Hasibullah Satrawi
Kolomnis
Judul tulisan di atas terilhami oleh tiga hal. Pertama, perkembangan perang antara Hamas dengan Israel yang sampai sekarang belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Alih-alih, perang justru semakin melebar, khususnya ke Lebanon, Tepi Barat, sebagian wilayah di Suriah bahkan hingga ke Iran.
Sementara jumlah korban dari perang yang berkobar sejak 7 Oktober 2023 ini sudah sampai pada batas yang tak dapat ditoleransi. Andai yang menjadi korban “hanyalah” pihak bersenjata (seperti militer Israel ataupun pejuang Hamas), mungkin masyarakat dunia masih bisa memaklumi. Toh, perang bukan hanya sekarang terjadi. Sejarah perang bisa disebut sudah setua dan seumur peradaban manusia.
Persoalannya adalah, yang terjadi di Gaza dan beberapa tempat lain di sekitar Palestina hari ini bukanlah perang dalam pengertian umum; paling tidak ada batasan dan aturan yang dihormati oleh kedua pihak yang berperang. Dalam hemat penulis, perang Gaza hari ini sudah melanggar semua tata nilai mana pun, dari aturan paling agamis hingga aturan paling sekuler.
Tingginya korban inilah yang membuat banyak pihak mengecam pihak Israel. Bahkan Amerika Serikat (AS) yang selama ini mendukung Israel secara “buta-tuli” menggunakan istilah korban sipil dari perang di Gaza terlalu tinggi, seperti pernah disampaikan Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, beberapa waktu lalu (Al-jazeera.net, 17/07).
Kedua, semangat dan nilai yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi; Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Ini alinea pertama dalam Pembukaan UUD 1945.
Secara kajian teks, alinea pertama dalam sebuah karya tulis selalu memiliki makna penting dan urgen (bahkan bisa yang paling penting sekaligus paling urgen). Walaupun kita mafhum, alinea pertama ini terkait dengan kondisi bangsa Indonesia yang ingin merdeka dari penjajahan saat itu. Karena itu, sesungguhnya alinea pertama ini lebih memiliki makna ke internal Indonesia dari pada sebagai “kebijakan” terhadap pihak luar.
Namun demikian, sebagaimana juga sesuai dengan kajian teks, sebuah teks harus dipahami sesuai keumuman lafal (atau teksnya) dari pada kekhususan sebab atau konteksnya. Minimal ini kaidah penafsiran dalam hukum Islam yang berbunyi: al-‘ibratu bi’umumil lafzi la bikhususis sabab (sebuah teks harus dipahami dalam keumuman lafal atau teks yang ada, dari pada kekhususan sebab atau konteksnya).
Karena itu, kalau kaidah ini diterapkan dalam konteks alinea pertama dalam Pembukaan UUD 1945, maka konteks semangat anti-penjajahan yang terdapat dalam alinea pertama tersebut harus dipahami dalam maknanya yang umum (penjajahan secara umum), dari pada sebab atau konteksnya yang khusus (kemerdekaan atau keterjajahan Indonesia).
Ketiga, besarnya dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina, baik Indonesia sebagai pemerintah ataupun Indonesia sebagai masyarakat. Sejauh ini para pejabat di negeri ini kerap menyampaikan dukungan atas kemerdekaan Palestina, mulai dari presiden hingga RT, mulai dari Jakarta hingga pelosok-pelosok desa. Inilah cerminan sikap Indonesia sebagai pemerintah atas kemerdekaan Palestina. Sementara pelbagai macam aksi demo masyarakat (atau aksi lainnya seperti donasi) bisa dipahami sebagai bentuk dukungan Indonesia sebagai masyarakat terhadap kemerdekaan Palestina.
Memang, tak dapat dipungkiri adanya elemen atau pihak-pihak tertentu di masyarakat Indonesia yang justru mendukung Israel (daripada Palestina). Mereka harus tetap dilindungi oleh negara dengan semua haknya. Namun negara tentu harus memerhatikan masyarakat secara umum dengan tetap memerhatikan pandangan dan hak-hak mereka.
Dengan melihat perkembangan yang ada (khususnya tiga hal di atas), penulis mengusulkan pentingnya mengaktifkan alinea pertama dari Pembukaan UUD 1945 dengan membentuk UU kemerdekaan. UU ini bisa dalam bentuk UU khusus (UU kemerdekaan), atau setidak-tidaknya merevisi UU Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri. UU ini menjadi langkah nyata sebagai upaya mewujudkan Visi Indonesia Merdeka terkait hak kemerdekaan dan semangat anti-penjajahan.
Melalui regulasi ini, diharapkan ada langkah-langkah strategis dan perencanaan matang sebagai bentuk dukungan Indonesia terhadap bangsa-bangsa lain yang sekarang belum merdeka, tidak hanya tentang kebijakan luar negeri Indonesia terhadap negara-negara yang sudah merdeka (sebagaimana kandungan UU Nomor 37 Tahun 1999 dan Perpres Nomor 116 Tahun 2020 tentang Kementerian Luar Negeri).
Dalam pandangan penulis, hal penting yang harus diatur dalam regulasi ini adalah batasan-batasan nilai. Sebagai contoh, regulasi ini perlu mengatur tentang segala hal terkait kemerdekaan bangsa terjajah seperti dialami Palestina sekarang. Namun dukungan yang ada tidak boleh sampai berbentuk anti-semit, terlebih lagi bermaksud menghancurkan Israel sebagai sebuah negara. Dalam konteks Palestina-Israel, regulasi ini harus membawa semangat solusi dua negara: Israel dan Palestina yang berdampingan secara damai dan saling menghormati sebagai tetangga.
Pun demikian, UU ini bisa mengatur (melarang atau membolehkan) warga negara Indonesia yang mau bertemu dengan pihak-pihak tertentu di Israel. Sebagaimana regulasi ini bisa mengatur lebih spesifik tentang produk yang harus diboikot oleh masyarakat dan terutama oleh pemerintah sendiri.
Semua aturan yang ada (melarang atau membolehkan) harus fokus pada alasan hukum dan nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia (seperti pihak-pihak yang terlibat atau melakukan aksi kekerasan). Hingga regulasi ini tidak justru bertabrakan dengan nilai-nilai lain, termasuk nilai-nilai kebebasan dan HAM yang dijunjung tinggi di Indonesia.
Melalui UU ini, Indonesia bisa memulai langkah besarnya terkait dunia global sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri Republik dan digariskan dalam pembukaan UUD 1945. Semangat dan nilai-nilai di dalam Pembukaan UUD 1945 tak mungkin bisa dihapus, terutama Alinea Pertama. Ini sudah menjadi kewajiban (tak sekadar panggilan) sejarah untuk mewujudkannya.
Dari perspektif Indonesia Merdeka, apa yang terjadi di Gaza dan sekitarnya dalam 1 tahun terakhir (dengan seluruh korban yang nyaris tak bisa digambarkan dengan kata-kata lagi) cukup menjadi bukti bagi semua terkait pentingnya kemerdekaan dan perdamaian abadi. Penjajahan hanya melahirkan penderitaan dan kesengsaraan bagi segenap umat manusia.
Inilah waktu dan momentum yang pas bagi Indonesia untuk memulai kerja besar dan bersejarah di level dunia ini. Terlebih lagi momentum sekarang bersamaan dengan pergantian kepemimpinan nasional, dari kepemimpinan Presiden Jokowi ke kepemimpinan Prabowo sebagai presiden terpilih. Presiden Prabowo ke depan sejatinya mewujudkan visi Indonesia Merdeka terkait hak kemerdekaan dan semangat anti-penjajahan di kancah global.
Hasibullah Satrawi, warga NU, pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
3
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua