Sudarto Murtaufiq
Penulis
Israel kembali melancarkan serangan udaranya di Gaza Selasa pagi, menghantam dua gedung bertingkat tinggi yang diyakini sebagai tempat tinggal para militan, ketika Hamas dan kelompok bersenjata lainnya membombardir Israel selatan dengan ratusan roket.
Permusuhan antara Israel dan Palestina bukanlah hal baru dan telah berlangsung selama beberapa dekade. Namun, kekerasan terbaru kian parak dan meningkatkan ketegangan antara kedua belah pihak dalam sepekan terakhir ini. Ketegangan seringkali terjadi antara Israel dan Palestina, terutama yang tinggal di Yerusalem Timur, Gaza, dan Tepi Barat.
Kali ini, bara api ketegangan antara Israel dan Palestina terus menyala sejak awal bulan suci Ramadhan pada pertengahan April 2021, dengan bentrokan malam antara polisi Israel dan rakyat Palestina. Belum lagi dengan pengusiran terhadap beberapa keluarga Palestina yang terancam di Yerusalem Timur juga telah menyebabkan ketegangan yang terus meningkat.
Sejak Senin, 26 warga Palestina termasuk sembilan anak dan seorang wanita tewas di Gaza, sebagian besar oleh serangan udara, kata pejabat kesehatan Gaza. Militer Israel mengatakan setidaknya 16 orang yang tewas adalah militan.
Selama periode yang sama, militan Gaza menembakkan ratusan roket ke Israel, menewaskan dua warga sipil Israel dan melukai 10 lainnya. Ratusan warga Palestina dan lebih dari 20 polisi Israel terluka dalam bentrokan terbaru di Yerusalem.
Gaza - Masalah dan Tantangan
Gaza berada dalam kendali kelompok militan Palestina yaitu Hamas, yang telah berkali-kali terlibat bentrok dengan tentara Israel. Israel, dalam hal ini bekerjasama dengan Mesir untuk memperketat perbatasan Gaza demi menghentikan kelompok Hamas untuk mendapatkan senjata.
Warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat mengatakan mereka menderita karena tindakan dan pembatasan Israel. Namun Israel berdalih bahwa pihaknya hanya bertindak untuk melindungi diri dari kekerasan Palestina.
Israel mengklaim seluruh Yerusalem sebagai ibu kotanya, status yang umumnya tidak diakui secara internasional. Sementara Palestina menginginkan Yerusalem Timur - yang direbut oleh Israel dalam perang Arab-Israel 1967, sebagai ibu kota negara masa depan.
Pembicaraan damai telah berlangsung selama lebih dari 25 tahun, tetapi sejauh ini belum menyelesaikan konflik tersebut. Tantangan utama termasuk apa yang harus terjadi pada pengungsi Palestina, apakah permukiman Yahudi di Tepi Barat yang diduduki harus tetap atau dihilangkan. Tantangan besar lainnya yang dihadapi oleh keduanya adalah apakah kedua belah pihak harus berbagi Yerusalem. Tantangan paling rumit adalah apakah negara Palestina harus didirikan berdampingan dengan Israel atau tidak.
Serangan brutal Israel ke warga sipil Palestina, hemat penulis, tidak terlepas dari Proyek Zionis untuk Timur Tengah, yang juga menjadi bagian integral dari kebijakan luar negeri AS, yaitu maksud Washington untuk memecah dan memporakporandakan Timur Tengah. Keputusan Trump, sewaktu menjabat sebagai presiden AS, untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel dimaksudkan untuk memicu ketidakstabilan politik di seluruh kawasan.
Jika dilihat dalam konteks ini, Rencana Zionis untuk Timur Tengah berkaitan erat dengan invasi AS ke Irak pada tahun 2003, perang 2006 di Lebanon, perang 2011 di Libya, perang yang sedang berlangsung di Suriah, Irak dan Yaman, belum lagi krisis politik di Arab Saudi.
Proyek “Israel Raya” bertujuan untuk melemahkan dan akhirnya membuat negara-negara Arab tetangga menjadi bagian dari proyek ekspansionis AS-Israel, dengan dukungan NATO dan Arab Saudi. Dalam kaitan ini, pendekatan yang dilakukan oleh Saudi-Israel berasal dari sudut pandang Netanyahu sebagai sarana untuk memperluas wilayah pengaruh Israel di Timur Tengah, termasuk juga dalam menghadapi Iran, musuh besar Israel dan AS di Timur Tengah. Dalam hal ini, tak perlu diragukan lagi, proyek “Israel Raya” konsisten dengan desain kekaisaran AS.
“Israel Raya” terdiri dari daerah yang membentang dari Lembah Nil sampai ke Efrat. Menurut Stephen Lendman, “Sekitar satu abad yang lalu, rencana Organisasi Zionis Dunia untuk sebuah negara Yahudi termasuk: Palestina yang bersejarah; Lebanon Selatan sampai Sidon dan Sungai Litani; Dataran Tinggi Golan Syria, Dataran Tinggi Hauran dan Deraa; dan tentu mengendalikan Kereta Api Hijaz dari Deraa ke Amman, Yordania dan juga Teluk Aqaba."
Sejumlah Zionis menginginkan lebih – tanah dari Sungai Nil di Barat sampai ke Sungai Efrat di Timur, yang terdiri dari Palestina, Lebanon, Suriah Barat dan Turki Selatan.”
Proyek Zionis mendukung gerakan permukiman Yahudi. Secara lebih luas, ini melibatkan sebuah kebijakan untuk mengecualikan orang-orang Palestina dari negerinya hingga mengarah pada aneksasi terakhir, yaitu Tepi Barat dan Gaza ke Negara Israel. Atas dasar inilah, Israel menjadikan serangan udaranya di Gaza dalam sepekan terakhir ini adalah momentum untuk memuluskan proyek "Israel Raya" tersebut sembari menakar seberapa kekuatan internal Palestina dan dukungan internasional terutama dari negara-negara Muslim terhadap Palestina.
Sudah waktunya bagi dunia dan organisasi internasional serta pembela hak asasi manusia untuk membungkam rezim kriminal Zionis dan bergegas mendukung rakyat Palestina yang tertindas dan tak berdaya dengan bantuan praktis dan efektif, terutama untuk memutuskan hubungan dengan rezim Israel.
Sudarto Murtaufiq, dosen Universitas Islam Lamongan (UNISLA) dan peneliti di Global Future Institute (GFI) Jakarta
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua