Memilih jodoh dalam perkawinan meskipun bersifat privat, sesungguhnya pilihan itu memiliki dampak sosial ekonomi bagi keluarga baru dan berpengaruh langsung terhadap masa depan anak-anak yang dilahirkan.
Muhammad Ishom
Kolomnis
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy, mengusulkan agar orang kaya menikahi orang miskin untuk memutus mata rantai kemiskinan. Hal ini disampaikannya di Istana Kepresidenan, Jakarta (Kamis, 20/2/2020).
Gagasan tersebut perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak terutama dari kalangan ulama meskipun mereka sendiri mungkin belum bisa memberikan contoh riil di tengah-tengah masyarakat dengan melaksanakan gagasan tersebut.
Namun setidaknya diharapkan dengan memberikan dukungan seperti itu mereka tidak berupaya mementahkan gagasan tersebut karena tujuan dari anjuran perkawinan antartingkat ekonomi atau perkawinan orang kaya dengan orang miskin memang mulia baik dilihat dari sudut agama dan sosial-ekonomi.
Di Indonesia saat ini, sebagaimana disebutkan Menko Muhadjir Effendy, per September 2019, jumlah keluarga miskin mencapai hampir 5 juta, atau sebesar 9,4% dari total 57 juta rumah tangga di Indonesia. Angka tersebut sangat tinggi dan perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak.
Selama ini berbagai macam program pengentasan kemiskinan di Indonesia tidak membuahkan hasil maksimal karena hanya manyasar kemiskinan struktural. Padahal kemiskinan juga diakibatkan oleh masalah–masalah kultural. Salah satunya adalah sudah mapannya budaya masyarakat di mana orang-orang miskin kawin dengan sesama orang miskin.
Meski belum ada penelitian yang mendalam sebagaimana diakui Menko Muhadjir Effendy, secara kasat mata ada kecenderungan bahwa bertemunya orang miskin dengan orang miskin dalam ikatan perkawinan berpotensi membentuk keluarga miskin baru.
“Saat sesama orang miskin menikah maka lahirlah keluarga baru yang miskin,” tandasnya.
Artinya kemiskinan itu tidak jarang diturunkan secara sosial-ekonomi melalui keluarga, yakni ketika kedua orang tua tidak mampu memberikan berbagai macam modal yang cukup yang dibutuhkan anak-anak untuk masa depannya seperti kekayaan materi, pendidikan, keterampilan, mentalitas dan sebagainya.
Di sisi lain, juga sudah menjadi budaya yang mapan di masyarakat bahwa orang kaya kawin dengan sesama orang kaya. Budaya ini problematik secara sosial-ekonomi keislaman karena menimbulkan akumulasi kekayaan pada kelompok tertentu dan bahkan merupakan konglomerasi di antara orang-orang kaya sehingga orang kaya makin kaya, orang miskin makin miskin. Bukankah Al-Qur’an telah mewanti-wanti:
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Artinya, “Jangan sampai harta kekayaan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS. Al-Hasyr: 7).
Kedua fenomena itu dipercaya menjadi penyebab sulitnya mengatasi kemiskinan kultural karena tidak adanya distribusi kekayaan yang signifikan dari orang kaya ke orang miskin melalui perkawinan. Tetapi harus diakui perkawinan kaya-miskin tidak mudah terwujud karena ada faktor (kuasi)-agama yang cukup berperan dalam merintangi hal ini, yakni konsep fiqih tentang kafa’ah.
Sebagaimana diakui oleh Menko Muhadjir Effendy bahwa salah satu penyebab orang kaya kawin dengan sesama orang kaya dan orang miskin kawin dengan sesama orang miskin adalah perilaku masyarakat mencari kesetaraan dalam perkawinan. Jika ditelusuri perilaku demikian berangkat dari prinsip kesetaraan dalam perkawinan yang disebut kafa’ah dalam terminologi fiqih.
Distorsi Kafa’ah
Secara umum, kafa’ah didefinisikan sebagai kesetaraan antara suami dan istri dalam hal status sosial, pekerjaan atau kekayaan, akhlak, dan asal usul keturunan. Kafa’ah atau lebih dikenal dengan istilah perkawinan sekufu merupakan hak perempuan dan tidak mempengaruhi sah tidaknya sebuah perkawinan. Artinya sebuah perkawinan tetap sah meski tidak sesuai dengan prinsip kafa’ah.
Dalam praktiknya, banyak orang memegang prinsip kafa’ah kuat-kuat seolah-olah kafa’ah merupakan ajaran suci yang harus dijaga sehingga bukan merupakan pilihan untuk dipegangi atau tidak tetapi malahan dipercayai merupakan keharusan untuk diterapkan. Di sisi lain, kafa’ah yang dari awal sejarahnya diperuntukkan buat perempuan, dalam perkembangannya juga dipegangi oleh laki-laki.
Akibatnya, banyak orang kaya baik perempaun maupun laki-laki kawin dengan sesama orang kaya dengan alasan memegangi prinsip kafa’ah. Ketika orang kaya kawin dengan orang kaya, maka peluang orang miskin untuk kawin dengan orang kaya menjadi kecil atau tertutup sehingga mereka kawin dengan sesama orang miskin. Demikian seterusnya, maka mata rantai kemiskinan sulit diputus melalui perkawinan akibat distorsi kafa’ah.
Belajar dari Perkawinan Rasulullah dengan Siti Khadijah
Sejarah mencatat bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hingga usia 25 tahun belum menikah. Hal ini membuat Siti Khadijah mengutus Nufaisah binti Mun-ya untuk menanyainya mengapa begitu. Rasulullah menjawab bahwa beliau belum memiliki bekal yang cukup untuk persiapan menikah. Nufaisah kemudian bertanya lagi bagaimana kalau bekal itu ada yang menyediakan dan orang itu bernama Siti Khadijah yang tak lain adalah majikan Rasulullah.
Mendengar keterangan itu Rasulullah setuju untuk menerima lamaran Siti Khadijah. Lalu menikahlah sang karyawan dengan sang majikan dengan mas kawin 20 ekor unta. (Lihat Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terjemahan oleh Ali Audah, Litera AntarNusa: 2008, hal. 120). Perkawinan agung ini menjadi titik tolak perubahan ekonomi Rasulullah dari semula seorang karyawan menjadi seorang majikan karena menikah dengan sang majikan. Siapakah sutradara di balik ini semua kalau bukan Allah subhanahu wa ta’ala?
Dari perkawinan Raulullah dengan Siti Khadijah itu kita mesti belajar bahwa tidak ada persoalan perkawinan orang kaya dengan orang miskin baik secara hukum agama maupun etika. Namun perkawinan antartingkat ekonomi semacam ini tidak jarang mendapat cibiran dari sebagian masyarakat yang perilaku dan pola pikirnya kapitalistik.
Sikap seperti itu sudah ada sejak jaman Rasulullah. Perkawinan Siti Khadijah dengan Rasulullah tidak luput dari cibiran semacam itu. Orang-orang kaya yang kapitalistik cenderung menolak perkawinan antartingkat ekonomi karena tidak menginginkan harta mereka terdistribusi kepada orang-orang yang tidak memiliki kapital alias orang miskin. Mereka menginginkan kapital yang mereka miliki bisa berkembang dan meningkat dengan mengawini sesama orang kaya.
Kita mesti paham bahwa perkawinan antartingkat ekonomi adalah sebuah sisntesis atau jalan tengah dan merupakan salah satu cara islami untuk memutus mata rantai kemiskinan. Dan inilah yang dilakukan Rasulullah untuk memperbaiki nasib dan masa depan. Kita bisa membayangkan apa jadinya seandainya Rasulullah menikah dengan sesama orang yang lemah secara ekonomi. Bukankah keberhasilan dakwah Rasulullah dalam menyebarkan Islam tidak lepas dari peran Siti Khadijah yang sangat kaya itu?
Al-Qur’an mengabadikan perubahan nasib Rasulullah itu dalam ayat berikut:
وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى
Artinya, “ Dan Dia mendapatimu sebagai orang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan (kaya). [QS. Ad-Duha: 8]
Abu Muhammad al-Husayn bin Mas'ud al-Baghawi dalam kitab tafsirnya berjudul Tafsir Al-Baghawi, (Beirut, Dar Ibn Hazm: 2002, cetakan pertama, hal. 1416) , menjelaskan bahwa Allah mengayakan Rasulullah dengan harta Siti Khadijah. Artinya keadaan ekonomi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membaik dari semula miskin menjadi kaya setelah beliau bekerja pada Siti Khadijah dan kemudian majikan itu meminta beliau menjadi suaminya.
Jadi ayat itu memberi petunjuk kepada manusia bahwa dari sekian banyak cara mengatasi kemiskinan, perkawinan antartingkat ekonomi sesungguhnya merupakan salah satu cara terbaik. Dibandingkan dengan sedekah dan zakat – tanpa bermaksud mengecilkan pentingnya kedua hal ini – perkawinan semacam ini lebih efektif untuk memutus mata rantai kemiskinan sebab pihak yang miskin memiliki akses kuat dan langsung terhadap kekayaan yang dimiliki pasangannya.
Hal ini memungkimkan besarnya kekayaan yang terdistribusi kepada pihak yang miskin tidak dibatasi pada jumlah tertentu, apalagi mereka saling mencintai dan telah padu menjadi satu dalam ikatan perkawinan. Perkawinan memang memungkinkan hak-hak yang semula bersifat pribadi seperti kekayaan menjadi hak bersama untuk membelanjakannya.
Jika terjadi perceraian di antara mereka, maka ada mekanisme di mana pihak yang miskin bisa mendapatkan bagian tertentu dari kekayaaan pasangannya, misalnya melalui mekanisme gono-gini. Atau mereka mendapatkan warisan sebagai suami atau istri dari harta yang ditinggalkan pasangannya yang kaya.
Tak Perlu Fatwa
Dengan seluruh argumentasi di atas kita dapat memahami usulan Menko PMK, Muhadjir Effendy, agar ada fatwa tentang Perkawinan antartingkat ekonomi sebagaimana ia sampaikan kepada Menteri Agama, Fahrul Razi, dalam dalam sambutannya di acara Rapat Kerja Kesehatan Nasional di JIExpo Jakarta (Rabu, 19/2/2020).
Usualan tersebut mendapat banyak sambutan kontra dari berbagai kalangan dan tidak sedikit yang bersikap skeptis. Wakil Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Ace Hasan Syadzily dan mantan Cawapres 2019 Sandiaga Uno menyatakan ketidaksetujuannya atas usulan Muhadjir Effendy. Alasannya adalah memilih pasangan dalam perkawinan merupakan urusan pribadi sehingga negara tidak perlu ikut campur. Sedang Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam menanggapi usulan itu sebagai lucu-lucuan (Kamis, 20/2/2020).
Menanggapi polemik tersebut Muhadjir Effendy mengatakan bahwa usulannya kepada Menteri Agama tersebut dilontarkannya sebagai intemeso. Tetapi ia tidak mencabut seluruh pandangannya tentang fenomena orang kaya kawin dengan orang kaya dan orang miskin kawin dengan orang miskin karena masing-masing mencari kesetaraan dengan semua dampaknya.
Dampak sosiologis ekonomis dari fenomena ini adalah orang kaya makin kaya dan orang miskin makin miskin sehingga mata rantai kemiskinan sulit diputus. Solusinya adalah perlu adanya gerakan moral di mana orang kaya didorong untuk menikahi orang miskin untuk memutus mata rantai kemiskinan.
Oleh karena perkawinan menyangkut masalah agama, maka Muhadjir Effendy melontarkannya kepada Menteri Agama untuk ditindaklanjuti terlepas dari apakah dia benar-benar memberikan usulan atau sekedar intermeso. Bagi penulis hal ini tidak terlalu penting meski penulis juga tidak setuju jika perkawinan antarekonomi dijadikan fatwa yang mengikat secara hukum karena sudah pasti akan membatasi kebebasan memilih jodoh, di samping memang tidak ada jaminan bahwa perkawinan semacam ini pasti sukses sebagaimana kelazimannya.
Namun demikian, penulis menangkap hal positif dari apa yang digagas oleh Muhadjir Effendy, yakni bahwa lontaran itu mengingatkan mayarakat bahwa memilih jodoh dalam perkawinan meskipun bersifat privat, sesungguhnya pilihan itu memiliki dampak sosial ekonomi bagi keluarga baru dan berpengaruh langsung terhadap masa depan anak-anak yang dilahirkan. Perkawinan sesama orang miskin rentan terhadap lahirnya kemiskinan baru.
Kesadaran seperti itu perlu dimiliki oleh para pemuda dan pemudi terutama mereka yang telah memasuki usia perkawinan sehingga mereka tidak memilih pasangannya semata-mata karena cinta tetapi juga mempertimbangkan masa depan keluarga bersama-sama anak-anak. Para orang tua juga perlu memiliki kesadaran akan hal ini sehingga tidak asal menjodohkan anak-anaknya. Bukankah kemiskinan itu bisa mendekatkan pada kekufuran?
Hal yang terpenting dari gagasan Muhadjir Effendy tentang perlunya perkawinan antartingkat ekonomi adalah ketika orang-orang kaya mengawini orang-orang miskin dengan berbagai alasan masing-masing, mereka harus diapresiasi dan jangan malah dicibir atau diolok-olok, apalagi dibenturkan dengan prinsip kesetaraan atau kafa’ah dalam fiqih.
Bagaimanapun Rasulullah dengan Siti Khadijah telah mempraktikan perkawinan semacam ini atas izin dan ridha dari Allah subhanahu wa ta’ala. Di sinilah relevansinya usulan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy, disampaikan kepada Menteri Agama yang semestinya kemudian diserahkan kepada para tokoh agama atau ulama (jika mereka sepakat) untuk disosialisasikan kepada masyarakat sebagai gerakan moral tanpa campur tangan negara.
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 4 Maksiat Hati yang Bisa Hapus Pahala Amal Ibadah
2
Khutbah Jumat: Jangan Golput, Ayo Gunakan Hak Pilih dalam Pilkada!
3
Poligami Nabi Muhammad yang Sering Disalahpahami
4
Peserta Konferensi Internasional Humanitarian Islam Disambut Barongsai di Klenteng Sam Poo Kong Semarang
5
Kunjungi Masjid Menara Kudus, Akademisi Internasional Saksikan Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
6
Khutbah Jumat Bahasa Sunda: Bahaya Arak keur Kahirupan Manusa
Terkini
Lihat Semua