Opini

Stan Lee dan Kesetaraan Manusia

Sabtu, 17 November 2018 | 22:30 WIB

Stan Lee dan Kesetaraan Manusia

Stan Lee. Foto. © Twitter @RealStanLee

Pada masa-masa tertentu, produk budaya populer semacam film, musik jazz, komik, dan bacaan-bacaan tertentu seringkali dianggap sebagai karya murahan. Mereka disikapi sinis, dihindari, dan dikritik minta ampun. Perannya dikecilkan, dianggapnya para penikmatnya adalah mereka yang tidak memiliki nilai intelektualitas tinggi.
 
Padahal, jika menilik dari jumlah penikmatnya, produk-produk budaya populer tadi tidaklah bisa dianggap remeh begitu saja. Saat menganalisis sastra populer, Christopher Pawling dalam bukunya berjudul  Popular Fiction and Social Change, pernah menuliskan bahwa jika kita menganalisis sastra sebagai “praktik komunikasi”, maka kita tidak bisa mengesampingkan dunia fiksi yang mengendalikan masyarakat pembacanya. Genre dan tipe apa yang sedang digemari khalayak, itulah cermin masyarakat kita sekarang. Oleh karena itulah, lewat kelebihannya yang digemari masyarakat banyak, produk budaya populer memiliki kans lebih besar dalam upaya menyampaikan pesan-pesan dan ideologi tertentu.
 
Komik, sebagai salah satu produk budaya populer, termasuk yang pernah dipandang sebelah mata keberadaannya. Komik telah melewati masa-masa suram dalam perkembangannya. Kritik dan kecaman dari kalangan pendidik dan intelektual tak jarang sering diterimanya. Komik dianggap sebagai bacaan tak mendidik dan memberikan pengaruh buruk terhadap anak-anak. Pada tahun 1954, di Amerika Serikat, komik pernah menemukan masa-masa paling suram. Seorang psikolog bernama Fredric Wertham mengkritik tajam keberadaan komik lewat bukunya yang berjudul Seduction of The Innocent. Dia mengklaim bahwa pasiennya, yang seringkali terkena masalah kriminal, kebanyakan adalah pembaca komik. Kritiknya itu mendapat perhatian khusus dari Komite Senat Amerika Serikat. Kejadian itu menyebabkan Asosiasi Majalah Komik Amerika memberikan kontrol ketat terhadap komik yang terbit. Di tahun 1954 itu tadi, lahirlah Comics Code Authority, sebuah label sensor yang melekat pada sampul depan komik-komik Amerika.
 
Hal yang sama pernah terjadi di Indonesia. Di tahun 1954, komikus RA. Kosasih menciptakan komik superhero perempuan bernama Sri Asih. Tak berselang lama, komik Kosasih ini mendapat kritik dari banyak pihak. Sri Asih dibilang mendukung gaya kebarat-baratan. Padahal dilihat dari nama, kostum, dan latar yang digunakan, Sri Asih benar-benar komik dengan konteks keindonesiaan yang kental. Namanya terinspirasi dari Dewi Sri. Pakaiannya kemben dan jarik. Sri Asih adalah sosok perempuan yang kuat. Dia rela mengorbankan kepentingan pribadinya untuk keselamatan masyarakat banyak. Kosasih kemudian menjawab tudingan masyarakat tadi dengan menciptakan komik baru yakni komik wayang. Kelak atas inisiatif dan jasanya yang satu ini, RA. Kosasih oleh banyak pihak ditahbiskan sebagai Bapak Komik Indonesia.
 
 
Kembali kepada bahasan komik sebagai budaya populer. Di Amerika, komik menduduki peran yang signifikan dalam industri kebudayaannya. Di sana terdapat dua perusahaan komik terbesar, yakni DC Comics dan Marvel Comics. Nama yang pertama terkenal akan karakter superhero seperti Superman, Batman, Wonder Woman, dan lain sebagainya. Nama yang kedua identik dengan Captain America, Iron Man, Thor, Hulk, Spider-Man, dan lain sebagainya.  Di dalam membahas dunia superhero di Amerika, ada satu nama yang tidak boleh dilepaskan begitu saja. Dialah Stan Lee, sosok yang mendedikasikan sebagian besar hidupnya untuk dunia komik.
 
Stan Lee dan Superhero
Stan Lee memiliki nama asli Stanley Lieber. Dia lahir di Kota New York pada 28 Desember 1922. Stanley masuk industri komik di usia yang relatif muda, 17 tahun. Kala itu dia masuk ke Timely Comic, cikal bakal dari Marvel Comic. Posisinya saat itu adalah asisten. Oleh Joe Simon, dia diminta untuk membuat sandwich, kopi, menghapus garis gambar, mengisi tinta, dan lain sebagainya. Di kemudian hari, karena kurangnya tenaga kreatif, Stanley akhirnya diminta ikut menulis. Tulisan awalnya berupa cerita pendek berjudul Captain America Foils The Traithor’s Revenge. Di sinilah pertama kalinya Stanley menggunakan nama pena Stan Lee.
 
Di Timely, yang kemudian berevolusi menjadi Marvel Comic, Stan Lee banyak menciptakan karakter superhero. Karakter yang dibuat Stan Lee tergolong unik, dan membuatnya berbeda dengan karakter-karakter superhero dari perusahaan komik pesaing, DC Comics. Stan Lee seringkali menciptakan karakter superhero dengan tidak sempurna. Superhero DC adalah sosok yang kuat dan sempurna, seperti Superman yang sangat kuat, Wonder Woman yang anak ratu, Batman yang punya kekayaan melimpah, Green Lantern yang kekuatan cincinnya sangat besar, atau Aquaman yang raja atlantis. Stan Lee menciptakan karakter yang berbeda. Dia menciptakan karakter superhero yang memiliki kegundahan dan masalah dalam hidupnya. Spider-Man, adalah kutu buku yang melulu dipersekusi teman sekolahnya. Daredevil, sosok tuna netra yang juga dikucilkan oleh lingkungannya. Black Panther, superhero berkulit hitam. X-Men, mutan yang dikucilkan masyarakat. Dan, masih banyak lagi yang lain. Strategi Stan Lee yang membuat karakter dengan kedalaman psikologis ini terbukti efektif. Banyak pembaca yang merasa lebih dekat dengan komik Stan Lee karena beban-beban yang dideritanya.
 
Selain unik karena hal tadi, karakter-karakter ciptaan Stan Lee juga memuat pesan-pesan yang mendalam. Stan Lee tidak hanya sekedar membuat adegan berantem dan karakter yang hitam putih. Dia sadar akan potensi besar yang dimiliki medium komik. Maka dari itu, Stan Lee sering kali memasukkan ide-ide tertentu ke dalam komik yang dia tulis.
 
Jika kita membaca Black Panther, terlihat benar usaha Stan Lee untuk menonjolkan figur orang kulit hitam. Black Panther pertama muncul di komik Fantastic Four #52 tahun 1966. Di tahun 1960-an, isu rasial di Amerika memang menemui titik puncaknya. Dan, Stan Lee berusaha menunjukkan sikapnya melalui sosok adidaya pembela kebenaran berkulit hitam bernama Black Panther.
 
 
Bersama Jack Kirby sebagai artist, Stan Lee menciptakan X-Men. X-Men adalah metafora dari orang-orang penderita disabilitas. Profesor Xavier, pemimpin X-Men, kakinya lumpuh. Wolverine adalah mutan dengan gejala mental trauma masa lalu. Storm menderita klaustrofobia. Cyclops menderita buta warna. Selain mereka, masih banyak tokoh mutan yang memiliki masa lalu yang begitu kelam. Ditambah lagi, mereka ini dianggap aneh oleh masyarakat. Namun, oleh Stan Lee, para manusia dengan kemampuan berbeda ini diberikan tujuan besar, menyelamatkan umat manusia.
 
Di tahun-tahun terakhir, Stan lee juga menciptakan superhero India bernama Chakra. Chakra adalah alter ego dari Raju, remaja India yatim piatu yang kerap menjadi korban persekusi di lingkungannya. Dengan kekuatan cakra, Raju membela orang-orang tertindas dan membasmi kejahatan.
 
 
Stan Lee menciptakan berbagai macam superhero dengan berbagai macam ras. Bagi Stan Lee, tidak pernah ada batasan ras untuk mejadi seorang pembela kebenaran. Ras-ras tertentu yang di dunia nyata terkadang masih tersisih, oleh Stan Lee ditunjukkan setara bahkan memiliki kelebihan. Stan Lee pernah berkata di sebuah wawancara Bersama Larry king, bahwa dia senang dengan model topeng Spider-Man yang menutup kepala secara sempurna. Ia membayangkan bahwa dengan topeng yang tertutup sempurna, anak dengan ras apa saja bisa membayangkan dirinya adalah sang penyelamat dengan kekuatan laba-laba. Mau kamu dari Amerika, dari Afrika, dari Asia, semua bisa berubah menjadi Spider-Man.
 
Spirit kesetaraan itulah yang berusaha Stan Lee pegang sepanjang hidupnya. Di tahun 1968, Stan Lee pernah menulis di sebuah kolom berjudul “Stan’s Soap Box”. Di sana, Stan Lee menuliskan, bigot dan rasis adalah penyakit sosial yang mematikan. Untuk menghadapinya, manusia harus mengisi hati dan jiwanya dengan toleransi. Sikap inilah yang berusaha Stan Lee pegang teguh melalui karya-karyanya. Di usia senjanya, semangat kesetaraan masih dia gaungkan lewat komik Chakra The Invisible yang dia tulis.
 
Kepergian Stan Lee
Publik komik minggu ini mendapat berita duka. Pada hari Selasa, 12 November 2018, Stan Lee menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dia meninggal dunia di usia 95 tahun. Dunia populer berduka. Kini tak ada lagi senyum khas Stan Lee terpancar dalam wawancara ataupun konferensi budaya populer. Kini, tidak ada lagi  sosok yang ditunggu-tunggu sebagai cameo di film-film Marvel Cinematic Universe. Stan Lee telah pergi. Namun, warisannya akan ada dan berlanjut meneruskan semangatnya, semangat kesetaraan.
 
Terima kasih Stan Lee. Terima kasih telah mewarnai dunia dengan superhero-superhero ciptaannmu. Selamat jalan.
 
 
Penulis adalah penyuka komik, bisa ditemui di Pesantren Ciganjur