Oleh M Daniel Fahmi Rizal
Hari ini, 4 April 2019 adalah hari istimewa bagi insan komik Indonesia. Baik komikus, penggemar, maupun pemerhati komik ramai menggelar kegiatan berkomik. Ada yang menyelenggarakan acara menggambar bersama, ada yang melakukan diskusi, atau sekadar meramaikan tagar di media sosial. Semuanya dilakukan untuk meramaikan dunia perkomikan Indonesia.
Mengapa hari ini istimewa? Apa yang para insan komik ini rayakan? Jawabannya karena di tanggal ini, tepat 100 tahun yang lalu, merupakan hari lahir Raden Ahmad Kosasih atau R.A. Kosasih.
Kosasih adalah nama yang begitu berpengaruh di medan komik Indonesia sampai sekarang. Dia adalah pencipta tradisi komik wayang di tahun 1955. Melalui pemikiran jeniusnya, lahir komik epos Mahabharata dan Ramayana. Komik wayangnya sukses besar. Distribusinya meluas sampai ke kota-kota kecil di luar pula Jawa.
Sebelum membuat komik wayang, di tahun 1954 Kosasih memulai debut komiknya bersama penerbit Melodie dari Bandung dengan menciptakan Sri Asih. Sri Asih adalah sosok superhero perempuan asli Indonesia. Superhero ini menggunakan kostum seperti tokoh wayang golek. Sri Asih diceritakan mempunyai kekuatan yang sangat besar. Dia bisa terbang, bisa juga membelah diri, bahkan mampu berubah menjadi raksasa. Jika tidak menjadi superhero, sosok Sri Asih berubah menjadi remaja perempuan biasa bernama Nani. Selain Sri Asih, Kosasih juga membuat superhero perempuan lain, di antaranya adalah Siti Gahara dan Sri Dewi.
Sayangnya, ketika itu banyak kalangan yang tidak begitu suka dengan karya Kosasih. Golongan pendidik mengkritik habis karyaKosasih. Dibilangnya komik superhero buatan Kosasih sebagai produk yang kebarat-baratan. Komiknya juga sarat akan sihir. Mereka bahkan mengklaim komik Kosasih bisa membuat anak-anak menjadi bodoh.
Tidak mau berpangku tangan begitu saja, Kosasih bersama Penerbit Melodie akhirnya memutar otak. Mereka akhirnya memutuskan untuk mengalihwahanakan cerita wayang, cerita khas nusantara, ke dalam medium komik. Kosasih memang penggemar wayang. Masa mudanya sering dihabiskan dengan menonton wayang golek sampai pagi. Jadi klop sekali ide membuat komik tersebut bagi Kosasih. Demikian akhirnya, pada tahun 1955, epos Mahabharata dan Ramayana terbit pertama kali dalam bentuk komik.
Ide Kosasih ini begitu besar pengaruhnya. Setelah suksesnya komik wayang Kosasih, banyak penerbit dan komikus yang mulai meniru membuat komik wayang. Beberapa di antaranya bahkan turut terkenal karena ciptaan komik wayangnya yang juga bagus, seperti yang dihasilkan oleh komikus Ardisoma. Tidak selesai pengaruhnya di tanah Jawa, komik wayang Kosasih bahkan menancapkan pengaruhnya sampai ke Medan. Kelak di tahun 1960-an, komik Medan menjadi gerakan tersendiri dalam sejarah komik Indonesia. Menurut penelusuran Henry Ismono, pengkaji dan kolektor komik Indonesia, gerakan komik Medan sendiri diawali dari munculnya komik wayang dari penerbit Casso di tahun 1955. Jika ditilik sampai ke belakang, siapa lagi kalau bukan R.A. Kosasih yang awal mula memberikan pengaruh.
Itulah kenapa, R.A. Kosasih begitu disegani oleh komikus-komikus Indonesia. Mulai dari angkatan tua yang aktif membuat komik dari tahun 1960-an, sampai angkatan di atas tahun 2000, banyak sekali yang menghormati Kosasih.
Salah satu komikus aktif yang dekat dengan Kosasih adalah Beng Rahadian, pengajar Institut Kesenian Jakarta dan pencipta karakter komik Lotif. Mengingat begitu besarnya jasa Kosasih terhadap komik Indonesia, oleh inisiatif Beng dan kawan-kawannya R.A. Kosasih akhirnya ditakbiskan sebagai Bapak Komik Indonesia. Hari lahirnya, tanggal 4 April, dirayakan sebagai Kosasih Day. Di hari itu, komikus-komikus Indonesia dari berbagai daerah ramai-ramai membuat kegiatan berkomik di daerahnya masing-masing. Oleh Beng dan kawan-kawannya pula, tanggal 4 April mereka usulkan sebagai Hari Komik Nasional.
Perdebatan untuk Kosasih
Namun, usaha mengapresiasi Kosasih mengundang perbedaan pendapat. Beberapa komikus di komunitas Masyarakat Komik Indonesia atau MKI tidak setuju dengan gelaran 4 April sebagai Hari Komik Nasional. Mereka berdalih, hari komik sebelumnya sudah diputuskan pada 12 Februari. Pada tanggal 12 Februari 1998 pernah diselenggarakan Pekan Komik dan Animasi Nasional. Oleh Edi Sedyawati, Dirjen Kebudayaan waktu itu, tanggal 12 Februari diusulkan sebagai Hari Komik dan Animasi Nasional.
Dalam artikel R.A. Kosasih dan Napas Panjangnya dalam Menggeluti Komik, yang dimuat dalam tirto.id, Beng Rahadian dkk. keberatan dengan keputusan Hari Komik dan Animasi Nasional. Bagi Beng, lebih baik fokus terhadap hari komik saja tanpa menyertakan animasi. Menurutnya, kawan-kawan animasi pun pasti menginginkan hari mereka sendiri tanpa ada embel-embel komik.
Tentang penyebutan Kosasih sebagai Bapak Komik Indonesia sendiri mendapatkan beberapa ketidaksetujuan. Salah satu yang menentang adalah komikus Jaka Sembung, Djair Warni. Dalam memoar pribadi yang dia tulis tangan sendiri, Djair menuliskan bahwa Kosasih kurang pantas disebut Bapak Komik Indonesia. Menurutnya, Kosasih belum memiliki karakter komik yang khas. Dia kemudian membandingkan Kosasih dengan dirinya yang membuat karakter komik Jaka Sembung. Komik Jaka Sembung yang dibuatnya pada tahun 1968 laris manis di pasaran. Pun akhirnya berhasil dialihwahanakan dalam bentuk film di tahun 1981. Jaka Sembung bahkan bisa jadi pantun yang diucapkan di siaran televisi nasional. Siapa tidak tahu pantun familiar yang berbunyi, “Jaka Sembung naik ojek. Enggak nyambung, Jek!”
Alasan berbeda diungkapkan oleh Henry Ismono. Menurutnya, Kosasih sebenarnya punya banyak karakter komik yang top. Selain Sri Asih dan Siti Gahara, Kosasih juga sempat membuat komik Empat Sekawan yang karakter-karakternya adalah anak-anak. Zaman itu, belum lumrah komikus Indonesia mencipta karakter utama cerita adalah anak-anak. Maka dari itu, menurut Henry, jasa R.A. Kosasih tetaplah sangatlah besar. Terlepas dari ketidaksetujuan banyak pihak, Henry menawarkan kembali untuk memperhitungkan ukuran dan variabel dalam membicarakan Kosasih sebagai Bapak Komik Indonesia.
Pengaruh yang Tak Lekang
Terlepas dari kontroversi penyebutan mendiang Kosasih sebagai Bapak Komik Indonesia, rasanya kita tidak bisa menafikkan jasa besar Kosasih terhadap kebudayaan Indonesia. Kejeniusan Kosasih dalam mengalihwahanakan komik wayang terasa benar pengaruhnya hingga sekarang. Simak saja, sampai sekarang banyak sekali komik-komik yang mengambil karakter wayang sebagai materi penceritaan mereka. Banyak yang di antaranya sukses besar. Salah satu yang penulis sebutkan di sini adalah komikus asal Surabaya, Is Yuniarto.
Is Yuniarto adalah pencipta komik Garudayana. Komik tersebut menceritakan tentang petualangan gadis bernama Kinara dan burung garuda yang bernama Garu. Di dalam petualangannya, mereka juga dibantu oleh Gatotkaca. Seperti dikutip dari reoncomics.com, Is Yuniarto mengaku bahwa dia terinspirasi dari R.A. Kosasih. Ketika kecil dia gandrung membaca komik wayang karya R.A. Kosasih, Ardisoma, dan Teguh Santosa. Is Yuniarto memiliki style gambar ala komik Jepang atau manga. Namun, dia tak lupa dengan khazanah lokal yang punya potensi besar untuk dimanfaatkan. Dengan gaya gambar manga-nya, Is Yuniarto kemudian bisa menjangkau pembaca masa kini yang memang sudah akrab dengan komik Jepang. Dengan cerita wayangnya, Is Yuniarto turut melestarikan budaya lokal khas nusantara.
Begitu suksesnya komik Garudayana, karakter di dalam komik ini bahkan sempat dialihwahanakan ke dalam medium lain. Di tahun 2017, produsen game internasional dari China Mobile Legend: Bang Bang melirik karakter Gatotkaca untuk dijadikan jagoan dalam game terkenal tersebut.
Selain tentang pengaruh Kosasih, penulis juga memberikan perhatian khusus terhadap komik superhero ciptaan Kosasih. Komik superhero ciptaan Kosasih ini tokoh-tokoh utamanya perempuan. Di tengah kehidupan negeri yang kental akan budaya patriarki, Kosasih justru membuat perempuan sebagai sosok kuat, mandiri, dan lebih dari itu, perempuan digambarkan sebagai sosok yang peduli terhadap kemanusiaan.
Apa yang dilakukan Kosasih ini berbeda jauh dengan kultur penciptaan superhero Amerika. Di industri komik Amerika, sudah biasa superhero perempuan dieksploitasi lekuk tubuhnya sedemikian rupa agar mampu menarik minat pembaca. Kosasih tidak melakukan itu. Kosasih bahkan meramu superheronya dengan kearifan lokal agar pembaca merasa lebih dekat dengan karakter tersebut. Hal ini sebagaimana yang terlihat dari kostum ala wayang golek yang dikenakan Sri Asih dan Sri Dewi.
Jadi menurut penulis, perdebatan tentang cocok atau tidaknya Kosasih sebagai Bapak Komik Indonesia masih bisa terus didiskusikan. Boleh saja kita tidak setuju dengan penyebutan Kosasih sebagai Bapak Komik Indonesia. Namun, kita juga tidak boleh menafikan jasa-jasa Kosasih terhadap komik Indonesia. Sampai sekarang pun, ide jenius Kosasih dalam menggubah epos pewayangan dalam medium komik betul-betul terasa benar manfaatnya. Maka dari itu, momen 4 April menurut penulis tetaplah patut untuk dirayakan. Paling tidak, di tanggal tersebut kita semua bisa berefleksi tentang apa yang dilakukan Kosasih untuk komik Indonesia. Refleksi tersebut nantinya bisa kita gunakan untuk menyusun strategi, bagaimana nasib komik Indonesia di kemudian hari. Jadi, selamat Hari Kosasih! Selamat merayakan komik Indonesia!
Penulis adalah Santri Pesantren Ciganjur, Penggemar Komik Indonesia