Luasnya wilayah perairan laut Indonesia menjadi tantangan kedaulatan tersendiri. Apalagi potensi laut merupakan penghasil sumber daya terbesar. Bukan hanya ikan, tetapi juga biota laut lainnya serta sumber daya mineral di lepas pantai. Laut juga menyimpan potensi wisata yang dapat menarik turis mancanegara sehingga keberadaannya perlu mendapat perhatian besar oleh negara.
Dalam hal ini, negara bisa belajar dari Guru Bangsa, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Setelah dilantik menjadi Presiden ke-4 RI pada 1999, Gus Dur langsung memberikan terobosan besar yaitu membentuk Departemen Eksplorasi Laut (kini Kementerian Kelautan dan Perikanan) pada 26 Oktober 1999. Lembaga atau departemen yang mengurusi laut sebelumnya tidak ada. Padahal sebagian besar wilayah Indonesia adalah lautan.
Memperkuat wilayah laut bukan hanya menegakkan kedaulatan, tetapi juga dapat mewujudkan pemberdayaan ekonomi yang besar. Gus Dur kala itu berhasil meletakkan kembali dasar-dasar pembangunan ekonomi berbasis maritim yang selama ini berorientasi darat. Gus Dur menekankan perlunya reorientasi pembangunan ekonomi dari basis daratan kembali ke basis kelautan. Terlebih Indonesia berada di kawasan lautan Hindia-Pasifik yang sangat strategis dalam kancah perekonomian global.
Reorientasi pembangunan yang digagas Gus Dur ini sekaligus meluruskan sejarah bangsa yang pernah berjaya di masa lalu sebagai bangsa pelaut. Sejarah membuktikan bahwa kejayaan bangsa Nusantara di masa lalu berakar di laut. Dengan pembangunan berbasis kelautan, kekuasaan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan Kesultanan Islam disegani di dunia. Bahkan dengan berbasis kelautan inilah agama Islam berkembang pesat.
Sriwijaya dan Majapahit adalah kerajaan yang berkuasa di laut. Mereka akhirnya punya banyak wilayah, yang diklaim sebagai wilayah taklukan. Baik Sriwijaya maupun Majapahit dianggap pemersatu Nusantara. Namun, kejayaan itu tidak berlangsung lama. Tentu saja armada laut yang buruk menjadi kelemahan Indonesia, sehingga dengan mudahnya dikuasai bangsa-bangsa Eropa, termasuk Belanda dengan maskapai dagangnya, Vereniging Oost-Indische Compagnie (VOC).
Sebab itu, ‘NKRI Harga Mati’ harus juga difokuskan di wilayah perairan laut. Bahkan, sebutan ‘wilayah terluar’ untuk menunjuk daerah-daerah yang langsung berbatasan dengan laut harus diganti dengan ‘wilayah terdepan’ sehingga membangun mindset wilayah terdepanlah yang harus menjadi fokus utama pertahanan nasional. Ini artinya negara harus lebih kokoh mempertahankan wilayah terdepan sebagai tembok pertahanan itu.
Dalam jangka panjang, untuk semakin memperkuat dan merawat bidang kelautan ini, Gus Dur diketahui menerbitkan peraturan yang mendukung kejayaan maritim Indonesia, yakni Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 52 Tahun 1999 Tentang Konvensi Internasional Tentang Tanggung Jawab Perdata untuk Kerusakan Akibat Pencemaran Minyak, Kepres Nomor 55/1999 tentang Perjanjian Kerjasama Indonesia dengan Jerman dalam bidang pelayaran, dan Kepres Nomor 178/1999 Tentang Ratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 di Indonesia.
Terlihat bahwa Gus Dur tidak hanya berupaya memperkuat kedaulatan laut di level nasional, tetapi juga di ranah global. Warisan Gus Dur tentang penguatan laut ini penting untuk diteruskan dan dikembangkan menjadi potensi ekonomi nasional dan internasional di tengah kapal-kapal asing yang selama ini tak jarang memasuki wilayah perairan terdepan Indonesia secara ilegal. Bahkan selama bertahun-tahun, negara asing dengan mudahnya melakukan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia.
Perlu diketahui, laut termasuk hal yang dilupakan para penguasa feodal pribumi Indonesia setelah munculnya kerajaan-kerajaan Islam, terutama di Jawa. Gertakan Adipati Unus kepada Portugis, ketika jadi penguasa Demak, adalah gertakan penguasa-penguasa Jawa di laut. Setelah VOC Belanda datang ke Jawa, Mataram yang menjadi kerajaan paling berkuasa di tanah Jawa, nyatanya tak pernah sanggup mengimbangi kekuatan armada laut VOC. Hingga pelan-pelan VOC pun berkuasa di Nusantara sejak 1602.
Di tengah komitmennya dalam memperkuat bidang kelautan, Gus Dur juga tidak melepaskan diri untuk memberi masukan, saran, dan kritik terhadap pertahanan kelautan Indonesia. Hal ini ia lakukan setelah tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI. Bukan Gus Dur namanya jika tidak melontarkan humor, bahkan saat menyampaikan kritik sekalipun.
Suatu saat Muhammad AS Hikam (2013) sowan menemui Gus Dur. Sampai di kediaman, Hikam mengetahui Gus Dur sedang beri’tikaf. Seketika itu, Hikam langsung menyimpuhkan diri di belakang Gus Dur. Mengetahui ada orang hendak menemuinya, Gus Dur menengok dan membalikan badan.
Obrolan berjalan ringan dan santai. Presiden ke-4 RI dan mantan menterinya itu membincang persoalan kebangsaan yang seolah tak ada habisnya. Sampailah obrolan tentang kekuatan pertahanan Indonesia. Gus Dur tidak memungkiri bahwa kekuatan pertahanan nasional harus terus dikembangkan.
“Tapi kata TNI persenjataan kita itu kuat lho, Gus,” sergah Hikam. “Kuat apanya kang? Kalau misalnya perang di laut, kapal angkatan laut kita belum sampai ditembak pun sudah tenggelam. Tahu sampean kenapa?” kata Gus Dur sambil nyengir. “Kenapa, Gus?” tanya Hikam. “Karena keberatan dempul untuk nambal kapal-kapal kita,” jawab Gus Dur terkekeh.
Penulis adalah Redaktur NU Online.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua