ keras sebagai salah satu ‘jualannya’. Namun pertanyaannya, mampu kah kita konsisten terhadap apa yang sering kita ucapkan? Atau kata adil hanya sekedar abang-abang lambe?
Gus Dur benar-benar memberikan keteladanan ‘adil’ pada kita dengan perbuatan. Seperti kasus PKI misalnya. Semua orang tahu bahwa menjadi korban tentu menjadi sesuatu yang pahit, warga Nahdlatul Ulama yang saat itu menjadi korban atau bahkan menurut perspektif lain bisa jadi pelaku. Tetapi terlepas perdebatan NU jadi pelaku atau korban, harus diakui memang NU juga pernah ‘membalas’ semua perlakuan tidak berkemanusiaan tersebut.
Tetapi terhadap sesuatu yang dianggap ‘musuh’ apakah kita masih bisa berbuat adil. Dalam acara Secangkir Kopi Bersama Gus Dur yang disiarkan langsung oleh TVRI, Selasa 15 Maret 2000 silam, Gus Dur secara terbuka meminta maaf dan mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV/1966. Ditemani Franz Magnis Suseno, Noorca, dan Effendy Choirie, Gus Dur menjelaskan latar belakang kenapa Peristiwa 65 perlu dibuka.
Menurut Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) Aan Anshori saat menjadi pemateri di forum gubuktulis bertajuk Peristiwa 65, Belajar dari Gus Dur, pihaknya mengungkapkan setelah secara terbuka Gus Dur meminta maaf dan usulannya untuk mencabut TAP MPRS XXV/1966 di TVRI, atmosfir politik memanas. Penolakan datang dari berbagai elemen masyarakat. MUI bereaksi keras mengecam. Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, tidak sepakat dengan ide Gus Dur. Kecaman juga datang dari hampir seluruh kekuatan politik di Senayan. Pramoedya, kawannya yang juga Korban 65 pun tak kalah sinis atas pemaafan itu. Dia mengritik pedas Gus Dur.
Namun, apa yang dilakukan Gus Dur? Seperti biasa, Gus Dur malah ‘cuek bebek’. Bahkan, cucu dari Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari ini malah menepati janjinya, mengunjungi rumah Pram di kawasan Utan Kayu. Gus Dur yang ditemani Inayah putri bungsunya, ditemui Pram dan Maemunah, istrinya. Sikap ksatria dari pesantren, tidak antikritik, membalas orang yang mencibirnya dengan silaturrahim. Ingat loh ya, tahun 2000 itu Gus Dur masih jadi presiden. Jadi pada saat itu, seorang presiden datang ke rumah masyarakat yang sudah mencibirnya habis-habisan. Tentu tidak ada ‘deal-deal’ tertentu, sebagaimana seseorang bertandang ke rumahnya pemimpin partai politik.
Itu lah kenapa penulis bahkan banyak orang meyakini bahwa Gus Dur tidak pernah mengurangi sikap konsistennya dalam keadaan apapun, dia tidak hanya pandai dalam beretorika, tetapi mampu menyelaraskan antara laku dan pikiran. Motivasi Gus Dur sangat jelas; keadilan dan kemanusiaan. Hal ini tentu sebagai salah satu bentuk solidaritas terhadap nasib korban, yang sampai sekarang masih mengalami tekanan-tekanan dan kehilangan segala-galanya. Selain juga ada tujuan lain misalnya, mendinginkan suasana, yang implikasinya agar anak-anak muda NU dan PKI di masa-masa selanjutnya, merasa tidak punya dendam sehingga tidak ada lagi konflik yang berkepanjangan.
Cerita lain adalah, karena sikap kritisnya dan sering berlawanan kepada rezim Orde Baru, tidak bisa dipungkiri Gus Dur adalah salah satu ‘target’ Soeharto pada saat itu.
Muktamar ke-29 NU yang digelar pada 1-5 Desember 1994 di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat bisa dibilang muktamar paling menegangkan dan terpanas dalam sejarah NU. Mengapa? Pada saat itu, NU dan sosok Gus Dur dengan segala keberaniannya ‘melawan’ pemerintah, dipandang oleh Soeharto sebagai ancaman yang paling membahayakan. Tak pelak, hal ini membuat Soeharto dengan kekuasaannya, ingin memutus kewenangan Gus Dur di PBNU yang sejak tahun 1984 dipimpinnya. Salah satu cara yang ditempuh Soeharto adalah menumbangkan Gus Dur di Muktamar Cipasung. Presiden Soeharto melakukan berbagai intervensi dengan mendukung secara penuh salah satu calon Ketua Umum PBNU untuk melawan Gus Dur sebagai incumbent. Apa skenario yang dijalankan pada saat itu?
Ya, Soeharto memunculkan penantang dari internal NU sendiri yang pastinya anti-Gus Dur yakni Abu Hasan. Bahkan sang paman Gus Dur, KH Yusuf Hasyim, juga ikut terbawa menentang keponakannya itu. Oposisi Gus Dur inilah yang melakukan sejumlah agitasi dengan slogan ABG (Asal Jangan Gus Dur). Mereka mengemukakan kritik ‘pedas’ terhadap Gus Dur, yakni manajemen NU di bawah kepemimpinan Gus Dur dinilai lemah dan otokratik. Bahkan, menurut mereka, langkah Gus Dur ‘berseberangan’ dengan pemerintah dianggap bukan hanya menyimpang dari khittah NU, tetapi juga bertentangan dengan kepentingan NU sendiri. Itulah berbagai isu yang mereka buat untuk mengambil hati muktamirin.
Gelaran muktamar itu juga terkungkung penjagaan militer, terlebih Presiden Soeharto sendiri, Panglima TNI Jenderal Faisal Tandjung, serta para menteri rezim Orde Baru turut hadir di forum tersebut. Tidak hanya personel militer dan sejumlah intel yang menyebar di seantero lokasi muktamar, kendaraan lapis baja juga ikut mengelilingi arena Muktamar Cipasung. Meskipun intervensi begitu kuat, namun Gus Dur akhirnya tetap memenangkan ‘pertarungan’. Beberapa tahun setelahnya ternyata apa yang dilakukan Gus Dur? Dia tiap lebaran Idul Fitri selalu berkunjung ke rumah Soeharto. Dengan segala kebijaksanaan dan kerendahan hatinya, Gus Dur selalu menemui dulu orang yang sudah berusaha ‘membunuhnya’ itu. Lebih-lebih tatkala tampil di salah satu acara televisi nasional, Gus Dur ditanya presenter, kenapa kok Gus Dur masih saja mau berkunjung kepada orang yang sudah berniat tidak baik kepada Anda? “Lah wong itu bukan keinginan Pak Soeharto sendiri kok, hanya urusan politik, sudah itu saja,” jawab Gus Dur sambil tertawa.
Terakhir, contoh yang bisa saya berikan, seperti yang kita ketahui, Gus Dur sering berseberangan sikap dengan Ketua FPI ‘Kang’ Rizieq Syihab. Tetapi tatkala Mas Rizieq ini ditangkap oleh polisi karena beberapa kasus beberapa tahun silam, Gus Dur malah dengan meyakinkan bahwa tindakan Habib Rizieq memprotes polisi atas penangkapannya secara tidak langsung menunjukan ketundukannya pada UUD 1945. Dengan demikian, ia menjaga dirinya dari tindakan apapun yang tidak sesuai dengan hukum. Boleh jadi Habib melanggar hukum, tetapi justru hukum itulah yang melindunginya dari tindakan apapun oleh negara atas dirinya, begitulah kira-kira pembelaan Gus Dur terhadap Rizieq Syihab. Meskipun sering berseberangan pendapat, tetapi Gus Dur tidak segan untuk membelanya jika sesuai dengan hukum, demi prinsip keadilan dan kemanusiaan yang dia anut.
Gus Dur selalu menghormati siapapun dengan tulus, walaupun berbeda pandangan. Sekalipun itu kiai kampung, Gus Dur tetap tawadhu'. Guru Bangsa itu juga rela dicaci-maki, yang penting umat dan bangsa selamat.
Menurut seorang ulama tasawuf KH Lukman Hakim, Gus Dur memandang bangsa ini sebagai keluarga besar. Apa artinya membangun keluarga bangsa jika saling melukai dan berdarah?
Gus Dur mampu memilah dengan mudah mana yang besar dan mana yang kecil, mana yang umum mana yang khusus, mana yang Allah dan mana yang makhluk.
Penulis adalah pecinta Gus Dur dari Gasek Malang