Masykurudin Hafidz
Kolomnis
Semua kita beragama, meyakini bahwa ada aturan ilahi yang mengendalikan kehidupan ini. Tidak ada satupun kehidupan ini yang agama tidak memberikan arahan, baik yang sifatnya langsung atau tidak langsung. Baik yang sifatnya praktik maupun pemikiran. Baik yang sifatnya teknis maupun moral. Dari Iman, Islam dan Ihsan. Dari ibadah, muamalah hingga akhlakul karimah.
Oleh karena itu, adalah mustahil jika agama harus kita keluarkan dari urusan politik, apalagi kepemiluan. Atas nama urusan duniawi, lalu politik kita pisahkan dengan keyakinan. Karena politik penuh dengan kotoran maka agama lantas tidak ikut campur. Agama dan tentu para agamawannya cukup berada di menara gading, atau duduk di keimaman bersama para makmumnya dengan nyaman.
Pandangan sekularitas seperti ini tidak cocok untuk Indonesia. Justru karena politik penuh dengan intrik, agama harus turun tangan. Justru karena politik seringkali menghalalkan segala cara maka agama harus mengharamkan. Justru karena penegakan hukum di pemilu sering kali tidak berhasil, maka agama perlu melakukan pembatasan.
Akan tetapi, keterlibatan agama dalam politik, memang bukan pada sisi prosedurnya. Bahkan saat ini kita menggunakan agama dalam politik masih dalam konteks menjatuhkan lawan, memancing emosi bahkan memecah belah persatuan.
Agama yang dimaksud harus ikut campur adalah dari sudut ajaran adiluhung dan moralitasnya. Agama mengajarkan kejujuran maka pemilu harus transparan. Agama mengajarkan amanah maka politik harus memiliki daya akuntabilitas dan penuh tanggungjawab. Agama mengajarkan kecerdasan, maka politik harus bersifat deliberatif di mana perbincangan pemilu wajib mendidik dan beradab. Dan agama mengajarkan untuk berujar dengan baik, di mana politik harus disampaikan dengan kesantunan.
Baca Juga
Berpegang pada Pedoman Politik NU
Adapun moderasi adalah kesedangan, tidak lebih tidak kurang. Kata kunci moderasi adalah pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman. Moderasi adalah wasathiyah yang memiliki padanan kata dengan tengah-tengah, adil, berimbang dan pilihan terbaik. Moderasi juga berarti perantara, pelerai dan pemimpin pertandingan. Moderasi pada akhirnya merupakan sikap dan pandangan yang tidak berlebihan, tidak ekstrim dan tidak radikal.
Bagaimana menerapkan moderasi beragama dalam penyelenggaraan Pemilu? Pertama; penghormatan. Penghormatan terhadap sikap politik dan pilihan orang dalam kepemiluan. Menghormati pilihan politik pribadinya masing-masing. Politik kesalingan yaitu saling menghormati dan tidak menjelek-jelekkan satu sama lain hanya karena perbedaan pilihan.
Penghormatan juga bersikap biasa dalam dukung mendukung. Tidak ekstrem dan berlebihan. Tidak menganggap urusan dukungan politik adalah segala-galanya dan perkara hidup mati bagi seseorang. Jika tidak mendukung, maka dia adalah musuh yang wajib diperangi. Tidak seperti itu. Politik adalah penghormatan pilihan. Perbedaan pilihan politik adalah perkara biasa.
Kedua; kejujuran. Sering kali dalam peristiwa politik kita mendengar, apa yang disampaikan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Ibaratkan main biliar, yang dituju bola delapan, yang disodok bola enam. Komunikasi politik berlaku seperti itu. Katanya permanen membangun koalisi, tapi praktiknya saling salip seperti pebalap MotoGP.
Kita juga sering mendengar, penyelenggaraan pemilu kurang transparan. Kurang jujur dan tidak terbuka. Peristiwa pemilu mutakhir membuktikan, keterbukaan informasi terkait penyelenggaraan pemilu berakibat langsung pada hasil dan dugaan pelanggaraan yang mempengaruhi kepercayaan. Ketidakjujuran selaras dengan ketertutupan informasi. Padahal keterbukaan penyelenggaraan mutlak dilakukan untuk mewujudkan integritas penyelenggaraan pemilu ke depan.
Pemilu yang jujur adalah pemilu yang menyajikan apa adanya. Informasi yang ada tidak perlu ditutup-tutupi, apalagi dibuat-buat. Sekarang ini kita menghadapi tantangan yang maha dahsyat terkait dengan kejujuran dalam pemberian informasi. Yaitu misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Antara informasi, fakta dan realitas disebarkan secara salah dan dipercaya secara keliru.
Kita wajib menangkal praktik culas ini dengan literasi digital dan berpikir kritis, meningkatkan kepercayaan dengan validitas konfirmasi sekaligus dapat membedakan mana media tepercaya dan mana yang abal-abal.
Apabila ada konteks hoaks atau ujaran kebencian, maka kita tidak langsung percaya atau bahkan menyebarkan kembali. Tetapi membaca seluruh berita, mencari sumbernya, melihat manfaatnya dan melaporkannya jika melanggarkan ketentuan undang-undang.
Kejujuran adalah keterbukaan informasi. Keterbukaan data-data kepemiluan. Keterbukaan dana kampanye pemilu. Keterbukaan proses dan hasil pemilu. Keterbukaan adalah pesan agama untuk mewujudkan kejujuran dan keadilan (jurdil) dalam Pemilu.
Ketiga; tanggung jawab. Menjaga amanah adalah pendidikan kita sejak kecil. Kita diajarkan untuk tidak berkhianat terhadap tindakan kita sehari-hari. Amanah dalam pemilu adalah bertanggung jawab terhadap pilihan politik sekaligus menjalankan pemerintahan secara akuntabel.
Menjaga amanah dimulai dari penyelenggara Pemilu, baik di KPU dan Bawaslu beserta jajarannya. Amanah untuk menjalankan tahapan pemilu agar demokratis prosesnya, berkualitas hasilnya. Menjaga amanah yang kedua adalah dari peserta pemilu yaitu partai politik dan calon. Baik pada saat mengikuti proses apalagi nanti ketika sudah terpilih. Amanah harus benar-benar dipegang. Jangan dilupakan, apalagi nanti setelah terpilih menjadi pejabat publik.
Akuntabilitas antara calon dan rakyat harus terus dibangun. Demokrasi yang baik itu keterlibatannya dari sebelum pemilu, saat pemilu dan tentu setelah pemilu. Pemerintahan yang baik di dunia ini selalu terlihat dari partisipasi setelah pemilu, meskipun saat pemilu partisipasinya rendah. Itulah tanggung jawab bersama, menjaga amanah dari semua sisi.
Menjaga amanah yang paling mudah bagi kita adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang kepemiluan, mencari latar belakang partai dan calon untuk menjadi pertimbangan, menyalurkan aspirasi dengan rasa tanggung jawab yang kuat serta melakukan pemantauan terhadap terjadinya pelanggaran.
Itulah makna moderasi beragama dalam penyelenggaraan Pemilu 2024, bagaimana langkah-langkah strategis kita ke depan untuk mewujudkan pemilu yang berkeadilan. Sebagaimana yang diucapkan oleh almaghfurlah Gus Dur “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.”
Masykurudin Hafidz, Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua