Opini HARI AYAH

Sukarno dan Ayahnya

Selasa, 12 November 2019 | 11:00 WIB

Sukarno dan Ayahnya

Soekarno saat sedang berdoa

Oleh Syakir NF
 
Sukarno merupakan sosok yang memang berdarah kuasa. Dari ibunya, ia mewarisi trah Kerajaan Singaraja Bali, sedang dari ayahnya mewarisi darah Kerajaan Kediri. Tak ayal, ia dididik begitu keras oleh sang ayah, Raden Sukemi Sosrodihardjo. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Sang Proklamator Indonesia itu dalam buku autobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang ditulis oleh Cindy Adams.

Meski sudah berjam-jam lamanya, Raden Sukemi terus memintanya belajar membaca aksara Jawa dan latin. Sebab, katanya, ayahnya berkeyakinan anaknya yang lahir saat fajar menyingsing itu kelak akan menjadi ‘orang’.

Pahlawan yang lahir pada 6 Juni 1901 itu pernah diingatkan oleh ayahnya tentang Tuhan ketika menjatuhkan sarang burung dari pohon. Terlihat marah betul suami dari Ida Ayu Nyoman Rai itu karena wajahnya yang pucat. Ia pun mengatakan pernah memintanya agar menyayangi binatang. Sukarno pun diminta menjelaskan arti kata-kata Tat Twan Asi, Tat Twan Asi.

“Artinya ‘Dia adalah Aku dan Aku adalah dia; engkau adalah aku dan Aku adalah engkau,” ujar Sukarno menjawab permintaan ayahnya.

Ayahnya pun kembali menanyakan kepadanya, “Apakah tidak kuajarkan kepadamu bahwa ini mempunyai arti yang penting?”

Sukarno kembali mampu menjawabnya, yakni Tuhan selalu berada dalam diri kita semua.

Lalu, presiden pertama Indonesia itu pun mengaku bahwa sarang burung itu jatuh bukan karena kesengajaannya. Meskipun demikian, ia tetap mendapat ganjaran pukulan rotan ke pantatnya. Dengan begitu, ia melihat bahwa ayahnya menginginkannya disiplin.

Pengalaman menarik lagi Sukarno bersama ayahnya ketika ia harus terbaring 2,5 bulan gegara terserang penyakit tifus. Saat itu, ia yang sudah berusia 11 tahun itu mengandalkan ayahnya untuk mendorongnya tetap bertahan hidup mengingat ia merasa di ambang pintu kematian. “Selama dua setengah bulan penuh bapak tidur di bawah tempat-tidur bambuku. Ia berbaring di atas lantai semen yang lembab, di alasa dengan tikar pandan yang tipis dan lusuh, tepat di bawah bilah-bilah tempat tidurku,” katanya.

Sepanjang ia sakit itu pula ayahnya mendampinginya dengan tidur di bawah tempat tidurnya tersebut sembari terus memanjatkan doa agar putranya tersebut dapat kembali sehat meski harus merasakan gelap, lembab, serta udara yang tidak enak dan menyesakkannya.

Motivasi Ayahnya Mulai dari Nama
Sukarno memiliki nama kecil Kusno. Namun karena sakit-sakitan terus, Raden Sukemi pun mengganti namanya menjadi Karna dan diberi awalan ‘Su’ yang berarti baik. Sukarno berarti pahlawan yang paling baik.

Kata Karna sendiri diambil dari seorang tokoh pahlawan terbesar dalam cerita epos Mahabharata. Sang ayah begitu gandrung terhadap cerita klasik Hindu tersebut. Dengan diganti namanya, ia merasa girang mengingat artinnya juga yang ia tafsirkan menjadi seorang yang sangat kuat dan sangat besar.

Dengan pergantian namanya itu, Sukarno tumbuh menjadi seorang yang memiliki kemauan keras dan berkharisma. Sampai-sampai rekan-rekannya menyebutnya sebagai jago karena mereka selalu mengikuti apa yang dilakukan olehnya, mulai dari bermain jangkrik di lapangan Mojokerto, hingga mengumpulkan perangko.

Di tengah keterbatasan keluarganya yang makan saja masih susah, ayahnya tetap bertekad menjadikan putranya itu menjadi seorang yang pintar dengan menyekolahkannya di Sekolah Bumiputera. Raden Sukemi ingin putranya tersebut bersekolah tinggi di Belanda sehingga ia bertekad memasukkan putranya ke Sekolah Rendah Belanda sebagai tangga pertamanya. Bahkan, karena bahasa Belandanya yang masih kurang, ayahnya mendatangkan Juffrouw Maria Paulina De La Riviere, guru bahasa Belanda Europeesche Lagere School (ELS).

Meskipun ayahnya ingin Sukarno dapat menempuh studi di Negeri Kincir Angin, tetapi ia tidak menginginkan anaknya itu kebarat-baratan. Karenanya, ia menitipkannya kepada HOS Cokroaminoto, salah seorang kawannya di Surabaya, yang dijuluki sebagai Raja Jawa yang tak dinobatkan. Sukarno pun berangkat ke Surabaya dengan hanya membawa tas kecil berisi sedikit pakaian.

Penulis adalah pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU)