Oleh Supadilah Iskandar dan Hikmatul Walid
Akhir-akhir ini, kita sering mendengar istilah 'sastra etnik' yang identik dengan sastra lokal atau sastra daerah. Ia mengandung keunikan yang dimiliki etnik tertentu, terutama soal kultur dan budayanya, dan tidak semata-mata soal bahasanya. Di sisi lain, mengangkat budaya setempat, serta menggali spirit di dalamnya–apalagi jika mampu dilakukan warga etniknya–maka akan dapat melejitkan ketinggian nilai budaya setempat dalam hubungannya dengan universalitas dan nilai-nilai kemanusiaan.
Karena itu, diperlukan adanya eksplorasi dan revitalisasi sastra etnik, yang pada gilirannya dapat menyumbang kearifan budaya etnik ke kancah masyarakat global. Selain itu, nilai-nilai budaya pada sastra etnik, lebih semarak jika dieksplorasi dalam seni film, drama maupun sinetron.
Hal ini tentu tidak mudah, mengingat sedikitnya minat produser untuk mengangkat kisah-kisah yang tertuang dalam sastra etnik. Belum lagi soal kecenderungan media-media seni publik (khususnya televisi) yang sangat
terhegemoni kekuatan pasar (iklan) ketimbang mengutamakan idealisme sang kreator seni.
Misalnya, jika kita menampilkan novel Perasaan Orang Banten, dengan gaya penuturan dan penokohan yang sejajar dengan Si Doel Anak Sekolahan, tentu akan sangat menarik. Apalagi jika dibumbui segala tuturan dan celotehan antara Jawa dan Sunda Banten, sebagaimana tokoh Mandra, Atun, dan Basuki. Meskipun hal ini, tentu juga harus diimbangi dengan jenuinitas penyutradaraan ala Rano Karno yang lebih membumi dan
merakyat.
Kita bisa bayangkan seandainya fenomena manusia Indonesia berikut karakteristiknya terangkum dalam format manusia Banten yang plural dan kompleks. Tokoh-tokohnya terhimpun dalam paguyuban dengan seting lokasi
antara pertigaan Jombang, gardu ronda, warung kopi Pak Salim hingga kios pangkas rambut milik Pak Majid. Di situ ada juga guru dan penceramah agama yang terpincut dengan dunia politik. Ada pengusaha dan penganut garis politik berhaluan kanan (Bang Jali), ada marbot selaku DKM masjid Darul Muttaqin, warung kelontong Bi Siti, artis dangdut Poppy Ratnasari, si perantau Sodik, hingga si mulut bawel yang menyimpan segudang rahasia tentang segala aib dan kemungkaran yang dialami warga kampung. Selain itu, ada lagi tokoh agama dari NU, semisal Kiai Muhaimin yang menengahi segala hiruk-pikuk dan carut-marut peradaban Banten yang mencerminkan peradaban manusia Indonesia secara keseluruhan.
Hal lain yang perlu dicermati untuk menampilkan (menuturkan) sastra etnik adalah dinamika pembaca atau penikmatnya. Jika komunitas pendukungnya kebanyakan mengerti bahasa etniknya, maka dapat dipakai bahasa etnik. Jika tidak, dapat juga menggunakan bahasa Indonesia dengan menampilkan tokoh-tokoh yang mewakili gaya bahasa atau logat bahasa setempat.
Kondisi dunia global saat ini, memang berdampak pada keharusan bidang apa pun untuk saling berkontestasi. Kontestasi ini dapat dilakukan dengan menghadirkan produk-produk berkualitas yang unik dan diciptakan dari tingkat kompetensi masing-masing. Dengan itu, tantangan persaingan jelas akan semakin ketat. Hal ini meniscayakan adanya tawaran-tawaran baru yang lebih praktis dan simpel, juga lebih terjangkau sehingga minat pendukung menjadi terbelah. Apalagi dengan semakin terbatasnya waktu, membuat orang makin membutuhkan kemasan seni atau sastra yang terjangkau oleh waktu.
Selain itu, kebutuhan masyarakat akan dunia seni yang makin heterogen, bisa mengambil ruang-ruang yang dulunya menjadi milik sastra etnik. Inilah yang menjadi akar terjadinya perebutan ruang-ruang seni dan kebudayaan. Jadi, bukan problem minimnya peminat dan penikmat, melainkan adanya perubahan kondisi pendukung yang cenderung heterogen tadi.
Dengan demikian, nampak sekali gejala akhir-akhir ini, dalam upaya merebut simpati publik. Bagi para seniman dan sastrawan yang kadung bangga disebut 'senior' juga tak terkecuali, harus sanggup mengemas corak sastra yang sesuai dengan minat publik. Karenanya, eksplorasi dan revitalisasi adalah sesuatu yang niscaya mutlak. Kalau dulu, tata nilai kesusastraan cukup disajikan dalam performance pada cara tradisional, kini tentu dibutuhkan cara-cara ala modern yang harus melek ICT.
Saya kira, itu pula yang dikerjakan para penulis milenial, sebagaimana yang dilakukan pembaca-pembaca novel Pikiran Orang Indonesia. Jadi, tak perlu memusingkan berapa nominal dari prosentasi anggaran yang diterima dari pihak penerbit, tetapi berbuat sajalah demi kemanusiaan dan demi kemajuan peradaban bangsa kita secara tulus dan apa adanya. Toh pada akhirnya, benih-benih kebaikan yang ditanam itu tidak akan meleset atau mengkhianati hasil-hasil yang akan berbuah bagi si pelaku kebaikan itu sendiri.
Orang-orang bijak bilang, kebaikan yang ditanam si pelaku tidak akan menyasar ganjarannya kepada pihak lain. Biarpun kebaikan itu dilihat orang atau tidak, toh Yang Maha Melihat dan Maha Kreator kebaikan, sudah
pasti menyaksikan apa-apa yang kita tulis dan sampaikan demi kemaslahatan umat. Jadi, kalau Anda melihat batu atau balok melintang di tengah jalan, tak usah sibuk mengambil ponsel dan meng-upload ke sana
kemari, lalu memaki-maki dinas perhubungan lantaran dia yang berwenang dan memegang anggaran segala tetek-bengek. Tetapi, cukuplah ambil balok itu dan enyahkan dari jalanan, segera!
Coba bandingkan dengan nilai kebaikan yang ditanam seorang penulis atau sastrawan. Tak perlu mengharap pujian dan sanjungan pembaca atau pihak lain. Cukup menulis saja yang baik, lalu sampaikan kepada publik demi pembenahan dan perbaikan moral bangsa. Perkara orang berubah atau tidak, mengerti atau tidak, sadar atau tidak, itu mah bukan urusan kita yang memberi 'hidayah'. Tetapi ada kewenangan mutlak pada Sang Kreator
perubahan yang sesungguhnya.
Karena itu, menulislah, tanamlah nilai-nilai kebaikan, kebenaran dan keindahan itu dengan sebaik-baiknya, lalu sampaikan apa-apa yang sudah kita tanam itu kepada publik seluas-luasnya....
Para penulis adalah pemerhati kesusastraan mutakhir Indonesia, menulis esai sastra di berbagai media daring dan luring.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua