Opini

Telaah Kepatuhan Anak pada Orang Tua

Rabu, 7 Juni 2017 | 22:12 WIB

Oleh Muhamad Syahri Romdhon
Surat Luqman kerap kali menjadi rujukan sebagian orang tua untuk mengajarkan fondasi agama kepada seorang anak. Surat ini memiliki delapan ayat yakni 12 – 19 yang berisi tentang seruan tauhid, perintah anak tidak menyekutukan Allah, berbakti kepada orang tuanya, dan beberapa pelajaran lainnya.

Nyatanya, ayat bernada serupa tak hanya pada surat Luqman, melainkan juga tertera pada surat lainnya; Al-anam 151, Al-isra 23 – 30, Al-ahqaf 15 – 18, Annur 59, dll. Banyaknya penjelasan tersebut membuktikan tingginya posisi orang tua terhadap anaknya. Hal itu tampak jelas pada surat Al-isra ayat 23 yang bernada perintah pada anak untuk berbuat baik pada orang tuanya, dan juga melarang berkata “ah” apalagi membentak keduanya. 

Bahkan jauh sebelum lahir, banyak ayat menerangkan sejak awal proses penciptaan manusia (seorang anak), fase demi fase masa kandungan, melahirkan, menyusui, hingga menyapih. Tak sedikit juga ayat yang menjelaskan pelajaran hubungan antara orang tua dengan anaknya.

Namun, bila diperhatikan, satu dari delapan ayat surat Luqman tersebut memiliki nada atau warna berbeda, justru berupa larangan untuk mentaati perintah orang tua. Ayat itu berbunyi: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah engkau mematuhi keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik , dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadak-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembali kamu, maka Ku-beritakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan,” (Surat Luqman ayat 15)

Profesor Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-misbah volume sepuluh, menjelaskan Dan jika keduanya – apalagi kalau hanya salah satunya, lebih-lebih kalau orang lain – bersungguh-sungguh memaksamu untuk mempersekutukan tentang itu, apalagi setelah Aku dan rasul-rasul menjelaskan kebathilan mempersekutukan Allah, dan setelah engkau mengetahui bila menggunakan nalarmu, maka janganlah engkau mematuhi keduanya. Namun demikian jangan memutus hubungan dengannya atau tidak menghormatinya. 

Tak berhenti pada titik itu, Prof Quraish Shihab melanjutkan tafsir hingga halaman berikutnya, dan memperluas pembahasan dengan merujuk pada Surat Al-Ankabut ayat 8. Pasalnya, ayat ini memiliki makna dan nada sama, yakni larangan mematuhi kedua orang tuanya apabila memaksa menyekutukan Allah, yang berbunyi: “Dan Kami telah mewasiatkan manusia (wasiat yang) baik terhadap kedua orang tuanya dan jika keduanya memaksakanmu mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah engkau mematuhi keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembali kamu, lalu Aku kabarkan kepada kamu apa yang kamu kerjakan” (Surat Al-ankabut ayat 8)

Salah satu ahli tafsir Indonesia ini kembali membahas ayat secara luas. Dirinya mencantumkan sejumlah riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat. Namun paragraf berikutnya menarik perhatian saya, saat profesor menambahan keterangan yakni, ayat tersebut melarang siapapun walau anak untuk taat kepada makhluk – walaupun kedua ibu bapak – apabila ketaatan itu bertentangan dengan perintah Allah Swt. “la tha’ata li makhluqin fi ma’shiyat allah/ tidak dibenarkan taat kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah”. Demikian sabda Rasullullah SAW.

Dengan ini, pemahaman saya tentang “larangan mematuhi orang tua apabila memaksa menyekutukan Allah” menjadi lebih luas berupa “larangan mematuhi orang tua apabila menentang perintah Allah”. 

Bahkan keterangan berikutnya, seperti tulis Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya bahwa: “tidak termasuk sedikitpun (dalam kewajiban berbuat baik/ berbakti kepada keduanya) sesuatu yang mencabut kemerdekaan dan kebebasan pribadi atau rumah tangga atau jenis-jenis pekerjaan yang bersangkutpaut dengan pribadi anak, dan tentu lebih-lebih agama dan keyakinan.

Siapa yang bepergian untuk menuntut ilmu yang dinilainya wajib untuk mengembangkan dirinya atau untuk berbakti kepada agama dan negaranya, atau bepergian untuk memperoleh pekerjaan yang bermanfaat bagi dirinya atau umatnya, sedang kedua atau salah satu dari kedua orang tuanya tidak setuju-karena dia tidak mengetahui nilai pekerjaan itu – maka anak tidak dinilai durhaka, bukan juga dinilai tidak berbakti dari segi pandangan akal dan syara’ karena kebaktian dan kebajikan tidak mengharuskan tercabutnya hak-hak pribadi. 

Dalam kehidupan hari ini, masalah hubungan antar orang tua dengan anaknya menjadi kian kompleks tidak hanya soal agama, melainkan politik, moral, pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya. Semisal, durhakakah anak apabila tidak menaati orang tua untuk memilih calon pemimpin sesuai perintah orang tua? Salahkah anak ketika tidak mengikuti perintah “cara hidup” sesuai orang tua? Dosakah anak jika bertentangan dengan perintah keilmuan sesuai selera orang tua?
 
Pertanyaan serupa dapat terus meningkat. Bagaimana anak apabila kedua atau salah satu orang tuanya (secara langsung atau tidak langsung) menyuruh atau mengajak kerjasama merusak alam (bertentangan dengan surat Ar-rum; 41-42 dan Al-a’raf; 56-58), mengorupsi dana rakyat (bertentangan dengan Ali-imran; 161, Al-baqarah; 188), hingga mengajak membenci atau memusuhi semasa manusia (bertentangan dengan Fushilat;34, Almumtahanah;7-9). Kesemuanya itu tidak menggunakan kata “menyekutukan Allah”, namun bertentangan dengan perintah Allah. 

Telaah sederhana nan singkat ini berupaya mengajak dan menengok kembali sikap orang tua yang terkadang terlalu memaksakan kehendak pada seorang anak. Hingga mereka tak sadar telah melewati batas. Lalu pertanyaan berikutnya, bagaimana sikap seorang anak apabila berada dalam posisi demikian, jawabannya, mari kembali menelaah. Wallahualam bishoab

Penulis adalah anggota petani Li-Terasi, dan nyantri di Komunitas Ghuraba Circle Cirebon