Opini

Orde Baru Soeharto dan Kebijakannya yang Merusak Lingkungan

NU Online  ·  Ahad, 9 November 2025 | 17:46 WIB

Orde Baru Soeharto dan Kebijakannya yang Merusak Lingkungan

Presiden RI kedua Soeharto dinominasikan pemerintah sebagai penerima gelar pahlawan nasional tahun ini (Ilustrasi: NU Online/Aceng Darta)

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berencana memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto. Wacana ini menimbulkan gelombang penolakan dari berbagai kalangan—mulai dari tokoh agama, akademisi, aktivis HAM, hingga pegiat lingkungan. Selain rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia, Soeharto juga meninggalkan catatan kelam dalam sejarah pengelolaan lingkungan hidup Indonesia.


Di tengah upaya bangsa menghadapi krisis iklim dan kerusakan hutan yang kian parah, rencana ini terasa ironis. Sebab, sebagian besar fondasi ekonomi dan tata kelola sumber daya alam yang masih kita warisi hingga hari ini berakar pada kebijakan Orde Baru yang eksploitatif dan tidak berkelanjutan. Pertanyaannya kemudian: pahlawan bagi siapa, jika bumi dan rakyat menjadi korban?


Ekonomi Ekstraktif Pro-Investasi
Selama tiga dasawarsa kekuasaan Soeharto, pembangunan ekonomi berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam, terutama hutan. Dalam bukunya Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi, Herman Hidayat menulis bahwa kebijakan ekonomi Orde Baru menempatkan hutan sebagai sumber devisa utama setelah minyak bumi.


Keran eksploitasi mulai terbuka lebar sejak pemerintah menerbitkan UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967, yang menjadi dasar hukum pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada pemodal asing dan dalam negeri. Regulasi ini membuka arus besar investasi di sektor kehutanan dan ekspor produk kayu mentah.


Tak butuh waktu lama untuk melihat dampaknya. Data Kementerian Kehutanan mencatat ekspor kayu bulat Indonesia melonjak dari 5,2 juta meter kubik pada 1969 menjadi 24,3 juta meter kubik pada 1973–1974. Devisa negara pun meningkat tajam dari US$6 juta pada 1966 menjadi US$564 juta pada 1974, menjadikan Indonesia salah satu pengekspor kayu tropis terbesar di dunia.


Namun, keuntungan besar itu hanya dinikmati segelintir elite. Awal 1980-an, pemerintah mewajibkan investor membangun industri kayu lapis (plywood) dan gergajian (sawnwood) di dalam negeri, sekaligus melarang ekspor kayu bulat. Kebijakan ini secara formal bertujuan memperkuat industri nasional, tetapi dalam praktiknya justru memperlebar ketimpangan.


Investor kecil tersingkir karena kekurangan modal, sementara konglomerat yang dekat dengan kekuasaan menguasai konsesi besar. Sekitar separuh kawasan hutan produksi akhirnya dikuasai hanya oleh 15 konglomerasi perusahaan hutan. San Afri Awang, Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM sekaligus mantan Dirjen Planologi dan Tata Ruang KLHK, menegaskan bahwa keuntungan finansial kala itu “hanya dirasakan oleh elite penguasa, pengusaha, dan militer.”


Relasi kuasa ini semakin menguat seiring waktu. Christopher Barr, peneliti kebijakan kehutanan dari CIFOR, mengungkap bahwa banyak perusahaan swasta menjadikan militer dan birokrat sebagai rekan bisu dalam melanggengkan izin usaha mereka. Militer bahkan memperoleh saham 20–25 persen di sejumlah perusahaan sebagai jaminan perlindungan politik dan kelangsungan bisnis kehutanan.


Dampak Sosial dan Ekologis yang Mengakar
Kerusakan hutan yang masif di masa Orde Baru tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga menghancurkan tatanan sosial masyarakat adat dan lokal. Studi WALHI memperkirakan lebih dari 10 juta penduduk di kawasan hutan kehilangan akses terhadap tanah dan sumber air bersih sepanjang dua dekade terakhir pemerintahan Soeharto.


Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang digalakkan sejak akhir 1980-an menjadi faktor baru deforestasi. Laporan Environmental Investigation Agency (EIA, 1999) mencatat bahwa pembukaan lahan untuk sawit di Sumatera dan Kalimantan sering dilakukan dengan praktik tebang-bakar. Pola ini menimbulkan kebakaran hutan besar yang hingga kini menjadi bencana tahunan di Indonesia.


Ironisnya, semua kebijakan itu dijustifikasi atas nama pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Padahal, keuntungan terbesar justru mengalir ke kelompok konglomerat dan pejabat negara yang memanfaatkan celah perizinan. Warisan inilah yang menjadi beban ekologis dan sosial bagi generasi setelahnya.


Menurut FAO (1990), pada puncak era Orde Baru Indonesia memiliki lebih dari 500 perusahaan HPH aktif dengan total konsesi sekitar 60 juta hektare—setara hampir tiga kali luas Pulau Jawa. Model pembangunan berbasis ekstraksi kayu ini memang menciptakan pertumbuhan ekonomi cepat, tetapi juga melahirkan ketimpangan ekologis yang akut.


Kajian Bank Dunia tahun 1994 memperkirakan Indonesia kehilangan 1 juta hektare hutan setiap tahun akibat lemahnya pengawasan dan korupsi dalam sistem konsesi. Sementara studi Global Forest Watch menunjukkan deforestasi pada periode 1980–1997 menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.

Hilangnya Integritas Lingkungan dan Tata Kelola
Soeharto membangun sistem pemerintahan yang sentralistik, tertutup, dan minim partisipasi publik. Prinsip ini juga tercermin dalam tata kelola lingkungan. Prosedur Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang diperkenalkan pada akhir 1980-an sering kali menjadi sekadar formalitas administratif. Keputusan pembangunan jarang melibatkan masyarakat terdampak, dan suara kritis para aktivis lingkungan kerap dibungkam.


Banyak pegiat lingkungan dan masyarakat adat mengalami intimidasi ketika menolak proyek kehutanan dan transmigrasi berskala besar. Amnesty International mencatat berbagai pelanggaran HAM yang terjadi akibat proyek pembangunan Orde Baru, termasuk penggusuran paksa dan kekerasan aparat.


Sistem perizinan yang tidak transparan, lemahnya penegakan hukum, serta maraknya pembalakan liar memperkuat citra negatif Indonesia di mata dunia. Negara kehilangan kesempatan emas untuk membangun sistem kehutanan berkelanjutan karena lebih sibuk menjaga stabilitas politik dan keuntungan ekonomi jangka pendek.


Jejak Orde Baru dalam Krisis Iklim Hari Ini
Warisan ekologis Orde Baru tidak berhenti setelah rezim tumbang pada 1998. Sebaliknya, banyak persoalan hari ini merupakan kelanjutan dari masa lalu: deforestasi masif, degradasi gambut, dan krisis air.


Laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2024) mencatat, dari 94 juta hektare kawasan hutan produksi, lebih dari separuhnya kini terdegradasi. Nilai ekspor produk kayu Indonesia memang mencapai USD 14,5 miliar pada 2024, tetapi sebagian masih berasal dari sumber yang diragukan legalitasnya.


Ketimpangan struktural pun tetap nyata. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), 56 persen lahan pertanian dan kehutanan dikuasai hanya oleh 1 persen pelaku usaha besar. Meski regulasi seperti Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) telah diterapkan sejak 2009, semangat reformasi tata kelola hutan masih dibayangi logika lama: mengejar devisa tanpa memperkuat keadilan sosial dan ekologis.


Jejak Orde Baru masih terasa dalam wajah kebijakan hari ini—dari pembalakan liar hingga proyek food estate dan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang menyingkirkan masyarakat adat. Semuanya lahir dari paradigma lama yang menempatkan alam sebagai objek eksploitasi, bukan ruang kehidupan.

Refleksi atas Kepahlawanan dan Moral Lingkungan
Memberi gelar Pahlawan Nasional bukan hanya urusan jasa politik, tetapi juga soal tanggung jawab moral terhadap bangsa dan bumi. Bila ukuran kepahlawanan adalah keberanian memperjuangkan keadilan, maka harus kita tanyakan: adakah keadilan ekologis dalam jejak kekuasaan Orde Baru?


Pembangunan yang menumbalkan hutan, menggusur rakyat kecil, dan memusatkan kekayaan pada segelintir elit tidak bisa disebut sebagai pengorbanan demi bangsa. Itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bahwa bumi dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.


Kepahlawanan sejati berpihak pada keberlanjutan hidup, bukan pada angka pertumbuhan ekonomi yang menyesatkan. Menutup mata terhadap kerusakan ekologis masa lalu adalah bentuk penyangkalan terhadap sejarah dan kemanusiaan itu sendiri.


Tak Layak Disebut Pahlawan Nasional
Kini, ketika dunia menghadapi krisis iklim dan kehilangan keanekaragaman hayati, bangsa ini justru dihadapkan pada rencana menobatkan sosok yang menjadi bagian dari penyebab krisis tersebut sebagai pahlawan nasional. Ini bukan sekadar ironi—melainkan kemunduran moral sejarah.


Dari hutan yang hilang, dari sungai yang mengering, dan dari udara yang penuh polusi, sejarah memberi peringatan: jangan salah menempatkan pahlawan. Karena pahlawan sejati adalah mereka yang menjaga kehidupan, bukan yang menggadaikannya demi kekuasaan.


Menolak Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bukan hanya sikap politik, tetapi tindakan moral. Ia adalah pengingat bahwa kepahlawanan sejati lahir dari keberanian menjaga bumi dan kemanusiaan. Sebab bangsa yang melupakan luka ekologinya, sesungguhnya sedang menghapus ingatan moralnya sendiri.


Muhammad Ichwan, Direktur Eksekutif Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) periode 2024-2027

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang