Nurani Soyomukti
Kolomnis
Kesibukan elektoral dipastikan akan segera berakhir setelah selesainya tahapan Pilkada serentak pada tahun 2024 ini. Sebelumnya, Pemilu 2024 yang sudah dilaksanakan juga sudah menempatkan para anggota legeslatif terpilih (DPR, DPD, DPRD) dan presiden-wakil presiden di posisi masing-masing.
Para “wakil rakyat” terpilih dan terlantik sudah mulai melaksanakan tugasnya. Mereka diharapkan memaksimalkan perannya sebagai legislator, pengontrol kebijakan eksekutif, serta menyusun anggaran pembangunan di berbagai bidang. Mereka diharapkan akan produktif menyusun undang-undang yang diperlukan untuk memperkuat kebijakan Negara yang akan dijalankan oleh pemerintah yang juga harus dikontrolnya. Mereka yang menduduki lembaga tertinggi Negara ini harus menjalankan fungsi keterwakilannya dengan baik, tidak sekedar memainkan kedudukan untuk kepentingan politik yang pragmatis semata.
Sedangkan presiden dan wakil presiden juga sudah membentuk kabinetnya untuk menjalankan pemerintahan di berbagai bidang. Pemerintahan (lembaga eksekutif) inilah yang harus menyusun kebijakan pembangunan dan kegiatan yang menggunakan anggaran Negara. Rakyat yang telah membayar pajak pada Negara menunggu pelayanan publik, kesejahteraan, dan hak-hak lainnya yang harus diberikan.
Kebutuhan utama rakyat itu sebenarnya adalah kesejahteraan dan kebebasan berekspresi dalam ruang demokrasi. Dua hal ini, baik bidang pembangunan ekonomi maupun pembangunan politik, harus seimbang dan berjalan bersama. Dalam sejarah berbangsa dan bernegara, biasanya hubungan keduanya sangat dinamis, tak selalu seimbang.
Stabilitas Politik
Pembangunan ekonomi dianggap bisa berjalan baik ketika stabilitas politik kuat. Tetapi sayangnya, untuk menciptakan sebuah stabilitas politik, ada ketidakseimbangan antara kekuatan Negara dan masyarakat sipil. Negara terlalu dominan dengan pemerintahan yang otoriter yang mampu mengatur-ngatur rakyatnya dan menghalau suara kritik rakyat. Pemerintahan Orde Baru menjadi model yang paling sering menjadi contoh.
Rekayasa politik dan pemasungan hak bersuara dari rakyat menjadi ciri yang sangat menonjol. Bahkan tindakan brutal berupa pembunuhan, penculikan, penangkapan dilakukan terhadap mereka yang menyuarakan kritik dan perlawanan terhadap pemerintah. Cipta-kondisi terhadap kehidupan politik dilakukan agar keadaan politik stabil. Tujuannya agar proses pembangunan ekonomi dari pusat tidak ada gangguan, tidak ada kritik dan diskusi yang terlalu panjang terhadap kebijakan.
Memang terjadi proses pembangunan yang didesain oleh pemerintah pusat yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tetapi lama-kelamaan pertumbuhan ekonomi tidak mengakibatkan pemerataan dan keadilan dalam membagi hasil perekonomian. Ketimpangan semakin lebar antara elit yang berkuasa di bidang ekonomi dan politik, dengan rakyat banyak yang selain termiskinkan juga terpasung suaranya.
Sejak awal, penerapan depolitisasi terhadap rakyat dalam jangka waktu yang lama membuat suara demokrasi terbungkam. Budaya bungkam, tradisi berpikir mati di kalangan rakyat. Jika akhirnya muncul suara kritik dan berlawan mulai akhir 1980-an, ternyata itu kebanyakan berasal dari kelompok mahasiswa dan kelas menengah terdidik saja. Kesadaran rakyat banyak secara umum belum terbangkitkan. Dampak depolitisasi yang berjalan dalam kurun waktu yang panjang adalah pasifnya rakyat dalam politik—bahkan hingga saat ini masih terjadi.
Kebebasan Politik
Ketika kran kebebasan politik dibuka sejak era reformasi hingga saat ini, sesungguhnya partisipasi yang terjadi masih belum menyentuh kebangkitan politik yang aktif dan berkesadaran. Bahkan politik elektoral masih didominasi oleh cara pandang apatis di kalangan masyarakat banyak, dan mobilisasi hanya didasarkan pada penggunaan uang dan materi dari para calon yang berkontestasi.
Para politisi dan partai politik berebut kursi dan kekuasaan dengan menggunakan uang dan logistik material yang diorganisir salah satunya dari menggerogoti anggaran Negara dan cara-cara yang kotor (penambangan ilegal, korupsi, gratifikasi). Biaya politik yang berasal dari donatur dan sponsor punya kepentingan yang kadang bertentangan dengan kepentingan orang banyak. Hal itu juga membuat politisi atau kekuatan politik tidak mandiri dalam mengambil keputusan dan kebijakan.
Artinya, ruang politik yang bebas justru menguntungkan kaum yang berduit untuk menentukan kebijakan politik. Oligarki politik merupakan fenomena yang nyata di mana kekuatan uang bisa mengendalikan kekuasaan demi keuntungan orang yang berduit itu, bukan untuk kepentingan masyarakat banyak. Uang adalah alat yang punya kekuatan yang dalam situasi bebas tanpa kontrol bisa menyapu bersih dunia politik dari ide-ide mulia dan spirit kerakyatan sebagai sarana untuk menciptakan keadilan dan kemaslahatan bersama (orang banyak).
Konsolidasi Demokrasi
Pergantian kepemimpinan nasional diharapkan melahirkan sebuah dasar pembangunan politik yang baru. Visi politik untuk melahirkan keunggulan bangsa lewat slogan Indonesia Emas tahun 2045 harus diaplikasikan dalam sebuah kebijakan dan tindakan dari kepemimpinan nasional.
Prabowo melalui pidato pertama setelah pelantikan telah menyampaikan pernyataan yang terkesan cukup serius untuk memperbaiki bangsa lewat pembangunan politik. Pertama-tama adalah soal pentingnya persatuan nasional yang bermakna bahwa kekuatan-kekuatan politik yang ada harus bersatu untuk tujuan bersama membangun bangsa.
Upaya tersebut bisa berhasil jika kepemimpinan nasional kuat secara moral dan politik untuk menyatukan berbagai kepentingan menuju kepentingan bersama yang satu. Politik yang selama ini friksional dan konfliktual sesungguhnya justru tak lepas dari upaya pemimpin bangsa yang justru tidak bisa memerankan keteladanan. Etika politik yang diperankan presiden Jokowi dipandang bukan hanya menghancurkan kekuatan moral politik yang baik, tapi bahkan telah melahirkan dendam-dendam politik yang terus terjadi.
Peran Prabowo sebagai presiden pasca-elektoral tahun 2024 tentunya tidak mudah. Jika sebagai pemimpin ia ingin membangun tatanan politik yang menguatkan persatuan nasional, maka sesungguhnya tugasnya tidak mudah. Sebagai pemimpin ia tidak boleh lagi menunjukkan bahwa ia tidak berdiri untuk semuanya. Ia harus serius dalam menampakkan tindakan moral-etis agar kekuatan kepemimpinannya memancarkan moralitas. Sebab kekuatan tertinggi dalam membangun politik yang baik adalah moral dan etika politik itu sendiri.
Selanjutnya adalah upaya menciptakan budaya politik yang merakyat, terutama untuk kalangan politisi dan pejabat publik. Melalui pidato pertamanya sebagai presiden, ia menyampaikan retorika kerakyatan dengan benar, menggantikan logika terbalik yang dipegang masyarakat selama ini. Logika yang benar menurut konstitusi dan undang-undang adalah bahwa pejabat publik merupakan pelayan rakyat, bukan yang mengharap atau meminta dilayani rakyat. Itulah yang ditegaskan Prabowo.
Logika presiden Prabowo sudah benar ketika ia mengatakan bahwa rakyatlah yang harus dilayani. Rakyat membayar pajak pada Negara dan uang Negara digunakan untuk menggaji atau memberi kesejahteraan pada pejabat itu. Logikanya, rakyat adalah tuannya. Pemimpin Negara dan pejabat-pejabatnya adalah abdi rakyat. Undang-undang tentang Aparat Sipil Negara (ASN), undang-undang tentang Pelayanan Publik, undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik, undang-undang tentang Hak Asasi Manusia, dan berbagai undang-undang yang sudah dimiliki negara jelas mendukung logika bahwa (pejabat) Negara adalah pelayan dan rakyat adalah tuannya.
Dengan memberikan rakyat suatu kenaikan harkat dan martabat melalui pelayanan dan pemberian kesejahteraan, maka kepercayaan publik terhadap Negara akan pulih kembali. Apalagi jika ada perubahan budaya politik dari yang sifatnya transaksional dan penuh “jual-beli” menjadi budaya demokrasi yang bermartabat, yang membuat rakyat benar-benar rela memilih tanpa sogokan uang dan materi untuk memunculkan tokoh-tokoh yang berkualitas—bukan tokoh-tokoh yang sekedar punya uang untuk menggalang dukungan dan keterpilihan (elektabilitas).
Dari pemahaman ini, tampaknya konsolidasi demokrasi tidak bisa dilepaskan dari pembangunan sebuah tatanan politik yang berpihak pada rakyat. Pemimpin bangsa harus mempersatukan kekuatan-kekuatan yang ada untuk menjadi kekuatan politik dalam melayani rakyat dan memperbaiki demokrasi. Presiden Prabowo dalam pidato-pidatonya di awal kemenangannya juga seringkali mengingatkan bahwa para tokoh dari partai yang masuk dalam kabinetnya jangan sampai bertugas untuk mencari logistik untuk kepentingan partai. Ia juga menegaskan bahwa pejabat Negara bukan untuk mencuri anggaran Negara. Ia seringkali mengingatkan agar APBN jangan sampai bocor.
Konsolidasi demokrasi untuk memperbaiki bangsa tergantung pada apakah pernyataan-pernyataan presiden selaku pimpinan politik Negara tertinggi mampu mewujudkan retorika-retorika yang diucapkan itu menjadi sebuah kekuatan politik yang operasional untuk mewujudkan visi-misi suci dan mulia itu. Tentunya ia akan berhadapan dengan partai-partai yang mendukung pemerintahannya yang juga punya kepentingan politik yang sudah terbangun oleh budaya pragmatis-oportunis. Prabowo harus mampu mengendalikan kekuatan-kekuatan itu untuk tujuan mulianya.
Konsolidasi demokrasi bisa dilakukan dengan merubah tatanan dan sistem politik maupun perubahan mentalitas elite dan rakyat dalam berpolitik. Membangun kekuatan untuk mewujudkan tujuan merubah sistem politik bisa dilakukan dengan mengerahkan angora DPR untuk merevisi undang-undang yang berkaitan dengan demokrasi dan politik. Misal, sudah terdengar kabar tentang rencana merevisi undang-undang Pemilu. Bisa jadi, misalnya, merubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup.
Juga muncul wacana agar demokrasi tidak berbiaya tinggi. Arahnya masih belum terbaca karena masih sebatas wacana. Saya kira, kalau biaya Pemilu dan Pilkada dianggap menguras anggaran Negara, bisa jadi arahnya adalah meniadakan sistem pemilihan langsung. Kepala daerah cukup dipilih oleh wakil rakyat (DPRD). Atau malah presiden dan wakil juga dipilih oleh “wakil rakyat” seperti jaman Orde Baru hingga Pemilu 1999 (Pemilu pertama era reformasi).
Mungkin juga penghapusan status tetap pada penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) yang sudah mulai diwacanakan oleh partai Gerindra. Harus diakui, keberadaan pejabat KPU yang menjabat lima tahunan menyedot anggaran untuk uang kehormatan (istilah untuk “gaji” bulanan di KPU dan Bawaslu). Hanya saja, hal itu akan berhadapan dengan konstitusi yang menyatakan di Pasal 22E bahwa Pemilu diselenggarakan oleh penyelenggara yang sifatnya tetap dan mandiri.
Tetap artinya tidak adhoc atau selama waktu tertentu sepanjang dibutuhkan untuk tugas menyelenggarakan tahapan. Atau KPU dan Bawaslu pusat saja yang tetap, tapi untuk tingkat propinsi dan daerah bisa adhoc. Atau memang harus merubah redaksi di konstitusi—dan ini bisa dilakukan karena wacana untuk perubahan amandemen memang tak jarang muncul dari para tokoh-tokoh politik di Jakarta.
Yang jelas, bagaimanapun sistem Pemilu dan politik-pemerintahan yang dibuat, konsolidasi demokrasi harus mengarah pada upaya menciptakan demokrasi yang benar-benar berbasis kepentingan rakyat. Yang mampu menciptakan proses politik yang efektif untuk memberikan partisipasi rakyat, sekaligus tidak mengarah pada otoritarianisme dan oligarki politik. Di sini posisi dan peran pemimpin bangsa adalah mengarahkan agar kekuatan-kekuatan politik semakin berfungsi dengan baik untuk menyalurkan aspirasi rakyat dan membuat rakyat bisa kembali menjadi subjek politik yang berkesadaran.
Organisasi-organisasi politik dan kemasyarakatan punya fungsi pendidikan politik yang baik yang dapat ditujukan untuk mengawal pembangunan bangsa-negara mencapai tujuannya, misalnya target menggapai Indonesia Emas tahun 2045. Tokoh-tokoh politik dan para pegiat politik memiliki kesadaran untuk memperbaiki bangsa dan mengabdi pada rakyat, bukan untuk mencari-cari kesempatan untuk mencapai tujuan pribadi dan kelompok semata.
Retorika kerakyatan presiden Prabowo yang diucapkan di dalam pidato setelah pelantikan itu sesungguhnya memang luar biasa. Jika ia punya kekuatan politik dan moral yang legitimate dan kuat untuk memotivasi para pelaku politik dan bisa bersatu dalam tujuan yang sama, tentu tidak menutup kemungkinan bahwa bangsa ini akan mampu membangun konsolidasi politik yang solid untuk meraih tujuan besar menjadi Negara yang kuat dan hebat di mata dunia, sekaligus berwibawa dan bermanfaat bagi rakyatnya.
Nurani Soyomukti, pendiri Institute Demokrasi dan Keberdesaan (INDEK); sedang menempuh program pasca-sarjana di jurusan Akidah-Filsafat Islam (AFI) Universitas Islam Negeri (UIN Satu) Tulungagung; penulis buku-buku bertema sejarah kebangsaan, kajian sosial-politik dan budaya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Pendidikan sebagai Kunci dalam Menggapai Impian
2
Khutbah Jumat: Bersemangatlah, Mencari Nafkah adalah Ibadah
3
Kongres XIII JATMAN Siap Digelar di Asrama Haji Donohudan Boyolali pada 21-22 Desember 2024
4
Innalillahi, KH Moh Nasrullah Baqir Pengasuh Pesantren Tarbiyatut Tholabah Paciran Wafat
5
Gus Yahya Sebut 3 Ketua Umum PBNU Alumni Krapyak
6
Kabar Duka: KH Imam Haramain Pengasuh Pondok Denanyar Jombang Wafat
Terkini
Lihat Semua