Opini

Membangun Berdasarkan Budaya Lokal

Kamis, 8 Maret 2018 | 12:00 WIB

Oleh Abdul Ghopur

Upaya pembangunan jati diri bangsa Indonesia, seperti penghargaan pada nilai budaya, agama, bahasa, nilai-nilai solidaritas sosial dan ekonomi, kekeluargaan, dan rasa cinta tanah air, akhir-akhir ini nampaknya mengalami kemerosotan yang cukup tajam. Lihat saja peristiwa-peristiwa intoleransi antarsesama warga bangsa yang belakangan bergolak, semisal isu anti ras atau agama (SARA) tertentu, bahkan antipemerintah.

Hal ini ditandai dengan maraknya berita hoaks yang menghiasi ruang media terutama media sosial (medsos), yang dikuatirkan dapat merusak tatanan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara. Dampak derasnya isu SARA yang membanjiri ruang media telah mengendorkan ikatan toleransi antarumat beragama, suku, ras dan antargolongan seperti yang kita rasakan saat ini. 

Selain itu, menguatnya sentimen SARA secara perlahan telah memudarkan nilai-nilai gotong-royong dan demokrasi yang selama ini sudah terbangun dan berjalan baik. Di sisi lain tak hanya isu SARA, berita-berita hoaks yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya telah meracuni pengguna media sosial. Akibatnya, timbul pemutarbalikan fakta (distorsi) yang telah menciptakan keresahan sosial. Bahkan tingkat keresahannya sudah sampai pada level atau realitas sosial. Penyerangan dan tindak kekerasan terhadap tokoh/pemuka agama di Jawa Barat dan Jawa Tengah beberapa saat lalu adalah buktinya.

Hal tersebut disebabkan antara lain oleh belum optimalnya upaya pembentukan karakter bangsa, kurangnya keteladanan para pemimpin, lemahnya budaya patuh pada pemimpin atau juga pada orang tua, membabi-butanya penyerapan budaya global yang negatif, dan kurang mampunya menyerap budaya global yang lebih sesuai dengan karakter bangsa, serta ketidakmerataan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat serta upaya pembangunannya yang menjauhi kultur-kultur bangsa kita sendiri (local wisdom).

Padahal, pembangunan suatu bangsa tidaklah bisa terlepas dari memelihara dan melestarikan kultur dan natur serta adat-istiadat suatu bangsa. Contoh sederhana, budaya bercocok tanam di salah satu suku di Indonesia, masyarakat Indonesia pasti memiliki hitung-hitungan yang pas, yaitu mereka menimbang atau memperhitungkan kapan waktunya menanam, menyemai, pembibitan, pemukkan, sampai masa panen. Dan, semuanya itu dilakukan bukan secara asal-asalan menanam dan memanen. Tapi selalu diawali dengan doa-doa atau ritual khusus yang ditujukan pada Sang Maha Pencipta agar memperoleh keberkahan dan perlindungan saat mulai menanam dan memanen.

Lalu, setelah mereka memanen hasil cocok tanamnya, hasilnya tidak dihabiskan semua sesaat setelah panen. Tapi, sebagian untuk dijual, sebagian untuk diberikan atau disedekahkan  kepada tetangga, dan sebagiannya lagi disimpan untuk masa-masa berikutnya terutama pada saat paceklik.

Contoh lainnya, di bidang penyebaran ajaran keyakinan seperti agama Islam. Para Wali Songo (9 wali) di Indonesia melakukan dakwah agamanya kepada masyarakat setempat tidak menggunakan kekerasan atau paksaan, semisal melarang dengan terang-terangan budaya lokal atau kebiasaan-kebiasaan masyarakat lokal yang telah hidup ribuan tahun sebelumnya. Misalnya, pagelaran wayang kulit, ketoprakan, jagongan dan tari-tarian. Juga, tidak pernah langsung melarang kebiasaan masyarakat setempat yang suka minum-minuman arak dan kebiasaan memakan makanan yang diharamkan dalam agama Islam.

Justru para Wali Songo memadukan budaya-budaya lokal yang masih selaras atau bisa diselaraskan dengan ajaran agama Islam, misalnya wayang kulit dan jenis-jenis tarian tertentu. Ada maksud-maksud tertentu ajaran Islam yang sengaja deselipkan atau disisipkan di situ. Begitu pula dengan tradisi tahlillan yaitu, memperingati 3, 7, 14, 21, 100, dan 1000 harian setelah seseorang sanak keluarga meninggal. Tetapi, tradisi tersebut diselaraskan dan disisipkan bacaan-bacaan thoyyibah (baik) seperti melafalkan asma Allah dan dzikir-dzikir serta shalawat Nabi. 

Lalu, sajia-sajian (sesajen) dan bakar kemenyan yang semula diletakkan di sudut-sudut rumah atau di pohon-pohon besar, perlahan diubah dengan menyediakan makanan atau minuman yang dibagikan kepada tetangga dan masyarakat sekitar akar tambah barokah serta pahalanya mengalir kepada si mayit dan sesajen perlahan ditinggalkan tanpa harus merasa terintimidasi dengan ajaran baru.

Begitu pula masalah kebiasaan minum-minuman arak atau makan-makanan yang diharamkan dalam Islam, perlahan dibuang kebiasaan tersebut dengan mengemukakan alasan-alasan mendasar, baik seara ilmiah (medis), mau pun secara religi (hukum fiqih dan syara’) tentang ketentuan haramnya atau mengapa minuman dan makanan tersebut diharamkan atau menjadi haram semisal dengan berlebih-lebihan. Dan, itu juga berlaku pada bidang-bidang kehidupan sosial lainnya seperti politik dan ekonomi (kewajiban zakat). Serta masih banyak lagi contoh-contoh local wisdom dan tradisi baik lainnya yang semuanya itu merupakan kekuatan budaya dan ketahanan bangsa kita.

Oleh sebab itu, pembangunan di bidang budaya harus terus ditingkatkan serta senantiasa dijaga dan dipelihara yaitu ditandai dengan peningkatan pemahaman terhadap keragaman budaya, pentingnya toleransi dan interaksi budaya, serta menjaga sekuat-kuatnya kesatuan dan persatuan bangsa (Bhineka Tunggal Ika), hormat-menghormati, sayang-menyayangi antara yang tuda dan muda, menghargai budaya dan adat-istiadat setempat, patuh pada orang tua dan pimpinan di level mana pun. Menjaga kerukunan antarsesama umat beragama dan interagama, menghormati dan menghargai kultur dan natur bangsa dalam pembangunan ekonomi, politik dan pendidikan.

Dengan melakukan semua hal itu, insyaallah bangsa dan negara Indonesia akan kuat dalam persiangan global dan budaya kita akan lestari. Kecintaan terhadap tanah air akan selalu hidup di sanubari kita. Sebab, barang siapa tidak punya tanah air, maka tidak punya sejarah. Barang siapa tidak punya sejarah, maka akan terlupakan. Bukankah bangsa lain juga melakukan hal yang sama? Sehingga mereka pun dapat bertahan dan bersaing dalam percaturan global dan kebudayaan mereka juga masih tetap terjaga. Intinya, tiada suatu bangsa yang bisa hidup tanpa budaya dan menjaga serta memelihara sejarah bangsanya dan para pendirinya.


Penulis adalah Intelektual Muda NU, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa