Opini

Meneropong Masa Depan Penyelenggaraan Ibadah Umrah Tahun 2022

Jumat, 31 Desember 2021 | 10:00 WIB

Meneropong Masa Depan Penyelenggaraan Ibadah Umrah Tahun 2022

Bila umrah tidak terselenggara maka pelaksanaan ibadah haji 2022 yang masih terus akan dihantui penyebaran Covid-19 diprediksi akan suram.

Oleh Mustolih Siradj

Umat Islam di Indonesia agaknya masih perlu mempertebal kesabaran. Pasalnya hingga di pengujung tahun 2021 penyelenggaraan ibadah umrah tidak juga kunjung dilaksanakan sehingga keinginan untuk menunaikan ibadah ke tanah suci Mekah harus terus dipendam. Sebelumnya Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melalui siaran media sosial pada awal Oktober menyatakan pemerintah Arab Saudi sudah mengizinkan jamaah umrah asal Indonesia masuk ke negara tersebut. 


Berbagai persiapan teknis terus dikebut oleh Kemenag dan kementerian terkait. Sampai kemudian muncul kesepakatan antara organisasi asosiasi penyelenggara haji dan umrah dan Kementerian Agama bahwa tanggal 23 Desember 2021 merupakan jadwal penerbangan perdana yang terbatas diikuti oleh pimpinan travel. Meski begitu, pada akhirnya sampai dengan tanggal yang telah diumumkan penyelenggaraan umrah tidak kunjung berjalan.


Untuk memastikan terselenggaranya umrah bahkan Menteri Agama secara khusus sempat membawa rombongan terbang ke Tanah Suci untuk meninjau dan melobi langsung kepada otoritas Arab Saudi. Akan tetapi ikhtiar tersebut ternyata tidak langsung dapat menuai hasil. Musababnya tidak lain karena persoalan pandemi Covid-19 yang belum reda.


Meski di Tanah Air pengendalian cukup baik dan terus melandai akan tetapi tampaknya pihak Arab Saudi sebagai negara tuan rumah masih harus sangat berhat-hati untuk membuka seluas-luasnya pintu umrah khususnya untuk jamaah dari Indonesia yang merupakan jamaah terbesar.


Di Tanah Air sendiri meskipun penyelenggaraan ibadah umrah merupakan murni domain dari pihak swasta (travel), akan tetapi tetap harus mendapatkan izin dari Kementerian Agama sebagai pemegang otoritas sektor ini. Di sisi lain ternyata Kementerian Agama tidak dapat berjalan sendiri karena harus berkoordinasi dan sinergi dengan kementerian lainnya seperti Kementerian Perhubungan yang menanggungjawabi urusan angkutan udara, demikian pula dengan Kementerian Kesehatan sebagai yang harus dapat memastikan kesiapan di sektor kesehatan. Karena menyangkut perjalanan lintas negara maka diperlukan peran Kementerian Luar Negeri. Demikian pula dengan kebutuhan dokumen visa membutuhkan peran dari Kementerian Hukum dan HAM. Bahkan pada saat pandemi seperti sekarang keputusan untuk menyelenggarakan kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerumunan yang berisiko memicu penyebaran virus harus ada ‘restu’ dari Satgas Covid-19. 


Gambaran tersebut bermaksud menjelaskan betapa penyelenggaraan umrah tidaklah sesederhana yang dibayangkan karena satu sama lain saling terkait dan tidak dapat berjalan sendiri. Dengan kata lain, keputusan ditetapkannya penyelenggaraan umrah tidak hanya berada di tangan Kementerian Agama semata, akan tetapi menyangkut kebijakan lintas sektor bahkan lintas negara yang masing-masing memiliki aturan, prosedur dan protokol mengikat yang mesti ditaati oleh siapa saja. 


Namun begitu, persoalan umrah ini mesti mendapatkan kepastian karena hal ini menyangkut hajat hidup orang banyak, khususnya masyarakat Muslim. Para pemegang otoritas di negeri ini mesti memiliki pemahaman bahwa umrah di samping merupakan hak warna negara untuk menjalankan ibadah yang dilindungi dan dijamin  konstitusi. Pada saat yang sama wisata religi yang kerap disebut sebagai haji kecil ini juga mesti diposisikan sebagai bagian dari proses pemulihan ekonomi nasional mengingat antusiasme masyarakat beribadah ke Tanah Suci ternyata tidak surut meski dihantam pandemi Covid-19.


Efek umrah secara ekonomi akan mengerek sektor penerbangan sebagai penopang utama, kemudian juga akan menjadi pengungkit di sektor pendukung semisal perhotelan, alat-alat perlengkapan serta bangkitnya travel-travel umrah yang sudah hampir tiga tahun terpuruk bahkan sudah tidak berdaya karena dihantam pandemi Covid-19. 


Sebelumnya memang agenda pemberangkatan umrah di awal tahun 2021 terhambat karena ada hal-hal cukup krusial yang menjadi penghambat dengan negara Arab Saudi misalnya terkait dengan penanganan Covid-19 di Tanah Air yang dianggap masih tidak menentu sehingga Indonesia sempat dikeluarkan dari daftar negara yang dapat mengirimkan jamaah umrah.


Seiring dengan penanganan Covid-19 yang telah diakui WHO Arab Saudi akhirnya kembali mengembalikan Indonesia ke dalam daftar negara yang dibolehkan mengirimkan jamaah. Kemudian  ada pula isu berkenaan dengan perbedaan penggunaan vaksin, di mana Arab Saudi ketika itu tidak mengakui Sinovac dan hanya mengakui empat jenis vaksin yakni Moderna, Pfizer, Jhonson & Jhonson, dan Astra Zanecca. Pada akhirnya Sinovac juga diakui oleh Arab Saudi. 


Persoalan lainnya adalah  terkait dengan integrasi antara aplikasi PeduliLindungi dengan Tawakkalna milik Arab Saudi terkait dengan tracing Covid-19. Kabar terbaru menyebutkan Kementerian Kesehatan telah tuntas mengintegrasikan dua sistem tersebut. Hal ini tentu menjadi kabar menggembirakan sehingga diharapkan awal tahun depan umrah memang sudah dapat berjalan mengingat beberapa hambatan yang bersifat prinsipil yang selama menjadi ganjalan dapat diatasi dan mendapatkan solusi sehingga tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menunda pemberangkatan jamaah umrah. 


Namun demikian penyebaran varian baru Covid-19 yang dikenal dengan nama Omicron pada rentang di akhir tahun ini yang mulai merebak di beberapa negara Eropa dan Asia menjadi tantangan berikutnya. Ia dikhawatirkan bisa menjadi ancaman baru yang menyebabkan tertundanya kembali penyelenggaraan ibadah umrah. Beberapa negara kembali melakukan pengetatan protokol kesehatan untuk mengantisipasi gelombang baru yang disebabkan varian ini karena penyebarannya dianggap lebih cepat dibanding varian sebelumnya.


Berhasil tidaknya pemberangkatan ibadah umrah awal 2022 nanti sejatinya akan menjadi titik awal sekaligus indikator bagi penyelenggaraan ibadah haji di tahun tersebut yang sudah semakin dekat. Jika umrah jadi terselenggara akan sangat membantu pemerintah untuk mematangkan berbagai persiapan penyelenggaraan haji khususnya terkait hal-hal teknis seperti penerapan protokol kesehatan, jadwal penerbangan, rute pergerakan jamaah di Makkah-Madinah dan terpenting mengestimasi biaya-biaya yang harus ditanggulangi yang nantinya dibebankan kepada jamaah. 


Sebaliknya bila umrah tidak terselenggara maka pelaksanaan ibadah haji 2022 yang masih terus akan dihantui penyebaran Covid-19 diprediksi akan suram karena tidak memiliki bekal empiris dalam menyiapkan berbagai kebutuhan terutama menyangkut aspek kesehatan dan keselamatan. Terlebih haji diselenggarakan dalam waktu yang terbatas dan berjalan serentak. Lebih dari semua itu, pemerintah akan dinilai oleh publik tidak melayani salah satu hak dasar warga negaranya yakni menjalankan ibadah dan keyakinannya yang secara tegas dilindungi dan merupakan mandat dari konstitusi.


Mustolih Siradj, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta