Konsekuensi perang simetris dan teori rampasan perang amatlah menentukan konversi rumah ibadat ke agama yang dianut oleh penguasa baru.
Achmad Murtafi Haris
Kolomnis
Hagia Sophia ramai mendapat ekspos berita belakangan ini. Hal ini lantaran presiden Turki, Recep Tayyib Erdogan, memutuskan untuk mengembalikan Hagia Sophia sebagai Masjid setelah semenjak 1935 ia oleh Kamal Ataturk difungsikan sebagai museum. Hagia Sophia yang dalam aksen Turki: Ayasophia, Latin: Sancta Sophia, atau Church of the Holy Wisdom atau Church of the Divine Wisdom pun beralih fungsi beberapa kali dalam sejarah keberadaannya. Diawali sebagai tempat ibadat kaum pagan atau penyembah berhala kemudian pada 325 M berubah menjadi gereja atas perintah Kaisar Konstantin I. Setelah runtuh oleh bencana alam pada 537 M, Kaisar Bizantium Justinus I merombaknya menjadi katedral atau gereja induk dan basilika tempat pemimpin gereja Ortodoks Timur berpusat.
Setelah seribu tahun di bawah kekuasaan Romawi Timur atau Bizantium, pada 1453M, Muhammad al-Fatih atau Mehmet II, Sultan Ottoman berhasil menaklukkan Konstantinopel dan mendapatkan Hagia Sophia sebagai hadiah terbesarnya. Sang Sultan mengubah fungsinya menjadi masjid dan memberikan tambahan bangunan menara, mimbar dan sentuhan artistik desain masjid lainnya. Gambar-gambar Jesus atau ikon-ikon gereja diplester dan ditambahkan kaligrafi besar melebihi besarnya pintu bertuliskan Allah, Muhammad, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Talib.
Pada 1935 pemerintahan sekuler Kamal Ataturk mengalihfungsikannya sebagai museum dan membuka plester ikon-ikon Kristen pada dinding dan atap kubah. Kini, ia akan dikembalikan sebagai masjid yang akan dimulai 24 Juli ini. Entah, apakah ikon atau lukisan figur Jesus, bunda Maria akan diplester ulang seperti zaman Muhammad al-Fatih atau dibiarkan seperti saat menjadi museum yang menonjolkan keberadaan dekorasi Kristen dan Islam sebagai warisan budaya yang dilindungi Unesco? Belum tahu dan kita tunggu perkembangannya. Yang pasti dengan difungsikan sebagai masjid para turis tidak bisa sebebas sebelumnya tatkala ia adalah museum. Para turis bisa dipastikan diharuskan mentaati aturan berbusana ketika memasukinya atau setidaknya copot sandal.
Pengalihfungsian gereja tatkala negara Islam berhasil menginvasi negara non-Muslim, adalah perkara ijtihadiyyah yang tidak saklek. Waktu tentara khalifah Umar berhasil menguasai Palestina, gereja di sana tidak berubah menjadi masjid. Bahkan khalifah Umar melindungi eksistensi mereka dan melarang umat Islam untuk merusaknya. Hadirnya tentara Muslim di bawah pimpinan Amru bin Ash bahkan disambut hangat oleh Uskup Jerusalem. Mereka merasa mendapat perlindungan dan jaminan keamanan daripada berada di bawah intimidasi dan represi tentara Bizantium. Sambutan yang hangat dari Uskup menunjukkan bahwa gereja tidak diubah menjadi masjid sebab kalau itu terjadi tentu uskup dan umat Kristiani setempat tidak menyambut hangat kedatangan tentara Islam.
Juga tatkala masuk ke Mesir, khalifah Umar bahkan berwasiat agar siapa pun dilarang merusak gereja Margerges (Maria Gergorius) di Mesir Kuno (Misro al-qadimah). Itu adalah gereja yang konon tempat Bunda Maria singgah saat melarikan diri dari kejaran kaum Yahudi pasca melahirkan Isa al-Masih yang tanpa bapak.
Jika di masa Khulafaur Rasyidin belum tampak pengubahan gereja menjadi masjid saat ekspansi Islam terjadi, namun tidak demikian halnya di masa kekuasaan dinasti-dinasti Islam. Saat dinasti Umayyah menguasai Damaskus, khalifah al-Walid bin Abd al-Malik mengubah gereja St. John the Baptis menjadi masjid Umayyah. Di tempat itu konon kepala St. John the Baptis yang terputus dikubur. St. John dikenal dalam Islam dengan nabi Yahya. Juga tatkala dinasti Umayyah menguasai Cordova Spanyol, Emir Abdurrahman pada 785M mengubah gereja Visigothic Church of Saint Vincent menjadi masjid agung Qordova. Demikian juga masjid al-Khadra’(Hijau) di Nablus Palestina, konon di tempat itu dulu Nabi Ya’sub menangis meratapi Jusuf yang hilang yang ternyata dicebuŕkan oleh saudara-saudaranya ke sumur. Masjid itu sebelumnya adalah gereja yang dibangun oleh tentara Salib pada 1187M.
Bertahannya gereja atau konversinya ke masjid dan museum saat ekspansi Islam atau pada masa al-Futuhat al-Islamiyah, di mana Islam meluas dari yang semula di Makkah hingga menjangkau Eropa, sangat bergantung pada kondisi hubungan politik saat itu dan tergantung bobot gereja tersebut. Kasus yang terjadi pada Umar bin Khattab yang bahkan menolak shalat di gereja agar di kemudian hari gereja itu tidak diubah menjadi masjid oleh umat Islam tidaklah sama dengan kasus yang terjadi pada dinasti Umayyah. Saat Islam menguasai Jerusalem, umat Kristiani bukan musuh Islam. Musuh perangnya adalah penguasa Bizantium yang juga menguasai Jerusalem. Dengan posisi seperti itu, posisi rakyat jelata, Islam hadir melindungi mereka yang tertindas. Sementara yang terjadi pada dinasti Umayyah dan Ottoman adalah perang simetris berhadap-hadapan dua kekuatan besar yang berlaku hukum the winner takes all. Dengan karakter perang seperti ini, maka simbol-simbol peradaban pihak yang kalah diambil alih oleh pemenang. Gereja induk yang merupakan simbol hegemoni Kristen diubah menjadi masjid juga sebagai simbol kemenangan Islam.
Konsekuensi perang simetris dan teori pampasan perang amatlah menentukan konversi rumah ibadat ke agama yang dianut oleh penguasa baru. Dalam Historic Centre of Cordova Unesco dan Encyclopedia Britannica, di Spanyol terdapat gereja yang berubah menjadi masjid dan kemudian balik lagi ke gereja sebagai konsekuensi kalah-menang perang. Sehingga tampak di situ mimbar dan altar: Kristen – Islam – Kristen yang menunjukkan transisi agama tiga kali dan kini menjadi museum. Muslim yang berkuasa di Andalusia dari 711 hingga 1492M telah mendirikan banyak masjid. Usai keberhasilan penguasa Kristen Spanyol merebut kembali wilayah mereka dan mengusir umat Islam, masjid-masjid diubah menjadi gereja. Seperti Masjid Agung Zaraqoza (714-1119M) yang berubah menjadi Cathedral of the Savior of Zaraqoza, Masjid Mayrit yang pada 1202M berubah menjadi Iglesia de San Nicolas Madrid dan Masjid Agung Nasrid Granada yang pada 1492 berubah menjadi Granada Cathedral.
Perang simetris adalah pertemuan dua kekuatan militer di medan laga. Siapa yang menang mengambil semua yang dimiliki oleh yang kalah sebagai ganti rugi biaya perang. Tidak hanya itu yang kalah menjadi tawanan bahkan budak bagi yang menang. Pimpinan atau orang yang paling bertanggung jawab terkadang dihukum mati atau dihukum berat. Tentunya, seberapa berat akibat yang harus ditanggung oleh yang kalah bergantung kebijaksanaan pimpinan kelompok pemenang. Termasuk ketika Kamal Ataturk mengubah fungsi masjid ke museum dan menjadikannya warisan dunia di bawah Unesco yang ramai dikunjungi wisatawan juga merupakan kebijakan. Nilai sejarah terukir tebal dalam bangunan itu yang mengundang jutaan pengunjung ke sana dan memberikan wawasan tentang kedigdayaan Islam dan Romawi Timur. Semoga Ayasophia tetap ramai dikunjungi wisatawan meski ia kembali berfungsi masjid. Erdogan pasti telah memikirkan itu dan telah menyatakan bahwa ia tetap warisan dunia bahwa penggunaan untuk shalat tidak mengurangi status tersebut.
Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya
Terpopuler
1
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
2
Kronologi Santri di Bantaeng Meninggal dengan Leher Tergantung, Polisi Temukan Tanda-Tanda Kekerasan
3
Kenaikan PPN 12 Persen Berpotensi Tingkatkan Pengangguran dan Kolapsnya UMKM
4
Kisah Inspiratif Endah Priyati, Guru Sejarah yang Gunakan Komik sebagai Media Belajar
5
Ketum PBNU Respons Veto AS yang Bikin Gencatan Senjata di Gaza Kembali Batal
6
Bahtsul Masail Kubra Internasional, Eratkan PCINU dengan Darul Ifta’ Mesir untuk Ijtihad Bersama
Terkini
Lihat Semua