Berpikir Kritis dan Menjaga Kebersamaan Merupakan Cara Melawan Ajaran Radikalisme Kekerasan
Kamis, 15 Agustus 2019 | 06:30 WIB
Oleh Ahmad Rozali
Beberapa hari ke depan, pada 17 Agustus 2019, bangsa Indonesia memasuki usia ke-74 tahun Kemerdekaanya. Di usia tersebut Indonesia telah mengalami berbagai kemajuan, baik dari aspek ekonomi, demokrasi, kebudayaan dan seterusnya.
Namun begitu, seiring kemajuan yang kita capai, tantangan juga berubah. Salah satu tantangan paling nyata saat ini adalah menguatnya paham dan aksi radikalisme dan terorisme. Paham radikalisme kekerasan, jika dilihat dari perkembangannya terdiri atas dua tipikal, pertama yang tumbuh dan berkembang dari ideologi di dalam negeri dan yang kedua dari luar negeri atau kerap disebut dengan gerakan transnasional.
Beberapa waktu lalu, dalam sebuah diskusi yang digelar Wahid Foundation di Jakarta, terdapat paparan menarik tentang pendekatan sejumlah negara dalam menangani kasus terorisme dan radikalisme di berbagai negara seperti Mesir, Turki, dan Kanada oleh Syafiq Hasyim, intelektual muda NU yang sedang menempuh karir akademiknya di RSIS-Nanyang Technological University, Singaporea
Syafiq memaparkan bagaimana perbedaan pola penanganan yang terjadi di setiap negara-negara tersebut, serta penanganan yang dilakukan di tanah air. Dari semua paparannya, ada yang menarik saat Syafiq menjelaskan bagaimana Turki melakukan penanganan terhadap aksi radikalisme dan terorisme di negaranya.
Untuk menekan aksi radikalisme kekerasan, Turki meningkatkan kemampuan berpikir kritis melalui menghidupkan perdebatan publik. Dan itu dipercaya berdampak langsung melahirkan narasi yang mengkonter ajakan pada radikalisme kekerasan.
Paparan Syafiq tepat sekali. Sebab, sejauh ini, aksi radikalisme terutama terorisme dikalukan karena keyakinan pada sesuatu yang diluar nalar. Masuknya pemahaman pada seorang pelaku teror seringkali diterima melalui doktrin, sehingga si pelaku aksi teror kehilangan akan sehat dan melakukan kerusakan, bahkan menghilangkan nyawa orang lain demi keyakinan mereka.
Namun begitu, selain melakukan pendekatan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis, Turki juga menyasar komunitas-komunitas dalam masyarakat dengan pendekatan lunak seperti dukungan terhadap keluarga, konsultasi keagamaan, hingga advokasi pada kelompok rentan.
Sebab secara umum, penguatan budaya juga faktor penting melawan paham terorisme radikal yang sifatnya suka mencerabut pelaku dari akar budayanya. Sederhananya, orang yang memiiki akar kebudayaan, tradisi dan kultur yang kuat akan sulit untuk ‘dijadikan’ peklaku kekerasan apalagi teroris.
Hal ini senada dengan statemen Prof Hamdi Muluk, Guru Besar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia. Kita juga beruntung karena telah memiliki akumulasi kebudayaan, kultur dan tradisi yang kuat Indonesia yang telah dibingkai dalam nilai Pancasila.
“Sebagai sebuah bangsa, kita sebenarnya punya modal sosial yang cukup besar yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika. Apa yang sudah diwariskan dari para founding fathers kita itu adalah modal yang besar, termasuk didalamnya bahasa persatuan. Dan itu sudah berhasil kita lewati, karena sampai hari ini kita tidak terpecah dan masih tetap utuh yang tentunya semua itu adalah sebuah modal sosial yang besar dan tangguh untuk bisa maju”.
Memiliki modal sosial menjadi sangat krusial sebagai modal memajukan sebuah negara. Dan modal sosial demikian hanya bisa dipupuk dengan rasa nasionalisme, melalui membangun kohesi sosial.
Hampir tidak mungkin ada negara bisa maju, jika modal sosialnya rendah. Indonesia sendiri bisa berdiri, menurut Hamdi, dikakarenakan modal sosial yang tingg yang terbangun dari berbagai suku, yang dalam istilah jaman dulu semacam Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatra dan sebagainya.
Kedua poin besar yang dipaparkan Syafiq Hasyim dan Hamdi Muluk tentu sudah dilakukan sebelumnya baik melalui program pemerintah maupun aktivitas masyarakat. Namun masih bisa kita tingkatkan melalui program yang lebih baik, sehingga ajakan-ajakan yang untuk melakukan aksi kekerasan akan secara otomatis tertolak karena ketidakrasionalannya dan karena kebertentangannya terhadap nilai kebersamaan dan kebudayaan.
Penulis adalah redaktur NU Online
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 4 Maksiat Hati yang Bisa Hapus Pahala Amal Ibadah
2
Khutbah Jumat: Jangan Golput, Ayo Gunakan Hak Pilih dalam Pilkada!
3
Poligami Nabi Muhammad yang Sering Disalahpahami
4
Peserta Konferensi Internasional Humanitarian Islam Disambut Barongsai di Klenteng Sam Poo Kong Semarang
5
Kunjungi Masjid Menara Kudus, Akademisi Internasional Saksikan Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
6
Khutbah Jumat Bahasa Sunda: Bahaya Arak keur Kahirupan Manusa
Terkini
Lihat Semua