Opini

Merdeka dari Kebijakan Full Day School

Rabu, 6 September 2017 | 01:01 WIB

Merdeka dari Kebijakan Full Day School

Siswa madrasah (ist).

Oleh Thoriq Tri Prabowo

Memasuki bulan Agustus pada setiap tahunnya berarti semakin bertambah juga usia kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan tersebut harus dikenang dan direfleksikan pada kondisi kekinian, pasalnya perjuangan untuk merebut kemerdekaan ini sarat akan nilai luhur yang patut dijadikan inspirasi oleh generasi muda. Pada tahun 2017 ini, kemerdekaan Indonesia memasuki usia yang ke-72. Usia tersebut bisa dibilang cukup tua untuk ukuran usia manusia.

Di usia yang bisa dibilang tidak muda, Indonesia tentu sudah banyak mengalami kemajuan termasuk dalam hal pemenuhan hak warga negaranya. Salah satu hak yang paling mendasar di Negara demokrasi ialah hak berpendapat. Secara sederhana, merdeka berarti bebas dari belenggu penjajahan. Namun jika dimaknai lebih luas, maka istilah merdeka tentu bisa diimplementasikan dimana saja, salah satunya ialah merdeka dalam berpendapat.

Kemerdekaan berpendapat tentu bukan berarti seseorang lantas bebas berpendapat tanpa kontrol. Masyarakat yang hendak mengutarakan pendapatnya harus memperhatikan norma-norma yang berlaku di masyarakat, karena hakikat kebebasan di Indonesia ialah kebebasan yang dibatasi oleh hak orang lain. Salah satu wujud kemerdekaan berpendapat yang akhir-akhir ini sering dijumpai di dunia maya ialah kemerdekaan menyikapi kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayakan meluncurkan wacana kebijakan Full Day School (FDS), sekolah 8 jam selama 5 hari yang hingga saat ini masih menjadi polemik dan penolakan masyarakat. Kebijakan tersebut tertuang pada Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017.

Kebijakan lima hari sekolah diluncurkan dengan dalih untuk memperkuat pendidikan karakter siswa. Dengan diberlakukannya FDS, siswa akan belajar penuh di sekolah sampai dengan sore hari selama lima hari. Kebijakan tersebut menuai beragam tanggapan, ada yang pro dan tentu tak sedikit yang kontra.

Beberapa tokoh bahkan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) mengkritisi kebijakan FDS ini, pasalnya kebijakan tersebut dibuat tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat. Beberapa aspek yang patut menjadi perhatian pemerintah ialah aspek sosial dan keagamaan.

Dalam aspek sosial, pemerintah perlu memperhatikan bahwa kondisi sosial masyarakat Indonesia tidaklah sama. Tidak semua anak yang sekolah berasal dari keluarga dengan kondisi perekonomian menengah ke atas. Bahkan di beberapa sekolah yang berada di pedesaan, siswanya berasal dari keluarga yang kurang mampu sehingga tidak jarang mereka membantu orang tuanya seusai jam sekolah. 

Dengan diberlakukannya FDS tentu mereka tidak bisa membantu orang tuanya bekerja lagi. Lebih parahnya lagi, FDS berpotensi semakin memberatkan orang tua yang kurang mampu, pasalnya dengan diberlakukannya jam tambahan uang saku siswa juga akan cenderung meningkat. Aspek sosial dan ekonomi yang seperti disebutkan di atas perlu menjadi perhatian pemerintah dalam memeratakan kebijakan FDS di seluruh daerah.

Selanjutnya dalam aspek keagamaan, FDS dikhawatirkan akan merampas hak anak untuk mengenyam pendidikan keagamaan di Madrasah Diniyah (Madin) yang selama ini sudah berdiri di tengah-tengah masyarakat. Madin bagi masyarakat Indonesia tidak hanya lembaga pendidikan semata, melainkan sudah menjadi tradisi kuat yang turut memiliki andil dalam perjuangan kemerdekaan. Perjuangan para santri, ustadz, dan kiai tersebut terekam jelas dalam tulisan para Sejarawan.

Sangat miris tentunya jika salah satu lembaga yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia justru terancam oleh kebijakan pemerintah yang dulu pernah diperjuangkan kemerdekaannya. Menanggapi aspirasi dari para tokoh masyarakat dan Ormas yang semakin meluas, Presiden Joko Widodo menuliskan beberapa pendapatnya mengenai FDS pada media sosial twitter. 

Dalam cuitannya, Presiden mengungkapkan bahwa FDS bukanlah sebuah keharusan, melainkan sebuah pilihan. FDS boleh diimplementasikan asalkan diterima oleh masyarakat dan tokoh agama setempat. Presiden mengungkapkan bahwa yang terpenting dari pendidikan anak ialah masalah kualitasnya, sedangkan terkait pemberlakuan FDS ialah fleksibel.

Melaksanakan FDS atau tidak ialah sebuah kemerdekaan untuk sekolah sebagai penyelenggaranya. Seperti yang diinstruksikan Presiden, sekolah pun tidak bisa dengan sembarangan mengimplementasikan FDS tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat sekitar. 

Untuk mengantisipasi terjadinya gesekan di tengah-tengah masyarakat, pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan terkait FDS ini. Sikap Presiden yang membebaskan pemberlakuan FDS ini hanya berlaku sementara untuk meredam kekhawatiran masyarakat, namun di sisi lain perlu ada tindakan konkret dari pemerintah untuk menuntaskan persoalan ini agar tidak semakin meluas.

Penulis adalah Alumnus Magister Interdisciplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.