Pada tahun kesepuluh hijriah, Nabi Muhammad bersama lebih dari seratus ribu kaum muslimin, melaksanakan ibadah haji yang oleh para ahli sejarah disebut haji wada’ (haji perpisahan).
Visualisasi perjalanan Nabi dalam menunaikan ibadah haji, selain ingin mengabadikan suatu formula manasik secara ritualistik, juga membangun suatu kesadaran kemanusiaan secara universal dalam bentuk keadilan sosial, politik, dan ekonomi.<>
Menurut Al-Quran, ibadah haji diperintahkan “Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat buat mereka dan berzikir pada hari-hari yang ditentukan” (QS-22:28). Prof Mahmud Syaltut menginterpretasikan kata “manfaat” dalam ayat tersebut sebagai bentuk aktualisasi dari keadilan sosial politik dan ekonomi.
Di Arafah, Nabi menyampaikan khutbahnya yang terakhir, di hadapan lebih dari seratus ribu jamaah kaum muslimin. Nabi memulainya dengan menyeru kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman, bahwa setiap muslim bersaudara dengan muslim yang lainnya, ia bagaikan unsur bangunan yang saling menguatkan, kewajiban menghormati darah dan kehormatan seseorang atau hak-hak asasi manusia. Nabi, ketika itu, meminta pula kepada yang hadir untuk memberikan perhatian pada sistem perekonomian jahiliyah yang tidak adil, yang diwujudkan dalam praktik riba dan kapitalistik.
Kemudian Nabi berpesan pula kepada kaum muslimin untuk menghormati hak-hak kaum perempuan. Setelah itu, turunlah ayat, “Pada hari ini telah kusempurnakan agamamu untuk kalian dan telah kucukupkan nikmatku kepada kalian dan telah kuridhai Islam menjadi agama kalian,” (QS-5:3).
Pada hari penyembelihan kurban di Mina, turun surah Baraah “Demikianlah suatu permakluman dari Allah dan Rasulnya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-nya berlepas diri dari orang-orang musyrik,” (QS-9:3). Secara politis, ayat ini bermakna pembebasan dari segala bentuk penjajahan dan ketergantungan pada kaum musyrikin, sekaligus proklamasi kemerdekaan Tanah Suci, kemudian Ali bin Abi Thalib berdiri menyampaikan dekrit Nabi yang antara lain berbunyi: “Orang-orang musyrik tidak boleh mendekati Baitullah, tidak boleh tawaf sambil telanjang, dan harus menepati semua perjanjian yang dilakukan.”
Hak Rakyat
Khalifah Usman bin Affan pernah mengirim surat ke semua wilayah kekuasaan Islam. Ia mengimbau kepada seluruh lapisan masyarakat untuk mengadukan segala perilaku birokrat yang merugikan rakyat. Dan, sebagai pemimpin, dalam suratnya ia menulis, “Datanglah pada musim haji, supaya rakyatku dapat mengambil haknya dari aku dan pejabatku bila ada yang merasa hak-haknya telah dianeksasi.”
Dalam buku-buku sejarah pergolakan kemerdekaan Indonesia juga mencatat bahwa, jamaah haji Indonesia di zaman penjajahan (pra-kemerdekaan) juga menjadikan momentum ibadah haji bukan sekadar pelaksanaan ibadah ritual, tetapi juga menjadi arena distribusi informasi untuk penguatan politik warga Nusantara ketika itu.
Jika menilik orientasi pelaksanaan ibadah haji dewasa ini, barangkali perlu kita melakukan reinterpretasi kembali tentang makna dan hikmah yang terkandung dalam ibadah haji, karena ibadah haji yang dilakukan tak mampu mencerahkan spiritualitas dan kesadaran kemanusiaan secara universal, karena nilai kehajian yang diperagakan barangkali terpisah oleh debu-debu kerakusan, tiranik, maksiat, arogansi, dan egoisme.
Ketika kita mencoba membuka tirai dan menengok pada jendela realitas di bumi kehidupan komunitas haji, maka terkadang kita dibuatnya terperangah oleh sepak terjang sebagian di antara mereka. Tersebutlah Haji Fulan dengan tanpa merasa bersalah berkolusi untuk menjarah uang negara yang berakibat sengsaranya rakyat secara struktural.
Ada juga “haji politikus” ketika memiliki “kekuatan politik” seenaknya menganeksasi kemerdekaan dan kebenaran asasi orang lain, jika keinginan politik kelompok dan pribadinya kurang tercapai. Ada keluarga “haji Qarun” yang gemar menumpuk harta dengan jalan menguasai bisnis apa saja dari hulu sampai ke hilir.
Tersebut pula “haji ilmuwan” dengan setumpuk ilmu di kepalanya yang diraih lewat berbagai fasilitas, media dan sarana yang notabene dibiayai rakyat, tak mampu mengantar masyarakatnya untuk melek dari berbagai masalah yang dihadapinya, karena mereka keasyikan “melacurkan” ilmunya untuk memperbaiki prasarana dan sarana hidup keluarganya.
Fenomena tersebut menjadi hal yang sangat pelik, ketika kita ingin mencoba mencari benang merahnya, ia membutuhkan mediasi kearifan dan kesadaran kultural, karena signifikannya ibadah haji yang dilakukan, tergantung bias cahaya-cahaya yang dipancarkannya, sejauh mana orang yang mengitarinya dapat mengambil manfaat dari cahaya yang dipancarkannya. Perjalanan menuju “haji mabrur”, bagai gladiresik (latihan) menuju keharibaan-Nya.
Tangis Asy-Syibli
Kepada Zainal Abidin (seorang ulama dan sufi dari keluarga Nabi) bertanya kepada sahabatnya, “Ketika engkau sampai di Miqat dan menanggalkan pakaian berjahit, apakah engkau berniat menanggalkan juga pakaian kemaksiatan? Dan, mulai mengenakan busana ketaatan? Apakah juga engkau tanggalkan riya (suka pamer), kemunafikan dan syubhat? Ketika engkau berihram, apakah engkau bertekad mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan oleh Allah? Ketika engkau menuju Mekah, apakah engkau berniat berjalan menuju Allah?”
Belum usai pertanyaan-pertanyaan itu memeroleh jawaban, sederet pertanyaan kembali diluncurkan, “Ketika engkau memasuki masjid Al-Haram, apakah engkau berniat untuk menghormati hak-hak orang lain dan tidak menggunjingkan sesama umat Islam? Ketika engkau sa'i, apakah engkau merasa sedang lari menuju Tuhan di antara cemas dan harap? Ketika engkau wukuf di Arafah, apakah engkau merasakan bahwa Allah mengetahui segala kejahatan yang kau sembunyikan dalam hatimu?”
Pertanyaan demi pertanyaan secara bertubi berloncatan tanpa pernah memberi jeda untuk sebuah jawaban, “Ketika engkau berangkat ke Mina, apakah engkau bertekad untuk tidak mengganggu orang lain dengan lidahmu, tanganmu, dan hatimu? Dan ketika engkau melempar jumrah, apakah engkau berniat memerangi iblis selama sisa hidupmu?” Asy-syibli, sang sahabat itu, menjawab “tidak”. Sejurus kemudian Asy-Syibli pun menangis. Ia merasa belum berhaji meski telah melakukan serangkaian ritual haji. Ia merasa belum ihram, meski secara ritus ia telah berihram. Ternyata “zikir” dan ritual saja tidak cukup untuk menjadi mabrur, tapi memerlukan transformasi spiritual dan sosial.
Pengurus Adikarya Tarbiyatul Muslimin Al-Mujahadah, Yogyakarta
Terpopuler
1
Sosiolog Sebut Sikap Pamer dan Gaya Hidup Penyebab Maraknya Judi Online
2
Menkomdigi Laporkan 80 Ribu Anak Usia di Bawah 10 Tahun Terpapar Judi Online
3
Kabar Duka: KH Munsif Nachrowi Pendiri PMII Wafat
4
Komisi III DPR Singgung Judi Online Masuk Kategori Kejahatan Luar Biasa
5
Besok Sunnah Puasa Ayyamul Bidh Jumadal Ula 1446 H, Berikut Niat dan Keutamaannya
6
Khutbah Jumat: Mari Selamatkan Diri dan Keluarga dari Bahaya Judi Online
Terkini
Lihat Semua