Opini

Mengapa Banyak Pesantren Meredup Setelah Kiainya Wafat?

NU Online  ·  Senin, 22 Desember 2025 | 21:03 WIB

Mengapa Banyak Pesantren Meredup Setelah Kiainya Wafat?

Sekelompok santri di sebuah pondok pesantren sedang berjalan. (Foto: dok. LP Maarif NU Jateng)

Oleh Muhammad Irfanudin Kurniawan dan Afaf Saifullah Kamalie

 

Setiap kali kabar wafatnya seorang kiai besar tersiar, duka mendalam menyelimuti umat. Namun di balik kesedihan itu, ada kekhawatiran yang jarang diucapkan: apakah pesantren ini akan bertahan?


Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Kita pernah menyaksikan bagaimana beberapa pesantren yang dulunya besar dan ramai, perlahan menyusut sepeninggal pendirinya. Santri berkurang, bangunan tak terawat, dan yang paling menyedihkan—ruh pendidikan yang dulu begitu hidup, perlahan memudar dan menghilang.


Namun di sisi lain, ada pesantren-pesantren yang justru terus berkembang meski sudah berganti kepemimpinan hingga generasi ketiga atau keempat. Gontor tetap Gontor meski KH Imam Zarkasyi wafat pada 30 April 1985. Darunnajah terus meluas dengan 22 cabang di seluruh Indonesia, padahal para pendirinya sudah berpulang. Apa yang membedakan mereka?


Pesantren di Indonesia umumnya lahir dari karisma seorang kiai. Beliau mendirikan, mengajar, memimpin, dan menjadi magnet yang menarik santri dari berbagai penjuru. Inilah kekuatan pesantren, sekaligus titik rentannya.


Ketika seluruh sistem bergantung pada satu figur, wafatnya sosok itu berarti guncangan besar. Tidak ada yang keliru dengan kepemimpinan karismatik. Yang menjadi masalah adalah ketika karisma tidak pernah ditransformasi menjadi sistem yang bisa diwariskan.


Max Weber, sosiolog Jerman, sudah lama mengingatkan fenomena ini. Dalam teorinya tentang otoritas karismatik, Weber menyebut tantangan terbesar adalah "rutinisasi karisma"—proses mengubah kekuatan personal menjadi kekuatan institusional yang mampu bertahan lintas generasi. Tanpa proses ini, karisma akan memudar bersama wafatnya sang pemimpin.


Pesantren-pesantren yang berhasil melewati transisi kepemimpinan memiliki satu kesamaan: mereka membangun sistem, bukan sekadar mengandalkan figur.


Pondok Modern Darussalam Gontor, misalnya, sejak awal menanamkan prinsip bahwa pesantren adalah milik umat, bukan milik keluarga. Kepemimpinan dijalankan secara kolektif oleh Badan Wakaf, bukan diwariskan secara biologis. Prinsip inilah yang membuat Gontor tetap kokoh meski sudah berganti kepemimpinan berkali-kali sejak para trimurti pendirinya—KH Ahmad Sahal, KH Zainuddin Fananie, dan KH Imam Zarkasyi—berpulang.


Hal serupa dilakukan Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta. Dirintis sejak 1942 dan resmi berdiri sebagai pesantren pada 1 April 1974, Darunnajah didirikan oleh tiga tokoh: KH Abdul Manaf Mukhayyar, KH Qomaruzzaman, dan KH Mahrus Amin. Sejak awal, mereka menerapkan sistem kepemimpinan kolektif dan mengembangkan kerangka sistematis yang disebut "Fitur Darunnajah"—sebuah model yang menjaga konsistensi pesantren lintas generasi.


Lima Pilar yang Menjaga Keberlanjutan

Fitur Darunnajah terdiri dari lima elemen yang saling terkait, membentuk satu kesatuan sistem pengelolaan pesantren. Pertama, fikrah (ideologi). Setiap pesantren membutuhkan landasan pemikiran yang jelas dan terdokumentasi dengan baik. Bukan hanya tersimpan di kepala kiai, tetapi tertulis, diajarkan, dan dipahami seluruh civitas pesantren. Ketika fikrah sudah menjadi milik bersama, ia tidak akan hilang meski pencetusnya telah tiada.


Kedua, shibgah (karakter/identitas). Ini adalah "warna" khas yang membedakan satu pesantren dengan lainnya. Shibgah tercermin dalam tradisi, budaya, hingga cara berpakaian dan berbahasa. Pesantren yang kuat memiliki shibgah yang mengakar begitu dalam, sehingga siapa pun yang memimpin akan tetap menjaga karakter tersebut.


Ketiga, khittah (garis perjuangan), adalah visi jangka panjang dan prinsip-prinsip dasar yang tidak boleh berubah. Ia menjadi kompas yang mengarahkan setiap keputusan. Dengan khittah yang jelas, pesantren tidak akan kehilangan arah meski berganti nakhoda.


Keempat, ansyithah (program/aktivitas). Ini adalah penjabaran konkret dari fikrah dan khittah ke dalam kegiatan sehari-hari. Program yang tersistem tidak bergantung pada satu orang. Ia berjalan karena ada kurikulum, jadwal, dan mekanisme yang jelas.


Kelima, taqyim (evaluasi). Elemen yang paling sering terlupakan. Evaluasi berkala memastikan pesantren tetap pada jalurnya dan mampu memperbaiki diri. Tanpa taqyim, pesantren bisa menyimpang tanpa sadar atau terjebak dalam rutinitas yang kehilangan makna.


Dari Karisma menuju Sistem
Kelima elemen ini membentuk ekosistem yang memungkinkan pesantren bertahan dan berkembang secara mandiri. Kiai tetap dihormati sebagai pemimpin spiritual dan intelektual, tetapi keberlangsungan pesantren tidak bergantung sepenuhnya pada sosok beliau.


Ini bukan berarti mengurangi peran kiai. Justru sebaliknya. Kiai yang visioner adalah mereka yang mempersiapkan institusinya untuk tetap hidup setelah dirinya tiada. Membangun sistem justru merupakan bentuk tanggung jawab tertinggi seorang pemimpin.


Nabi Muhammad SAW sendiri memberikan teladan dalam hal ini. Beliau tidak hanya meninggalkan ajaran, tetapi juga membangun komunitas, menetapkan prinsip-prinsip dasar, dan mempersiapkan generasi penerus yang memahami visi besarnya. Islam tetap berkembang empat belas abad setelah beliau wafat karena ada sistem yang beliau wariskan.


Bagi pesantren-pesantren yang masih bergantung penuh pada figur kiai, kini saatnya mulai berbenah. Bukan dengan mengurangi peran kiai, tetapi dengan membangun sistem yang mendampinginya.

 
  • Mulailah dengan mendokumentasikan pemikiran dan visi kiai dalam bentuk tertulis. Jangan biarkan khazanah berharga itu hilang bersama wafatnya beliau.
  • Bentuk tim kepemimpinan kolektif yang memahami dan berkomitmen pada visi pesantren. Libatkan mereka dalam pengambilan keputusan strategis sejak dini.
  • Rumuskan nilai-nilai dasar dan prinsip yang tidak boleh berubah, kemudian sosialisasikan kepada seluruh santri dan pengajar hingga benar-benar terinternalisasi.
  • Bangun program dan kurikulum yang tersistem, sehingga tidak bergantung pada satu orang saja untuk menjalankannya.
  • Lakukan evaluasi secara berkala dan terbuka untuk perbaikan yang berkelanjutan.


Pesantren adalah aset berharga peradaban Islam di Indonesia. Lembaga ini telah melahirkan ulama, pemimpin, dan manusia-manusia berkualitas selama berabad-abad. Akan sangat disayangkan jika pesantren-pesantren besar harus meredup hanya karena tidak ada sistem yang menjaga keberlanjutannya.


Membangun sistem bukan berarti mengkhianati tradisi. Justru itulah cara terbaik untuk menjaga tradisi tetap hidup dan relevan. Pesantren yang kuat adalah pesantren yang mampu melampaui usia pendirinya—terus mendidik generasi demi generasi, meneruskan cahaya ilmu yang tidak pernah padam.


Muhammad Irfanudin Kurniawan dan Afaf Saifullah Kamalie adalah dosen Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan Islam di Universitas Darunnajah Jakarta. Artikel ini adalah bagian dari seri tulisan tentang Fitur Darunnajah yang diharapakan menjadi fremwork Organisasi Pendidikan Islam.
 

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang