Opini

Pahlawan Nasional dan Bajingan Nasional

NU Online  ·  Kamis, 6 November 2025 | 17:30 WIB

Pahlawan Nasional dan Bajingan Nasional

Ilustrasi pemimpin yang tiran dan despotik (AI)

Dimas Kanjeng. Nama yang pernah menggemparkan publik pada 8 warsa silam. Guru spiritual, pemilik padepokan. Dia terbukti memerintahkan pembunuhan. Dua pembunuhan. Yang dibunuh adalah dua pengikutnya. Yang membunuh adalah juga pengikut sekaligus orang-orang kepercayaannya. Dia membayar Rp 320 juta pada para pembunuh ini. Perlu 1200 polisi untuk meringkus sang tokoh spiritual yang berdosa. Dia divonis total 21 tahun. April lalu masih tahun ini, dia bebas bersyarat. 


Sepanjang jalan di dalam mobilnya dia dielu-elukan. Di padepokannya dilangsungkan acara maulid dipimpin oleh dirinya. Bahkan ada aparat berseragam coklat dengan wajah takzim menyambut kedatangannya. Sungguh sebuah hikayat hidup. Dua nyawa yang hilang atas perintah Dimas Kanjeng tak ada artinya bagi para pengikutnya. Ismail Hidayah dan Abdul Gani nama yang sepele. Dilupakan.


"Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa." Milan Kundera mengatakan ini hampir lima dekade silam. Mata Kundera akan melihat Dimas Kanjeng masih berkuasa meski berdosa. Para pengikutnya lupa atau sengaja lupa akan nama Ismail dan Gani. 


Hampir lima dekade silam pula, Brian May, jurnalis dari Inggris yang bekerja untuk Agence France-Presse di Jakarta, terang-terangan menyebut Soeharto sebagai diktator untuk kali pertama dalam bukunya The Indonesian Tragedy. Menyebut pemerintahan Soeharto nan otoriter, May dengan tegas menyorot rezim ini sebagai suatu bentuk kediktatoran militer-teknokratik. Analisis May menyingkapkan Soeharto secara sistematis mengonsolidasikan kekuasaan, menyingkirkan lawan politik, dan menggunakan militer (ABRI) sebagai pilar utama rezimnya.


Soeharto naik ke pusat kekuasaan setelah insiden 1965-1966. Pemerintah Indonesia secara resmi sering mengkategorikan insiden ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, tetapi otoritas pemerintah yang berkuasa pada masanya (Orde Baru) dan beberapa pihak hingga kini cenderung menyangkal atau mempertanyakan penggunaan istilah "genosida" dan keterlibatan Soeharto. 


Komnas HAM, Pengadilan Rakyat Internasional (International People's Tribunal/IPT) 1965, para peneliti akademik cenderung satu suara menyatakan korban tewas insiden yang tinggi dengan kisaran 500.000 hingga 1 juta lebih jiwa. Tapi, entah kebetulan atau tak disengaja, Indonesia tidak punya putusan pengadilan domestik nan final yang secara resmi membuktikan atau menyangkal klaim "genosida politik" oleh Soeharto. Seperti halnya Supersemar, dokumen penting yang menjadi pegangan Soeharto, yang tak jelas juntrungannya, demikian pula sosok Soeharto. 


Tentu saja, saya masih ingat, kala masih ingusan di bangku SD, tiap kali selesai menonton Film Pengkhianatan G30S/PKI, kami semua akan mensyukuri betapa berani dan berjiwa pahlawan Sang Jenderal Soeharto. 


Presiden Prabowo pada 10 November ini akan memutuskan apakah Soeharto, mantan mertuanya, sebagai pahlawan atau tidak. Publik menanti keputusan ini sebagai tolok ukur menentukan bagaimana visi sejarahnya tentang pahlawan. Menjadikan Soeharto sebagai pahlawan akan memicu kontroversi. Sejarah akan hambar dan janggal. Ia adalah tragedi atau serta-merta komedi. Kita akan ingat lagi ujaran Milan Kundera, "Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa." 


Pahlawan dan pahala, kiranya punya akar kata dari mancanegara. Kata "pahlawan" memiliki dua kemungkinan asal usul “imigran” yang kuat. Keduanya merupakan serapan dari bahasa Sansekerta dan Persia. Bila phala (Sans. फल) berarti 'buah' atau 'hasil', maka –wan merupakan imbuhan nan menunjukkan 'orang yang memiliki' atau 'orang yang menghasilkan'. 


Sehingga, phala-wan secara harfiah dapat diartikan sebagai 'orang yang menghasilkan buah/hasil (yang berkualitas bagi bangsa)' atau 'orang yang berhak mendapat pahala' (karena jasanya). Bahasa Persia menyebut pahlavān  untuk kata yang punya arti 'pejuang', 'juara', atau 'pahlawan' (hero). Asal kata ini lebih merujuk pada makna heroik yang identik dengan keberanian dan kekuatan fisik, seperti pegulat atau ksatria. 


Terkait dengan isu kepahlawanan Soeharto, mungkin kita perlu menengok pengalaman pemaknaan sejarah Jerman terkait dengan Nazi. Jerman mengalami tiga gelombang pemaknaan atau tahapan penerimaan sejarah kelam Nazi dan holocaust. Proses ini dalam bahasa Jerman dikenal sebagai vergangenheitsbewältigung (mengatasi masa lalu).


Meskipun pembagiannya bisa sedikit bervariasi tergantung akademisi, secara umum proses ini dapat dibagi menjadi tiga fase utama yang didominasi oleh generasi-generasi berbeda. 


Gelombang pertama adalah gelombang penolakan dan pembungkaman yang dilakukan oleh generasi pelaku/orang tua. Periode pemaknaan ini  lazim pada pasca-Perang Dunia II hingga akhir 1950-an/awal 1960-an. Sikap generasi Jerman era ini adalah penolakan langsung, atau setidaknya pembungkaman (suppression) dan pelimpahan tanggung jawab (menyalahkan Hitler dan segelintir elite Nazi). 


Generasi ini, yang banyak di antaranya adalah pelaku atau saksi langsung, berfokus pada pembangunan kembali negara (wiederaufbau) dan cenderung melihat diri mereka sebagai korban perang (pemboman, kelaparan, pengungsian). Filsuf Theodor W. Adorno mengkritik keras sikap generasi ini. Dia menyebutnya sebagai upaya untuk menarik garis di bawah masa lalu tanpa benar-benar menghadapi kesalahan. Institusi-institusi negara (pengadilan, pendidikan) gagal sepenuhnya membersihkan diri dari mantan anggota Nazi (denazification yang tidak tuntas).


Gelombang Kedua, yakni generasi anak, cenderung membuka diri dan konfrontasi. Periode pemaknaan ini berlangsung pada pertengahan 1960-an hingga 1980-an (ditandai dengan gerakan mahasiswa 1968). Sikap mereka adalah tegas, konfrontasi dan tuntutan untuk akuntabilitas. Generasi anak yang lahir selama atau segera setelah perang mulai mempertanyakan orang tua mereka tentang peran mereka di bawah rezim Nazi. Mereka menuntut agar holocaust diangkat ke ranah publik, pendidikan, dan politik. Persidangan penting seperti persidangan Auschwitz (1963-1965) dan tayangan serial TV AS Holocaust (1979) memainkan peran besar dalam memecah kebisuan dan memaksa publik Jerman untuk menghadapi skala genosida tersebut. 


Gelombang Ketiga, generasi cucu dan nan selanjutnya, menerima kenyataan sejarah dan komemorasi. Periode pemaknaan ini terjadi pada 1990-an hingga saat ini (terutama setelah Penyatuan Kembali Jerman). Sikap mereka adalah menerima penuh atas tanggung jawab sejarah Jerman dan menjadikannya sebagai identitas nasional untuk pembelajaran. Penekanan pemaknaan sejarah dilakukan pada memorialisasi dan pendidikan. Jerman menjadi pemimpin dalam membangun monumen-monumen peringatan (seperti Memorial to the Murdered Jews of Europe di Berlin) dan memastikan pendidikan holocaust menjadi wajib.


Ini memunculkan rasa tanggung jawab abadi (bukan rasa bersalah individual) dipertahankan, dan digunakan sebagai landasan kebijakan luar negeri pro-demokrasi, anti-rasisme, dan komitmen terhadap keamanan Israel. Perkara bahwa yang terakhir ini jadi persoalan global problematis adalah hal lain. 


Proses pemaknaan sejarah ini menunjukkan bagaimana sebuah bangsa dapat bertransisi dari menyangkal kesalahan menjadi secara aktif lantas menjadikannya sebagai pelajaran moral dan politik di masa kini. Jerman perlu melalui delapan dekade untuk menerima sejarahnya yang kelam. 


Kembali ke ihwal ‘kepahlawanan Soeharto’, perbandingan proses mengatasi masa lalu (Vergangenheitsbewältigung) antara Jerman pasca-Nazi dan Indonesia pasca-Orde Baru (Soeharto) menunjukkan bahwa Indonesia masih berada dalam fase yang oleh banyak pihak dianggap sebagai perjuangan berkelanjutan antara ingatan dan lupa. Ya, kita baru menjalani 27 tahun.


Wacana untuk menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional muncul karena adanya kontradiksi dan konflik dalam penulisan sejarah Indonesia. Namun, yang utama adalah kegagalan proses keadilan transisional. 
 

Aspek

Jerman (Holocaust)

Indonesia (1965/Orde Baru)

Pengakuan Resmi

Negara mengakui Holocaust sebagai kejahatan tertinggi dan bertanggung jawab.

Negara mengakui 1965 sebagai Pelanggaran HAM Berat (melalui Komnas HAM), tetapi belum ada pengadilan HAM Ad Hoc yang menghasilkan putusan hukum terhadap aktor utama.

Akuntabilitas

Banyak pelaku tingkat tinggi dan menengah diadili, meskipun prosesnya lambat.

Tidak ada satu pun pelaku utama (termasuk Soeharto) yang pernah diadili secara hukum atas peristiwa 1965 atau pelanggaran HAM berat Orde Baru lainnya.

Sikap Bangsa

Konsensus nasional untuk tidak melupakan (melalui monumen, pendidikan wajib).

Konsensus yang terpecah antara kelompok yang menuntut keadilan/pengakuan dan kelompok yang menekankan stabilitas/pembangunan.

 

Dengan demikian, wacana menjadikan Soeharto pahlawan adalah simbol dari luka sejarah yang masih terbuka dan upaya oleh kelompok tertentu untuk memenangkan narasi sejarah sebelum keadilan dan kebenaran historis tuntas ditegakkan. 


Mungkin saja satu saat kelak Indonesia punya preseden pencabutan gelar pahlawan nasional yang disepakati oleh publik nasional. Penetapan pahlawan nasional bisa dilakukan, tapi bukankah penetapan bajingan nasional juga bisa saja dilakukan sebagai antitesisnya. 


Riza Bahtiar, pengamat isu-isu aktual dan studi kebudayaan populer

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang