Perumusan Dasar Negara di BPUPKI-PPKI, Memilih Musammah-nya bukan Isim-nya
Jumat, 25 November 2016 | 11:30 WIB
Nur Kholik Ridwan
Kolomnis
“Masjkur dan beberapa teman waktu itu menginap di rumah Muhammad Yamin, sebab di situ selain dirasakan lebih bebas juga terdapat banyak buku untuk bacaan. Pada malam harinya, Bung Karno datang ke situ dan menemui KH Masjkur, KH Wahid Hasyim, serta Abdul Kahar Mudzakir. Kepada tiga orang itu Soekarno membahas apa yang sedang dibicarakan dalam sidang siang tadi, dan kemudian dia berpesan agar besuk pagi pada waktu sidang, dijaga jangan sampai suasana panas lagi” (KH Masjkur Sebuah Biografi, hlm. 54).
Cerita KH Masjkur itu, penggalan dari kisah perdebatan di BPUPKI. Pada waktu itu, sebelum Indonesia merdeka dibentuklah apa yang disebut dengan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Badan ini terdiri dari wakil-wakil berbagai unsur dan tokoh-tokoh, terdiri dari 62 orang. Dalam badan itu, NU diwakili oleh dua orang kiai, yaitu KH Masjkur dan KH Abdul Wahid Hasyim. Badan ini bertugas mendiskusikan dan me nyusun RUUD dan dasar Negara Indonesia merdeka. Badan bersidang 2 kali: 28 M ei–1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945. Dokumentasi dari perdebatan-perdebatannya terdapat dalam buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Setneg, 1995).
Dalam badan itu, ketika sidang dimulai tanggal 28 Mei beberapa tokoh menyampaikan pandangannya, bahkan ada yang agak panjang seperti Soepomo, Muh. Yamin, dan Soekarno. Dalam berbagai diskusinya, ketika membicarakan dasar Negara Indonesia merdeka, ada yang berpandangan macam-macam, tetapi antartokoh tetap menghormati satu sama lain. Soekarno berbicara setelah diskusi berlangsung 3 hari, dan macam-macam pandangan itu menghantarkan kegelisahan perpecahan bagi mereka yang melihat pentingnya persatuan Indonesia.
Setelah itu, Soekarno menjelang 1 Juni 1945 (atau akhir Mei) mencari cara ke arah persatuan, dengan mengunjungi beberapa tokoh NU, yang dalam biografi KH Masjkur di atas sedang menginap di rumah Muhammad Yamin. Pembicaraan mereka sebenarnya lebih detil, bukan hanya membicarakan agar suasana tidak panas. Detil dari pembicaraan mereka ini, didokumentasi dalam wawancara terhadap KH Masjkur oleh Arsip Nasional Indonesia tertanggal 1 Oktober 1988. Satu-satunya yang memuat wawancara dengan KH Masjkur ini, selain dalam Biografi KH Masjkur (yang hanya memberi informasi satu paragraf seperti di atas), adalah buku Andree Feillard yang berjudul NU vis a vis Negara (hlm. 29-30). Begini lengkap hasil wawancara yang tersimpan di Arsip Nasional itu :
“…saya di rumahnya Muhammad Yamin, saya, Wahid Hasyim, Kahar Mudzakir dari Yogyakarta. Bertiga, berempat dengan Yamin, Bung Karno datang. Kita berhenti omong-omong itu.”
Bung Karno: “Ada apa?”
“Kita ini ingin dasar Islam, tetapi kalau dasar Islam negara ini pecah. Bagaimana kira-kira umat Islam bisa bela tanah air, tapi tidak pecah.”
Bung Karno: “Coba kita tanya Yamin dulu, bagaimana Yamin dulu, tanah Jawa, tanah Indonesia ini.”
Yamin: “Zaman dulu, orang Jawa punya kebiasaan. Apa kebiasaannya? Pergi di pinggir sungai, di pohon besar, semedi, menyekar, untuk minta sama Tuhan, minta keselamatan, minta apa gitu.”
Bung Karno: “Nah ini mencari Tuhan namanya. Jadi orang Indonesia dulu sudah mencari Tuhan. Cuma tidak tahu di mana Tuhan dan siapa Tuhan itu. Pergi di pohon besar, pergi di kayu besar, pergi di batu-batu nyekar, itu mencari Tuhan. Kalau begitu, negara kita dari dulu sudah ketuhanan. Sudah ketuhanan zaman Jawa itu, zaman Jawa itu zaman Ketuhanan. Ketuhanan. Bagaimana Islam? Ketuhanan. Kalau bangsa Indonesia bangsa Ketuhanan. Tulis. Tulis Ketuhanan. Lalu bagaimana selanjutnya bangsa Indonesia?”
“Bangsa Indonesia itu satu sama lain begitu rupa. Kalau datang dikasih wedang. Kalau waktu makan diajak makan. Pokoknya begitu toleransinya, begitu rupa, itulah bangsa Jawa dulu, sampai-sampai, kalau sama-sama, menemani.”
“Kalau begitu kata Bung Karno: “Bangsa Indonesia dulu itu bangsa yang perikemanusiaan, satu sama lain suka tolong menolong. Kerja sama, perikemanusiaan.”
“Lantas kita, sama Wahid Hasyim, kita…: Kemanusiaan itu boleh tapi mesti yang adil. Jangan sendiri boleh tidak diapa-apakan, kalau orang lain yang salah dihantam. Tidak adil itu. Kalau Siti Fatimah mencuri saya potong tangannya. Siti Fathimah putri Rasulullah. Jadi harus adil. Biar anaknya kalau salah ya salah. Dihukum bagaimana. Ini Islam. Ya benar. Benar ini memang.”
Lantas ada lagi. Bung Karno katakan: “Siapa dulu..?”
Kahar Mudzakkir lontarkan: “Ada orang budayanya tidak mau dipersentuh dengan orang bawahan. Kalau beri apa-apa dilemparkan. Umpamanya orang bawahan, pengemis. Kasih uang dilemparkan begitu saja. Kalau dalam Islam tidak bisa. Di dalam Islam harus diserahkan yang baik. Jadi perikemanusiaan yang adil dan beradab. Adabnya ini tadi.”
Lantas sampai kepada orang Indonesia itu, orang Jawa itu dulu, suka memberikan apa-apa sama tetangganya. Kalau rumah ini tak punya cabe, minta sama rumah sini. Kalau tidak punya garam, minta sama rumah sini, kan begitu. Jadi orang Jawa dulu, kalau masak di rumah minta garam sama tetangga… Ini diusulkan Bung Karno… Ini namanya tolong menolong. Gotong royong. Lantas ada lagi, bangsa Jawa itu dulu, sampai ada kepada lima itu. Begini. Kalau ada apa-apa, kumpul orang-orang desa itu. Satu sama lain tanya bagaimana baiknya begini, baiknya begini. Ini dinamakan Bung Karno musyawarah. Jadi bangsa kita dulu itu suka musyawarah. Kalau mau kawinkan anaknya, mufakatan, kalau mau menamakan anakanya dinamakan siap mufakatan. Yang ambil suara biasanya yang tertua. Bung Karno katakan musyawarah perwakilan. Lantas perkara orang Jawa dulu itu, kalau dimintai apa-apa, minta apa-apa dikasihkan. Sampai minta apa, biar di sini habis, diberikan. Solidaritas sosialnya. Lalu ditanyakan kepada Islam. Islam memang zakat, kita kewajiban
zakat, kita memberi fakir miskin, yang kaya memberikan ke yang fakir miskin. Jadi sampai kesimpulan lima itu. Kesimpulan lima tadinya mau di tambah, tapi kita umat Islam me ngatakan, rukun Islam itu lima. Jadi, lima ini saja bisa dikembangkan satu persatu, tetapi jangan ditambah. Hitungannya supaya bisa lima. Ramai… dari jam 7 malam sampai jam 4 pagi, sampai shubuh. Ini dijadikan Bung Karno Pancasila. Menjadikan penggantinya dasar Islam Negara. Kita umat Islam mengatakan, kalau dasar Islam itu isim-nya diambil, kalau Pancasila itu musammah-nya yang diambil. Ini sebagai musammah. Isi Islam-Isi Islam, musammah-nya Pancasila. Saya Wahid Hasyim…”
Lantas Bung Karno katakan: “Mau saya usulkan Pancasila. Awas kalau ada yang mengacau (Kiai Masjkur ketawa imitasi Bung Karno). Awas!”
Kita tak boleh bantah. Lantas diusulkan Bung karno itu. Lima sila itu. Saya piki r waktu itu dengan kawan-kawan, Pak Yusuf Hasyim, kalau dengan dasar Islam, belum tentu menjalankan Islam. Kadang-kadang negara ada tokoh-tokoh Islam, atau praktiknya tidak Islam. Ini kita ambil musammah-nya. Isim-nya kita tinggalkan (transkrip wawancara, Arsip Nasional, dimuat dalam Feillard, hlm. 29-31).
Setelah itu, pada tanggal 1 Juni 1945 barulah Soekarno berbicara, sebagaimana dokumen tasinya ada di Risalah Sidang, dan di antara pembicaraannya, menyampaikan dasar-dasar Negara dengan menggunakan bahasa-bahasa yang telah dipilih, yaitu: kebangsaan Indonesia, internasionalisme, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan. Disebutnya lima hal itu dengan istilah Pancasila. Kalau diperas lagi menjadi 3 dasar dinamakan Trisila, dan kalau diperas menjadi satu dasar gotong royong, namanya Ekasila. Sidang pertama selesai tanggal 1 Juni 1945, dengan hasil masih mendengarkan pandangan-pandangan umum.
Dari sidang pertama ke sidang kedua, ada jeda 9 hari, dan hasil yang masih pemandangan umum, belum ada kesimpulan, diperdalam di sidang kedua. Dalam sidang kedua ini terdapat banyak ketegangan dan situasi yang agak panas, meskipun tetap menghormati satu sama lain. Dalam Risalah Sidang disebutkan sampai-sampai, KH Kahar Mudzakir, menggebrak meja menunjukkan ekpresi panas. Dalam diskusi-diskusi di sidang kedua itu, KH Wahid Hasyim bahkan mengusulkan agama negara adalah agama Islam dan presiden Indonesia adalah beragama Islam, tetapi ke mudian ditimpali oleh dikusi-diskusi dari tokoh lain yang tidak setuju.
Tampaknya, situasi diskusi yang paling sulit memang masalah penentuan dasar-dasar Negara dan hukum dasar yang berkaitan dengan agama. Kesukaran-kesukaran timbul, dan suasana menjadi tegang, sementara rakyat menanti para pemimpinnya dengan berdebar. Kemerdekaan juga belum lagi dikumandangkan.
Dalam sidang kedua itu, beberapa panitia kecil dibentuk di BPUPKI: K i Bagus Hadikusumo, KH Abdul Wahid Hasyim, Muh. Yamin, Sutardjo, Maramis, Oto Iskandardinata, Hatta, dan Soekarno sebagai ketua, bertugas memeriksa usul-usul yang masuk dari anggota, karena usulan ada yang tertulis dan ada yang menyampaikan pidato. Usul-usul itu setelah diperiksa berkaitan dengan soal-soal: Indonesia merdeka selekas-lekasnya, mengenai dasar negara, soal negara federasi atau unifikasi, bentuk negara dan kepala Negara (kerajaan atau tidak), warga negara, daerah, agama dan negara, tentang pembelaan tanah air, dan soal keuangan-ekonomi. Bagian-bagian ini nantinya menjadi RUUD yang didalami Panitia Perancang UUD.
Panitia Sembilan
Dalam masalah hubungan agama dan negara, Soekarno sendiri mengakui sebagai ketua Panitia Kecil yang memeriksa usul-usul itu, ketika diberi kesempatan berbicara, mengatakan:
“Sebenarnya pada permulaan nya adalah kesukaran antara golongan yang dinamakan kebangsaan. Mula-mula ada kesukaran mencari pertemuan antara kedua golongan ini, terutam a yang mengenai soal agama dan negara…” (Risalah Sidang, hlm. 94).
Selain Panitia kecil itu, ternyata 38 anggota BPUPKI juga membentuk Panitia Sembilan untuk mencari titik temu awal dalam merumuskan pendapat-pendapat dan usul-usul tentang dasar Negara yang menimbulkan kesukaran. Panitia Sembilan inilah yang kemudian berhasil menyelesaikan Piagam Jakarta. Panitia terdiri dari Hatta, Yamin, Soebardjo, Maramis, Abdul K ahar Mudzakkir, KH Abdul Wachid Hasyim, Abikusno, dan Agus Salim. Mereka diberi tugas merumuskan rancangan Pembukaan Hukum Dasar yang dikenal dengan preambule atau Pembukaan UUD. Isi dari kesepakatan Panitia Sembilan yang disebut dengan Piagam Jakarta, mengadopsi keputusan di mana Indonesia merdeka dasar-dasarnya tidak didasarkan pada dasar Islam sebagai nama, tetapi meminjam istilah yang digunakan KH Masjkur, adalah musammah-nya yang dipakai.
Piagam Jakarta bisa disebut hasil mentah, belum menjadi keputusan final dan akhir dari BPUPKI dan belum dilakukan persetujuan seluruh anggota dan tokoh-tokoh.
Isi dari Piagam Jakarta itu terdiri dari 4 paragraf, yang paragraf terakhir nantinya menjadi materi perdebatan panjang di sidang-sidang berikutnya, yaitu:
“…Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan (tidak dengan kata Ketuhanan yang Maha Esa) dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adi dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi se luruh rakyat Indonesia” (Risalah Sidang, hlm. 95).
Selain membentuk Panitia Kecil yang menghasilkan Piagam Jakarta yang masih mentah itu, BPUPKI juga membentuk kelompok Panitia Perancang UUD, terdiri dari 19 orang (ditambah 1 orang bernama Miyono, sebagai anggota istimewa), dan yang ditunjuk sebagai ketua adalah Soekarno; kelompok panitia yang mempelajari soal pembelaan tanah air; dan kelompok panitia yang membicarakan keuangan-perekonomian. KH Abdul Wachid Hasyim masuk di dalam kelompok Perancang UUD bersama anggota lain, yaitu : Soekarno (ketua), Maramis, Oto, Poerobojo, Salim, Soebardjo, Soepomo, Maria Ulfah, Harahap, Latuharhary, Soesanto, Sartono, Wongsonegoro, Woerjaningrat, Singgih, Tan Eng Hoa, Hosein Djajadiningrat, Soekiman, dan Miyono.
Agama dan Negara: Diskusi di Panitia Perancang UUD
Pada 11 Juli 1945 terjadi diskusi Panitia Perancang RUUD. Muh. Yamin pada saat itu, masuk di bagian keuangan dan perekonomian padahal bidangnya di soal-soal hukum dasar, sehingga oleh Soekarno diusulkan untuk ikut di kelompok perancang UUD, dan diterima oleh anggota.
Perdebatan dalam kelompok perancang UUD dimulai dengan perdebatan soal federasi dan unifikasi, juga dibicarakan soal preambule dan soal individualism- kolektivisme.
Panitia Perancang UUD kemudian membentuk Panitia Kecil lagi untuk merancang satu pernyataan kemerdekaan yang dihubungkan dengan preambule UUD.
Nah, dalam diskusi di Panitia Kecil ini, Latuharhary, menyatakan tidak setuju dengan yang sudah di hasilkan oleh Panitia Kecil yang mengadopsi sebagian dari Panitia Sembilan atau yang mengahasilkan Piagam Jakarta. Perdebatannya demikian:
Latuharhary:
“Saya tidak setuju dengan semuanya, yaitu dengan perkataan tentang Ketuhanan.”
Sartono:
“Tentang kalimat-kalimat nanti kita bicarakan.”
Soekarno:
“Jadi tentang pokok-pokok sudah setuju? Jadi, apakah Tuan Latuharhary sudah memikirkan kalau ini diubah, maka melambatkan ikhtiar kita untuk menyusun hukum dasar, artinya pihak Islam tidak mufakat.”
Latuharhary:
“Akibatnya akan besar sekali. Umpamanya pada agama lain. Maka dari itu saya harap dalam hukum dasar, meskipun ini berlaku buat sementara waktu, maka dalam hal ini tidak boleh diadakan benih-benih atau kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa macam-macam. Saya usulkan supaya dalam hukum dasar diadakan pasal 1 supaya yang terang supaya tidak ada kemungkinan yang dapat membawa perasaan tidak senang pada golongan-golongan yang bersangkutan. Umpamanya dalam hal ini “…yang mewajibkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", yaitu bagaimana mewajibkan untuk menjalankannya. Salah satu anggota mengatakan kepada saya, terhadap adat istiadat di Minangkabau, rakyat yang menjalankan agama Islam, harus meninggalkan adat istiadatnya …. ” (Risalah Sidang, hlm. 215-216).
Keberatan Latu harhary ditangapi oleh Soekarno dan Agus Salim yang meminta supaya tetap seperti dihasilkan Panitia Sembilan, yaitu yang saya sebut Piagam Jakarta yang masih mentah itu. Wongsonegoro kemudian mengusulkan agar ditambah dengan “bagi pemeluk-pemeluk lain dengan jalan menurut agamanya masing-masing.” Hosein Djaja diningrat malah mengkhawatirkan adanya pemaksaan-pemaksaan dalam sembahyang, sholat, dan lain-lain tentang pasal itu bila dipertahankan.
KH Abdul Wahid Hasyim melakukan pembelaan demikian:
“Ini semua tergantung pada jalannya dan oleh karena kita sudah berkali-kali menegaskan di antara kita semua, bahwa susunan pemerintahan didasarkan atas perwakilan dan permusyawaratan, jadi kalau ada pemaksaan soal ini dapat dimajukan dan diselesaikan. Dalam hal ini, saya perlu memberi keterangan sedikit. Seperti kemarin telah dikatakan anggota Sanoesi, kalimat ini baginya kurang tajam. Saya sudah mengatakan ini adalah hasil kompromis yang kita peroleh, dan jika dijadikan lebih tajam akan menimbulkan kesukaran….Jadi, dengan ini saya minta supaya hal ini jangan diperpanjang” (Risalah Sidang, hlm. 217).
Setelah itu diskusi mengalir ke tema-tema lain, di antara anggota, seperti tentang trias politica, keadilan, dan soal pangreh praja. Pembicaraan-pembicaraan belum diambil satu kesimpulan. Dari diskusi-diskusi ini, kemudian Soekarno mengusulkan dibentuk Panitia Kecil lagi yang merancang redaksi UUD, dan ditunjuklah nama-nama: Wongsonegoro, Soebardjo, Maramis, Soekiman, Agus Salim, dan Soepomo ditunjuk sebagai ketua panitia yang bekerja menyusun redaksi rancangan UUD.
Agama dan Negara, dalam Diskusi tentang RUUD
Pada diskusi tanggal 13 Juli 1945, Soepomo diminta menguraikan hasil kerja Panitia Kecil yang dimandatkan, dan lampiran yang dimuat dalam Risalah Sidang memberikan gambaran bahwa RUUD ini terdiri dari 42 pasal. RUUD ini selesai tanpa ada disertakan preambule, sehingga langsung masuk ke pasal 1. Pasal tentang agama terdapat di pasal 29, yang isinya demikian: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apapun dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing.”
RUUD itu kemudian didiskusikan di Panitia Perancang UUD. KH Abdul Wahid Hasyim, khusus menanggapi soal pasal 29 dan 4. Pasal 4 berhubungan dengan syarat presiden, yaitu orang Indonesia aseli. KH Abdul Wahid Hasyim mengusulkan agar soal presiden diganti menjadi “yang beragama Islam”, dan pasal 29 agar diubah menjadi “Agama Negara ialah agama Islam”.
Melihat usul itu, Agus Salim merasa masygul lagi, dan mengatakan: “Dengan ini kompromis antara golongan kebangsaan dan Islam mentah lagi.” Soekiman setuju usul KH Abdul Wahid Hasyim. Anggota-anggota lain menanggapinya dengan tidak ada kesimpulan, di mana RUUD yang dilampirkan akhirnya, tetap menyebutkan di pasal 29 dengan kata-kata: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apapun dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing."
Diskusi Pernyataan Kemerdekaan dan Soal Agama
Ini terjadi pada tanggal 14 Juli 1945. Rapat besar ini membicarakan pernyataan kemerdekaan, pembukaan U UD dan RUUD-nya sendiri, yang dihasilkan oleh beberapa Kelompok Panitia Kecil. Dalam kelompok yang membicarakan pernyataan kemerdekaan, hasilnya sebuah deklarasi yang cukup panjang, terdiri dari lebih 10 paragraf. Dimulai dengan kata-kata “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa…., lalu diikuti den gan 10 paragraf, baru kemudian dilanjutkan dengan kata-kata “ maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan.” Setelah itu diikuti pembukaan yang bunyinya:
“Dengan nama Allah Pengasih dan Penyayang. Untuk membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, menyuburkan hidup kekeluargaan Asia Timur raya, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan …. dengan berdasar pa da Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan….” (Risalah Sidang, hlm. 238).
Di rapat besar ini hasil dari Panitia Sembilan atau Piagam Jakarta yang masih mentah diadopsi kembali. Kata-kata yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan…, ” dan seterusnya, kemudian menjadi perdebatan lagi.
Ki Bagus Hadikusumo yang setuju dengan Kiai Sanoesi berpandangan bahwa kata “bagi pemeluk-pemeluknya ” dicoret saja. Agus Salim juga menyetujui kalau kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dicoret saja. Akan tetapi Soekarno justru tetap mempertahankan kata itu sebagai hasil yang sudah dilakukan diskusi sebe lumnya. Anggota-anggota lain banyak me nanggapi hal-hal lain, dan sampailah pada kesimpulan di akhir sidang, Soekarno berkata:
“Paduka Tuan Ketua yang mulia (maksudnya kepada ketua Sidang). Saya hanya mengatakan. Itulah perubahan sebagai hasil kompromis, yang diperkuat oleh panitia pula. Hanya perkataan “bagi pemeluk-pemeluknyanya” dibuang, maka mungkin itu diartikan bahwa tidak ada orang Islam dan kewajibannya menjalankan syariat Islam. ”
Karena ditanggapi agak ramai dan tegang, sampai-sampai ketua sidang, Rajiman Wediodiningrat berkata: “Ini sudah dirembuk dua kali oleh ke tua panitia, apakah Tuan Hadikoesoemo apa masih memegang teguh.” Ki Bagus Hadikusumo menjawab: “Masih memegang teguh.” Baru setelah itu, Abikusno memberi penjelasan, dan akhirnya Ki Bagus Hadikusumo menerima, yang ini bermakna bahwa di dalam pembukaan UUD kata-kata “ dengan ke wajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, masih tetap seperti itu.
Rapat yang sedianya juga membicarakan RUUD akhirnya ditutup karena hanya dapat menyelesaikan pernyataan kemerdekaan dan pembukaan UUD.
Diskusi Negara Berdasar Ketuhanan
Rapat dilakukan kembali tanggal 15 Juli 1945, yang membicarakan lanjutan tentang RUUD. Di hari ini terjadi perdebatan panjang dan berbelit-belit soal pasal 28, tetapi pada sidang sebeluamnya disebut berhubungan dengan pasal 29. Perdebatan pada tanggal 15 Juli 1945 memakan waktu dan pikiran yang melelahkan, berbelit-belit, belum menghasilkan keputusan final, terutama karena soal pasal agama dan negara itu.
Pada tanggal 16 Juli 1945 baru diadakan rapat lagi, dan saat itu Soekarno berbicara dulu. Dalam pembicaraannya, Soekarno mengusulkan, setelah mempertimbangkan berbagai pendapat, diskusi panjang sehari sebelumnya dan kerja-kerja melelahkan, dia mengemukakan kata-kata yang di antaranya berbunyi:
“Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia aseli yang beragama Islam. Kemudian artikel 28 yang mengenai urusan agama, tetap sebagai yang telah kita putuskan, yaitu ayat 1 berbunyi: “Negara berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari at Islam bagi pemeluknya.” Ayat kedua: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing.” Saya minta supaya usul saya itu diterima bulat-bulat oleh anggota sekalian, walau pun saya mengetahui bahwa ini berarti pengorbanan yang sehebat-hebatnya ….” (Risalah Sidang, hlm. 357).
Tanggapan tidak teramat banyak pada sidang kali ini, karena melihat hari-hari kemarin sudah berdiskusi melelahkan dan berbelit-belit dan panas, terutama yang berhubungan dengan soal artikel 28, bagian negara dan agama. Ketika usul-usul sudah mau ditutup, dan telah pembicaraan ditutup, Muhammad Yamin tetap berbicara: “Jangan ditutup”, dan menyatakan “Kita tidak menerima”. Meski begitu tetap berlanjut dan ketua sidang menyudahi sidang.
Dapat dibayangkan betapa sulitnya menyusun RUUD yang akan menjadi UUD bagi bangsa Indonesai Merdeka itu, karena begitu ragamnya tokoh-tokoh yang menjadi anggota BPUPKI. Bahkan ketika sudah hampir selesai masih ada yang berbicara: “Jangan ditutup ” dan “Kita tidak menerima”. Di akhir pembicaraan pada tanggal 16 Juli 1945 itu, ketua sidang, Rajiman Wediodiningrat, menyudahi sidang terakhir BPUPKI dengan kata-kata:
“Jadi Rancangan ini sudah diterima semuanya. Jadi saya ulang lagi, UUD ini kita terima dengan sebulat-bulatnya. Bagaim anakah Tuan-Tuan. Untuk penyelesaiannya saya minta dengan hormat supaya yang setuju, yang menerima berdiri. Saya lihat tuan Yamin tidak berdiri. Dengan suara bulat diterimalah UUD ini. Terimakasih Tuan-Tuan” (Risalah Sidang, hlm. 361).
Jadi RUUD yang diterima pada saat itu, sebagaimana anjuran Soekarno, adalah dengan redaksi, negara tidak mendasarkan pada dasar Islam, tetapi pada dasar-dasar yang dihasilkan Panitia Sembilan, yang di bagian Preambule atau Mukaddimah terdapat kata “berdasar Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”; demikian juga di artikel 28 yang berkaitan dengan agama menjadi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing.” Yang perlu diingat kata Ketuhanan di situ, tidak ada Ketuhanan Yang Maha Esa, cukup dengan kata Ketuhanan saja.
Setelah selesai diskusi para anggota BPUPKI banyak pulang. Rapat dimulai kembali dalam PPKI (bukan lagi BPUPKI), yang sedianya dimulai tanggal 18 Agustus 1945. Akan tetapi di sela-sela waktu menuju tanggal 18 Agustus itu, terjadi peristiwa penting, di mana masing-masing kelompok akhirnya menerima kompromi perubahan Piagam Jakarta yang mentahan itu menjadi Piagama Jakarta yang disempurnakan.
Peristiwa Penting dan Peran Menentukan Wakil NU
Pada siang 17 Agustus dikumandang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno-Hatta. Pada malam harinya, Moh Hatta menerima kunjungan seorang perwira angkatan laut Kekaisaran Jepang, yang mengabarkan adanya keberatan-keberatan dari penduduk Indonesia Timur yang tidak beragama Islam. Bila UUD tidak diubah, mereka lebih memilih berdiri di luar Republik Indonesia.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 malam, Moh. Hatta langsung memanggil keempat orang yang dianggap mewakili Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman, Teuku Mohammad Hasan, dan KH Abdul Wahid Hasyim. Dalam diskusi, akhirnya mereka setuju rujukan tentang Islam dalam mukaddimah UUD 1945 dihapus; juga persyaratan presiden harus orang Indonesia aseli yang beragama Islam, diganti dihilangkan rujukan agama Islamnya. KH Abdul Wahid Hasyim kemudian mengusulkan agar Piagam Jakarta itu diganti dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai ganti dari kata “Negara berdasar atas Ketuhanan…”
Kejadian yang penting ini, diperkuat kesaksian oleh tokoh-tokoh seperti Bung Hatta, yang menjelaskan bahwa ia betul-betul berjumpa dengan KH Abdul Wahid Hasyim (Deliar Noer, 1990: 255). Kasman Singodimejo, dalam biografinya yang berjudul Hidup Itu Berjuang (1982: 129-130), juga mengakui bahwa KH Abdul Wahid Hasyim hadir di pertemuan malam itu. Wawancara yang dilakukan Andree Feillard, dalam buku NU vis a vis Negara (2008: 35), juga menjelaskan, bahwa Ibu Wahid Hasyim menegaskan bila suaminya benar-benar menjumpai Moh. Hatta tanggal 18 Agustus 1945 itu (17 Agustus malam); dan sekretaris pribadi Moh. Hatta, Wangsawijaya, juga menjelaskan adanya pembicaraan antara KH Abdul Wahid Hasyim dan Moh. Hatta.
Peran penting KH Abdul Wahid Hasyim itu, dikomentari Andree Feillard begini:
“Perselisihan yang berkepanjangan ini menunjukkan kerelaan tanggal 18 Agustus mempunyai arti simbolis, dan NU menduduki posisi menentukan dalam perdebatan mengenai bentuk Negara Indonesia. Ormas Islam ini bersedia mencari jalan keluar dengan agama lainnya demi persatuan Indonesia. Wahid Hasyim tampak menginginkan adanya persatuan ini. Pada bulan Mei 1945, ia mengatakan bahwa yang paling dibutuhkan Indonesia saat itu adalah persatuan bangsa yang kuat” (NU vis a vis Negara, hlm. 36).
Dalam sidang PPKI yang dimulai tanggal 18 Agustus 1945, bahan-bahan yang ada sebelumnya yang dihasilkan oleh BPUPKI, kemudian disetujui oleh sidang, yaitu preambule dan pembukaan UUD 1945 mengalami perbaikan dan penyempurnaan, dan akhirnya seperti yang kita lihat sekarang ini, berbunyi:
“…susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat, dengan berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa…”
Pada pasal 29 UUD 1945 juga menjadi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” ; dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk, untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Semua pasal-pasal juga akhirnya disetujui dan kemudian Soekarno- Hatta diangkat sebagai presiden dan wakil presiden. Lahirlah Negara Indonesia dengan lima dasar yang kemudian diberi nama Pancasila dan UUD 1945 itu.
Apa yang penting adalah, tidak boleh dilupakan, masa-masa sukar dan mencari jalan keluarnya banyak berhutang budi kepada KH Abdul Wahid Hasyim, sehingga rumusan “Ketuhanan dengan kewajiban… ” yang paling melelahkan itu, akhirnya diterima sidang menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Argumentasi al-Ismu dan al-Musammah
KH Masjkur dan KH Abdul Wahid Hasyim sebagai bagian dari pendiri Republik Indonesia merdeka, dan mewakili dari kalangan NU, telah jelaslah memberi andil besar bagi perumusan dasar Negara Indonesia merdeka. Dari merekalah, Soekarno memperoleh bahan-bahan untuk merumuskan Pancasila dalam sidang pada tanggal 1 Juni 1945; dan memperoleh semacam kekuatan batin, karena tokoh-tokoh penting ini tetap berkomitmen, bagaimana persatuan nasional tidak pecah, tetapi juga tidak ditolak oleh orang Islam.
Pilihan yang dilakukan adalah, menyepakati bukan dasar Islam (yang berarti Islam sebagai nama atau isim), tetapi lebih memilih Islam sebagai unsur yang dinamai dalam bentuk butir-butir, yang kemudian dikenal dengan Pancasila (yang disebut dengan al-musammah); dari wakil-wakil NU ini pula Pancasila yang kita kenal sekarang ini, bisa diterima semua kalangan di PPKI, dengan perubahan dalam klausul “Ketuhanan dengan kewajiban…” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di sinilah, untaian guru-guru saya yang sering mengatakan bahwa “NU iku pakune Indonesia le, memperoleh pembuktiannya dalam sejarah.” Makanya, hanya mereka yang tidak canggih, yang tidak memperhitungkan NU, apalagi tidak seneng dengan NU.
Argumentasi al-musammah Islam dilakukan di dalam kondisi yang menuntut demikian, karena beberapa faktor yang diakui sendiri oleh wakil-wakil Islam: terdapat banyak ragam pendapat, agama, suku, ras, bahasa, dan adat istiadat, yang memicu perpecahan nasional, yang tercermin dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI; perlunya diperkuat persatuan nasional di tengah menganganya potensi untuk pecah; diterimanya tujuan-tujuan agama Islam dalam mengelola masyarakat, di antaranya adalah keadilan, prosedur musyawarah-mufakat, dan keberadaban yang mencerminkan sikap-akhlak yang terpuji di dalam interaksi sosial, dan lain-lain.
Beberapa kenyataan itu, nantinya membawa argumentasi bagi generasi-generasi berikutnya di kalangan NU, bahwa Islam itu adalah agama Allah, bukan ideologi, dan dasar negara adalah ideologi. Ideologi Negara bisa saja kerakyatan, dan lain-lain, seperti yang dikemukakan KH Muchit Muzadi: “Islam bukan ideologi, Islam agama Allah. Ideologi adalah hasil pemikiran manusia…” (NU dalam Perspektif, hlm. 75); dan KH Saifudin Zuhri yang menyebutkan: “Pancasila adalah falsafah, hasil penggalian dan eksplorasi daya pikir manusia menggunakan kecermatan bernalarnya, adapun agama adalah wahyu ilahi yang bersih dari campur tangan apa pun dari manusia” (Kaleidoskop, II: 54).
Oleh karena itu, dengan melihat perjalanan sejarah Islam dan perjuangan NU sendiri, serta pengkajian terhadap Islam Aswaja an-Nahdliyah yang rahmatan lil`alamin, pandangan keagamaan NU memang tidak dimaksudkan untuk menghapus semua nilai masyarakat yang ada dan menggantinya dengan hal yang baru. Yang dilakukan NU adalah menyempurnakan. Al-Musammah di dalam konteks penerimaan dasar-dasar Negara dan UUD yang disepakati di PPPKI, mengemukakan sisi lain pandangan keagamaan NU yang menurut Khittah NU diperjelas dengan kata-kata indah:
“Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian bahwa Islam itu agama yang fithri yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Faham keagamaan NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri satu kelompok seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut” (Khittah NU, bagian 3 ayat 3).
Dalam kerangka Islam sebagai al-musammah itulah, butir-butir Pancasila itu semuanya adalah dianjurkan Islam. Di dalam al-musammah Islam di situ: keadilan merupakan unsur penting dalam membangun sebuah masyarakat dan negara, yang banyak diperintahkan oleh Al-Qur’an, hadits Nabi, dan qaul para imam madzhab; musyawarah-mufakat adalah cara beradab dalam menyelesaikan persoalan kebangsaan dan kenegaraan, yang dianjurkan Islam, lewat perwakilan dan perdebatan yang santun di lembaga perwakilan, bukan menang-menangan; dan persatuan Indonesia, merupakan cerminan dari ta`awun di dalam kebajikan untuk menggalang kekuatan, memelihara eksistensi bangsa Indonesia, dan memajukannya di tengah peradaban bangsa-bangsa; dan kemanusiaan yang adil dan beradab adalah solidaritas pemuliaan terhadap manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Tuhan, dan karenanya harus diperlakukan adil dan beradab; dan Ketuhanan Yang Maha Esa, bagi Islam mencerminkan tauhid, di mana Negara memberikan tempat bagi tumbuh suburnya penghayatan tentang ketuhanan dan ketauhidan bagi masyarakat. Dari sini membawa implikasi, bahwa menjadi seorang Muslim yang baik, sudah semestinya menjadi seorang yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana ditegaskan dalam Khittah NU:
“Setiap warga Nahdlatul Ulama harus menjadi warga Negara yang senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945” (Khittah NU, bagian 8 paragraf 2).
Dari sudut musyawarah mufakat, yang dilakukan PPPKI, merupakan perjanjian yang dilakukan pihak-pihak, kelompok-kelompok, tokoh-tokoh yang mewakili berbagai unsur, untuk bisa hidup bersama di dalam perdamaian dan kemerdekaan Republik Indonesia. Sebagai perjanjian yang dimaksudkan untuk menciptakan perdamaian, mencegah adanya perpecahan dan pertumpahan darah, dasar yang diadopsi PPKI dan pasal 29 tentang agama dan syarat seorang presiden, dengan penghilangan Islam sebagai isim tetapi mengambil sebagai musammah-nya, adalah termasuk perikatan dan perjanjian yang dilakukan kaum Muslimin, teristimewa NU.
Hal ini membawa implikasi pada argumentasi, orang-orang beriman harus menunaikan janji-janji yang telah dibuat, sebagaimana diperintahkan oleh Al-Qur’an: ya ayyuhalladzina amanu aufu bil uqud, dan inilah poin penting yang dikemukakan KH Masdar Farid Mas`udi di dalam buku Syarah Konstisui. Karenanya, umat Islam wajib mempertahankan dan menjaga eksistensi Republik Indonesia sebagaimana dikemukakan KH Achmad Siddiq: “Kesepakatan bangsa Indonesia untuk mendirikan Republik Indonesia adalah syah dan mengikat semua pihak, termasuk umat Islam” (Suntingan Pokok Pikiran KH Achmad Siddiq, item 8 ayat b).
KH Abdurrahman Wahid juga menyebutkan: “Pancasila adalah kesepakatan luhur antara semua golongan yang hidup di tanah air kita. Namun, sebuah kesepakatan, seluhur apa pun tidak akan banyak berfungsi jika tidak didudukkan dalam status yang jelas. Karenanya, kesepakatan luhur bangsa kita itu akhirnya dirumuskan sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara. Ideologi bangsa, artinya setiap warga negara Republik Indonesia terikat oleh ketentuan-ketentuannya yang sangat mendasar, yang tertuang dalam sila yang lima” (Gus Dur, Pancasila sebagai Ideologi, 1997). Bahkan dengan tandas Gus Dur menyebutkan: “Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia dikebiri oleh Angkatan Bersenjata atau dimanipulasi oleh umat Islam” (Kutipan dalam buku Douglas E Ramage, Percaturan Politik di Indonesia, hlm. 80).
Demikian pula, penerimaan dasar-dasar Negara dan UUD 1945 di PPKI membawa argumentasi berikutnya, di mana yang diinginkan bukan hanya keinginan merdeka sebagai bangsa saja, tetapi perjanjian dalam kesepakatan nasional Pancasila di sidang PPKI itu juga dimaksudkan untuk menciptakan perdamaian bagi sebuah Negara merdeka yang damai. Bagi NU, yang telah menyebut wilayah Indonesia sebagai daerah Islam, perdamaian dan ketertiban, dan menghindari pertumpahan darah sesama anak bangsa, adalah syarat yang harus dipenuhi dan harus diupayakan untuk hidup di dalam daerah Islam itu, sebagaimana disebutkan KH Achmad Siddiq, ketika menyebut bahwa “Di wilayah Islam, maka semua penduduk wajib memelihara ketertiban masyarakat, mencegah perampokan, dan sebagainya… (dalam Piagam Kebangsaan, hlm. 52), dan akhirnya negara nasional dengan dasar Pancasila ini adalah bagian dari upaya mewujudkan darus shuluh dan darussalam, negara damai.
Al-Musammah Islam itu, juga meletakkan fondasi bagi argumentasi yang diformulasi para penerus di kalangan NU dengan istilah: tasharruful imam `ala ar-raiyah manuthun bil mashlahah. Menjaga eksistensi Republik Indonesia dan mengisinya agar menjadi lebih baik, menjadi lebih mashlahah, mengharuskan untuk terlibat secara aktif melalui prosedur dan cara yang telah diatur oleh UU, perwakilan, dan lewat kontrol sosial. Fondasinya diletakkan dalam kerangka keagamaan al-i’tidal, at-ta`awun, al-islahiyah, hubbul wathan, lita`arfu, dan berbagai nilai-nilai Aswaja an-Nahdliyah untuk diimplementasikan di dalam ranah kebangsaan dan terus menerus terlibat aktif dalam menciptakan keadilan dan kemashlahatan bagi masyarakat. Puncaknya kemudian berhasil diformulasi dalam Khittah NU. Wallahu a’lam.
Penulis adalah anggota PP RMI NU dan alumnus Pesantren Darunnajah Banyuwangi
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua