Son Goku dan kawan-kawannya mungkin bisa dengan mudah mengumpulkan sembilan Dragon Ball yang tersebar di penjuru dunia, jika tidak dihalangi oleh Iblis Buu. Uzumaki Naruto pun pastinya bisa melenggang mulus menjadi Hokage, bila tidak ada perlawanan dari Orochimaru, Obito, atau Madara. Nankatsu dengan Kapten Tsubatsa-nya juga tidak perlu susah payah memenangi kejuaraan nasional tingkat sekolah, kalau saja tidak ada Toho dengan Hyuga-nya.
Itu juga yang terjadi saat kita menjalani ibadah. Hubungan tidak hanya terjadi antara makhluk dengan tuhannya, tapi juga melibatkan sosok antagonis bernama setan. Sama seperti di dunia film, Allah pun menciptakan setan di dunia agar perjuangan para hamba-Nya dalam beribadah jauh lebih keras. Allah menciptakan setan untuk menguji dan menampakkan perbedaan antara hamba-Nya yang beriman dan yang tidak. Sebab, tanpa adanya setan, para manusia bisa dengan mudahnya menjalankan ajaran dan perintah Allah. Persis seperti sabda Rasulullah SAW, “Jika seandainya tidak ada setan yang berkeliling di hati manusia, niscaya manusia akan bisa melihat alam malakut” (H.R. Abu Hurairah).
Maka, sudah menjadi kewajiban kita sebagai hamba Allah untuk berperang melawan ‘sosok antagonis’ tersebut. Cara yang paling ampuh, tentu dengan berpuasa. Mengapa demikian? Sebab, cara yang sama yang selalu dilakukan berulang kali oleh setan untuk menggoda manusia, adalah melalui syahwat. Syahwat merupakan sesuatu yang membuat manusia tidak setaat malaikat kepada Allah. Syahwat adalah alasan kenapa manusia masih berbuat maksiat. Dan syahwat akan terus hidup dalam diri manusia, sepanjang ia masih menuruti keingininannya, seperti makan dan minum. Dengan menahan diri dari makan dan minum, maka orang tersebut telah mengalahkan syahwatnya. Yang juga berarti telah mempersempit ruang bagi masuknya setan ke dalam dirinya.
Selain demi menangkal masuknya setan ke dalam tubuh, dalam haditsnya, Rasulullah SAW pun menggambarkan lapar dan haus sebagai bentuk usaha kita mengetuk pintu surga. “Teruslah kalian mengetuk pintu surga! Hingga pintu itu dibuka”. Lalu Aisyah r.a bertanya, “Bagaiman caranya?”. Rasulullah menjawab, “Dengan menahan lapar dan haus”.
Jadi, bisa dipahami, bahwa disamping bentuk ketaatan kita kepada Yang Mahakuasa, puasa juga bisa menjadi bentuk perlawanan kita terhadap setan, sosok yang selalu menghalangi langkah kita mendekat kepada-Nya. Bulan Ramadhan sebagai momentum kita menabuh genderang perang kepada setan, harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Kapan lagi lapar dan haus kita bisa diapresiasi sebagai ibadah oleh Allah, sekaligus perjuangan kita melawan musuh-Nya, ‘kan?
Saat kita bisa memahami makna puasa sebagai peperangan melawan musuh Allah, maka sudah seharusnya momen ini diisi dengan penuh semangat, dan bukannya malah bermalas-malasan. Banyak dari kita yang bermalas-malasan di saat Bulan Ramadhan, dan bersembunyi di balik perisai hadits, “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah”.
Bagi mereka kaum rebahan, hadits tersebut bagai oase di tengah kegersangan. Hadits itu seakan menjadi pembenaran bagi mereka untuk bermalas-malasan. Lebih parahnya lagi, banyak orang yang meninggalkan amal-amal baik di Bulan Ramadhan ini, seperti berzikir, membaca Al-Qur'an, mengikuti kajian keislaman, demi mengejar ‘ibadah’ sebagaimana dalam hadits.
Hadits di atas sudah terlanjur meluas dan familiar di telinga masyarakat. Padahal jika ditelaah lebih dalam, kita bisa temukan masalah di dalamnya. Imam Bukhari mengatakan bahwa hadits ini tergolong hadits matruk alias semi palsu, dikarenakan adanya perawi yang dianggap daif dalam runtutan sanadnya, yakni Sulaiman Ibn Amr al-Nakha’i. Bahkan Imam Ahmad Ibn Hanbal menyebut Sulaiman sebagai pembohong, dan salah satu sosok yang sering memalsukan hadits. Ini tentu menjadi masalah besar bagi orisinalitas sebuah hadits.
Saya jadi teringat penjelasan dalam salah satu syarh Alfiyah Ibn Malik, Hasyiyah Shabban, pada bab tamyiz. Menurut penulisnya, Muhammad Ibn Ali al-Shabban, beberapa tamyiz berasal dari kata yang semula menjadi fa’il, maf’ul bih, atau mubtada’, yang kemudian ditempatkan di akhir kalam. Penempatan tamyiz di akhir kalam itu memiliki satu tujuan penting, yakni justru agar kalimat tersebut lebih misterius dan sulit dipahami. Sehingga ketika kalimat itu berhasil dipahami, pemahaman tersebut akan lebih terpatri dalam pikiran. Beliau mengatakan,“Karena sesuatu yang dihasilkan melalui usaha keras akan jauh lebih bermakna dibanding hal lain yang diraih tanpa usaha”.
Saya yakin setiap orang pasti akan lebih menghargai perjuangan seseorang yang menjalani puasa dengan dibarengi kerja keras dari pagi hingga sore hari, dibanding puasa seseorang yang tidur seharian dan bahkan baru bangun 15 menit sebelum azan maghrib. Ehem...
Memang tidak ada salahnya tidur di bulan Ramadhan. Apalagi bila itu diniati demi menghindarkan diri dari stalking mantan yang makin hari makin terlihat memesona, maka tidur akan menjadi sangat baik. Namun sekali lagi, apa itu yang kita sebut perang melawan setan? Apa tidak sayang moment di mana semua amal ibadah akan dilipat gandakan pahalanya lewat begitu saja, sementara kita sibuk ‘mengejar mimpi’? Saya hanya ingin mengingatkan bahwa, setan akan melakukan segalanya demi membuatmu meninggalkan ibadah. Mungkin bantal yang sedang merayumu untuk tidur itu adalah, setan?
Penulis adalah warga di Pondok Buntet Pesantren, alumnus Pondon Pesantren Al-Falah, Ploso, Mojo, Kediri
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
Terkini
Lihat Semua