Oleh Thobib Al-Asyhar*
Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Ulama dan Cendekiawan Muslim Dunia di Istana Bogor, Jawa Barat setahun yang lalu (1/5/18) merupakan salah satu momentum penting Indonesia "bercerita" kepada dunia. Presiden Jokowi dalam kesempatan tersebut menyampaikan bahwa pertemuan itu menjadi ajang bertukar pengalaman dalam toleransi beragama. "Agar kita membagi pengalaman dalam toleransi dan mengembangkan Islam wasathiyah, Islam jalan tengah," kata Jokowi dalam sambutannya saat itu.
Pesan Jokowi tersebut secara eksplisit ingin menegaskan bahwa Indonesia merupakan "jendela" toleransi dunia karena pengalaman panjang melaksanakan moderasi beragama yang dapat ditularkan kepada dunia. Dalam banyak kesempatan, presiden juga menyampaikan bahwa bangsa Indonesia harus terus mampu menjaga kemajemukan agama, keyakinan, budaya, bahasa, warna kulit dan lain-lain.
Mungkin tidak ada negara di dunia ini dengan tingkat kemajemukan yang sangat tinggi seperti Indonesia. Indonesia dengan jumlah penduduk tidak kurang dari 260 juta, yang terdiri dari 1.331 suku dan 652 bahasa lokal telah mampu menjaga harmoni dan kerukunan umat dengan kekuatan local wisdom (kearifan lokal).
Hal itu menunjukkan bahwa Indonesia sebagai bangsa yang besar, memiliki budaya hidup yang tinggi dan berpotensi sebagai negara yang hebat. Ini merupakan buah dari hasil kesepakatan para pendiri bangsa berupa 4 (empat) pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) yang dibangun dari sumber-sumber nilai sosial, budaya, dan agama yang berkembang di masyarakat.
Sejarah telah membuktikan bagaimana bangsa ini telah berupaya semaksimal mungkin menjaga kerbersamaan sehingga tidak muncul kekacauan (chaos) dalam skala besar dan panjang. Secara sosiologis, kemajemukan itu sendiri merupakan potensi ancaman yang paling laten bagi sebuah bangsa. Kerusuhan sosial bernuansa SARA, seperti kasus Mei 1998, Ambon, Poso, Sampit, dan lain-lain adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa itu menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Tentu pengalaman tersebut menjadi pil pahit bagi bangsa ini sehingga ke depan diharapkan Indonesia semakin dewasa dalam menyikapi berbagai persoalan.
Sebagai negara demokrasi ketiga setelah Amerika dan India, Indonesia bukan tanpa masalah. Kasus-kasus kerusuhan sosial berskala besar pernah terjadi meskipun pada akhirnya mampu dilewati dengan baik sebagai bentuk pendewasaan bangsa secara terus menerus. Kasus lepasnya Timor-Timur (Timor Leste) dari NKRI, kasus GAM Aceh, OPM Papua yang hingga kini masih bergejolak merupakan catatan hitam sekaligus tantangan dalam perjalanan sejarah bangsa ini.
Namun demikian, secara umum, para pemimpin dan masyarakat Indonesia telah memiliki jiwa yang rukun dan damai, memiliki tingkat toleransi (tepo seliro) dan kerja sama yang tinggi. Bahkan indeks kerukunan beragama telah mencapai 72.27 dengan kategori baik. Hal yang menarik, bahwa umat beragama yang berada pada wilayah yang masuk pada kategori heterogen cenderung memiliki nilai Indeks KUB lebih tinggi sebesar 77,9, dibandingkan umat yang berada di wilayah yang homogen sebesar 71,21(Litbang Kemenag, 2018).
Capaian indeks tersebut tidak dapat dilepaskan dari potret orang Indonesia yang sangat religius, memegangi tradisi lokal yang ramah dan damai dengan tingkat kesadaran bahwa hidup guyup dalam masyarakat yang multikultural adalah pilihan tepat sebagaimana telah diajarkan oleh para "founding father". Setiap individu manusia pada hakikatnya berbeda, dan perbedaan itu tidak perlu dipaksa untuk sama. Demikian juga sesuatu yang sudah sama tidak perlu dibeda-bedakan.
Contoh konkrit dari uraian tersebut adalah bagaimana kerasnya perbedaan pilihan politik pada Pilpres tahun 2019 ini yang tidak sampai menjadikan negeri ini terpecah belah. Bahkan anti klimaks dari proses Pilpres lalu yang berakhir rekonsiliasi nasional menunjukkan bahwa Indonesia sebagai bangsa besar, tidak mudah diadu domba di tengah berbagai pertentangan politik dan perbedaan.
Tentu ini patut disyukuri atas kemampuan kita dalam menjaga persatuan dan kesatuan. Beberapa negara di dunia telah gagal, setidaknya kurang mampu mengelola keragaman warganya sehingga terjadi perpecahan dan perang saudara yang tidak pernah usai. Contohnya adalah Uni Soviet, Republik Yugoslavia, dan yang mutakhir adalah Afghanistan.
Khusus untuk Afghanistan bisa disebut sebagai negara yang cukup tragis karena di sana hanya ada sekitar 4 suku besar dengan rincian 42.1% (Pashtun), 33.6% (Tajik), 10.6% (Uzbek), 9.8% (Hazara), 3.9% lainnya. Keragaman yang tidak banyak ini justru para penyelenggara negaranya tidak mampu mengelolanya dengan baik, dimana unsur-unsur kesukuan sangat menonjol (ta'ashub) sehingga tercerai berai dan perang saudara belum berhenti hingga saat ini.
Terlepas dari isu terorisme dan intervensi politik, ekonomi, dan militer asing, khususnya Amerika dan sekutunya, namun Afghanistan sebagai negara yang berdaulat seharusnya mampu menyatukan visi kebangsaannya, membangun kebersamaan dan persaudaraan, bersatu dalam perjuangan, sehingga segera bangkit dari kekacauan. Apalagi penduduknya hanya sekitar 32 juta dengan mayoritas muslim. Sudah tidak terhitung berapa kali antar suku saling bertikai dan bunuh untuk memperebutkan kekuasaan politik dan supremasi etnik.
Indonesia patut bersyukur, dengan jumlah penduduk yang besar dan tingkat keragaman yang tinggi tetapi mampu mengelola kehidupan kebangsaannya dengan baik. Kemampuan Indonesia ini kiranya perlu ditularkan kepada dunia bahwa hidup rukun dan damai bisa dimulai dari keperbedaan dalam semua lini kehidupan. Keragaman adalah sebuah kekuatan dahsyat jika dibangun dari kerelaan hati untuk berbagai rasa. Secara psikologis, kerukunan dan kedamaian sangat terkait dengan "sense" atau rasa dimana setiap manusia akan bisa berbagi jika kita memiliki paradigma "keberagamaan" secara moderat.
Kata kuncinya adalah pola sikap, berpikir, dan bertindak moderat dalam semua sisi kehidupan, khususnya dalam praktik keberagamaan. Lahirnya Ormas Keagamaan besar seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Al-Washliyah, Persis, Al-Irsyad, dan lain-lain yang memiliki corak keberagamaan moderat yang sangat mempengaruhi kehidupan bangsa. Bahkan banyak pengamat asing yang berpendapat bahwa NU dan Muhammadiyah adalah paku bumi nusantara. Bisa dibayangkan jika Indonesia tidak memiliki Ormas Keagamaan tersebut.
KBRI, Corong Moderasi Dunia
Berdasarkan hasil penelitian, sesuatu yang baik akan diceritakan kepada orang/pihak lain rata-rata sebanyak 8 kali. Sementara sesuatu yang buruk akan diceritakan rata-rata sebanyak 12 kali. Artinya, cerita baik (positif) ternyata kalah populis untuk diceritakan kepada pihak lain dibanding cerita yang buruk.
Fakta ini tentu harus menjadi pembelajaran Indonesia bahwa sesuatu yang bagus-bagus wajib diceritakan kepada pihak lain (speak-out) di luar amalan yang berhubungan langsung dengan Tuhan (ibadah mahdlah) agar diketahui apa yang terjadi sebenarnya sehingga memberi manfaat bagi orang banyak. Berbeda dengan sesuatu yang buruk, tanpa disengaja untuk diceritakan kepada orang lain sekalipun memang sudah menarik untuk manjadi objek pembicaraan.
Oleh karena itu, sesuatu yang positif dalam diri kita (Indonesia) sebagai negara demokrasi yang toleran, rukun, dan damai perlu diceritakan secara massif kepada dunia luar. Focal point dalam konteks ini adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang berada di seluruh penjuru dunia sebagai etalase negara di mata dunia internasional.
Jika mencermati dari struktur jabatan di KBRI terdapat beberapa nama jabatan, diantaranya Dubes, Wakil Dubes, dan beberapa bidang, yaitu: Atase Politik, Atase Ekonomi, Atase Pendidikan, Atase Sosial dan Budaya. Dalam konteks agama (keagamaan) dimasukkan dalam bidang sosial budaya. Hanya saja informasi-informasi kehidupan umat beragama di Indonesia kurang mendapatkan porsi yang cukup untuk dipublikasi di ruang sosial budaya.
Mungkin ini menjadi salah satu titik lemah struktur jabatan yang secara fungsi belum menggarap secara maksimal aspek agama (keberagamaan) yang hakikatnya menjadi fokus penting untuk "diceritakan" kepada dunia luar melalui pintu diplomasi yang dikawal oleh KBRI. Isu yang sudah digarap meliputi pariwisata, tradisi, kebudayaan, termasuk di dalamnya pendidikan.
Meski menjadi bagian dari aspek sosial budaya, namun isu kerukunan, toleransi, perdamaian, dan kerjasama antar umat beragama kurang mendapat porsi yang cukup dari promosi keindonesiaan di KBRI. Padahal, potret kehidupan umat beragama dan praktik moderasi beragama justru mendapat sorotan dari dunia luar.
Indonesia yang berpenduduk multikultural dengan mayoritas muslim mainstream telah mampu menunjukkan kepada dunia sebagai etalase kerukunan dan harmoni umat beragama. Banyak negara lain yang mengakui "kehebatan" Indonesia melalui Pancasila sebagai perekat kebangsaan. Di samping peran aktif Ormas Keagamaan dan Majelis-majelis Agama yang berkontribusi dalam menjaga kehidupan harmoni sebagai pondasi kerukunan.
Satu faktor penting yang oleh pengamat diyakini sebagai paku bumi nusantara adalah peran besar Ormas Islam, NU dan Muhammadiyah sebagai penjaga moderatisme beragama di Indonesia. NU dan Muhammadiyah diyakini telah menjadi pengendali arus keberagamaan yang ramah, moderat, toleran, damai dan rukun, sehingga Indonesia tetap berdiri kokoh meskipun beberapa kali diguncang oleh isu-isu perpecahan dan separatisme.
Kondisi Indonesia yang tetap bersatu dan menjaga persaudaraan kebangsaan ini harus dipromosikan ke dunia luar. Kebaikan tidak cukup hanya dinikmati sendiri, akan tetapi perlu disampaikan kepada dunia luar agar memberi inspirasi, atau setidaknya dapat merubah mindset sebagian orang asing terhadap Indonesia yang sering "dituduh" melanggar HAM dan hak-hak minoritas. Kata kuncinya adalah praktik kehidupan moderasi beragama di Indonesia yang perlu diamplifikasi secara lebih masssif, minimal melalui liflet atau info-info pendek dalam berbagai bahasa oleh KBRI sebagai duta-duta bangsa di seluruh penjuru dunia.
*Penulis adalah dosen SKSG Universitas Indonesia, Alumni Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak, Kabag Kerjasama Luar Negeri Kementerian Agama