Oleh Abdullah Alawi
Saya mengetahui danarto melalui cerpennya yang dikupas di salah satu edisi majalah Horison. Saya menemukannya saat di bangku Madrasah Aliyah. Judul cepen itu adalah Mereka Toh Tak Mampu Menjaring Malaikat. Sebuah cerpen yang membuat dahi saya berkerut-kerut sepanjang hari. Kemudian membacanya lagi, berkerut lagi, dan membacanya lagi dan berkerut lagi.
Akulah Jibril, malaikat yang suka membagi bagikan wahyu. Aku suka berjalan di antara pepohonan, jika angin mendesir: itulah aku; jika pohon bergoyang: itulah aku; yang sarat beban wahyu, yang dipercayakan Tuhan ke pundakku. Sering wahyu itu aku naikkan seperti layang-layang, sampai jauh tinggi di awan, dengan seutas benang yang menghubungkannya; sementara itu langkahku melentur lentur melayang di antara batang pisang dan mangga.
Kemudian saya memoto kopinya dengan membundelnya dengan cerpen-cerpen lain yang tertarik seperti Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu karya Hamsad Rangkuti, Sentimentalisme Calon Mayat Soni Karsono, Dilarang Mencinntai Bunga-Bunga Kuntowijoyo, dan lain-lain.
Dengan cerpen-cerpen itu adalah perjumpaan pertama saya dengan sebuah dunia yang muskil, entah, tak terpahami, tapi selalu menggugah.
Saat kuliah di Ciputat, awal-awal semester pertama saya melihat sebuah poster yang akan mendiskusikan karya-karya Danarto. Saya pun mencatat waktunya agar tidak lupa. Meniatkan diri untuk hadir.
Ketika hadir pada diskusi itu, saya tidak berani berbicara sepatah kata pun, dan tak bisa mengingat apa yang Danarto dan para peserta diskusi. Otak saya sepertinya tak mampu mencapainya. Yang saya ingat, justru pakaian Danarto. Sungguh ini hal yang tak ada hubungannya dengan sastra dan proses kreatifnya.
Ia waktu itu berpakaian putih dengan setiap kancing terselip bolpoian. Setiap kancing ditenggeri satu bolpoin. Dan kepalanya ditutup topi hitam.
Tapi setelah itu saya mulai mengoleksi karya-karyanya seperti Godlob dan Adam Ma’rifat. Saya hanya menikmati saja.
Beberapa waktu kemudian, lupa semester berapa, saya makan di sebuah warteg termurah, langganan para mahasiswa. Ketika segala sesuatu di atas piring ledis, kecuali piring dan sendok tentunya, saya melirik ke orang di samping yang juga telah menghabiskan isi piring. Ia bertopi. Tapi tidak jelas mukanya karena dilihat dari samping. Namun, bolpoin-bolpoin yang bertengger di kancing bajunya mengingatkan kepada seseorang. Saya berpikir sejenak. Ya, Danarto.
Tiba-tiba dada saya bergemuruh. Dag dig dug. Kaget bercampur senang bisa makan bareng dengan salah satu sastrawan terbaik Indonesia. Ingin bertanya atau sekadar diskusi beberapa cerpen yang telah saya baca. Atau bertanya proses kreatifnya. Tapi lidah ini kelu, susahnya bukan main. Seperti orang yang tak punya suara.
Setelah mengumpulkan keberanian. Saya akhirnya membuka suara.
“Apakah ini Pak Danarto?” tanya saya.
“Iya,” jawabnya sembari tersenyum.
Saya bersyukur karena benar itu Danarto. Namun, untuk membuka suara, kembali lidah saya kelu.
Hingga akhirnya dia berlalu, saya tak bisa bertanya tentang banyak hal, termasuk bolpoin-bolpoin di kancingnya.
Saya hanya menyimak langkah demi langkah kepergian sastrawan kelahiran Sragen tahun 1940 itu. Sebuah kesempatan emas yang mungkin tidak akan saya temukan lagi.
Tahun 2011, PBNU meresmikan Pojok Gus Dur yang dihadiri empat putrinya. Tanpa diduga, saya bertemu lagi dengan Danarto. Waktu itu ia membawa lukisan berupa Gus Dur yang dibisiki makhluk bersayap. Ia menyebutnya Gitu Aja Kok Repot.
Saat itu, bajunya kosong melongpong, tanpa bolpoin. Namun, saya masih penasaran akan gayannya itu. Namun, untuk berbicara dan bertanya tentang hal itu, tak bisa saya dapatkan karena dia keburu pergi, hendak berbuka puasa.
Pada 2017, saya kembali bertemu dengannya saat pembukaan pameran Sang Kekasih karya pelukis Nabila Dewi Gayatri di Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Sebuah pameran yang menampilkan karya lukisa dari potret kiai-kiai Nusantara.
Saat itu, Danarto kembali berbeda penampilannya pertama kali bertemu. Namun kali ini saya lebih siap dengan berbagai obrolan. Termasuk belakangan akan saya tanyakan tentang hal itu. Baru satu pertanyaan, pameran terlanjur dibuka. Dan ia pun meminta melanjutkan obrolan selepasa pembukaan.
Karena sibuk urusan memotret dan pernyataan-pernyataan dari kurator dan pelukis pada pembukaan, saya jadi abai keberadaan Danarto. Akhirnya saya kembali gagal ngobrol dengannya karena ia, ketika saya hubungi, telah berada dalam bus.
Dan obrolan-obrolan yang tertunda itu, tak akan sempat terselesaikan karena ia telah dipanggil pulang Yang Maha Kuasa, Selasa (10/4).
Selamat jalan, Danarto...Alfatihah...