Opini

Warisan Juang Santri: Menapaki Tantangan Zaman dan Masa Depan

Rabu, 23 Oktober 2024 | 08:34 WIB

Warisan Juang Santri: Menapaki Tantangan Zaman dan Masa Depan

Para santri memperingati Hari Santri Nasional (Foto: NU Online)

Hari Santri adalah momen penting bagi kita untuk kembali merenungi kontribusi santri dan ulama dalam membangun bangsa ini. Peringatan Hari Santri yang telah berlangsung selama sembilan tahun bukan hanya sekadar mengenang perjuangan masa lalu, tetapi juga mengajak kita untuk menatap ke depan serta mempersiapkan langkah-langkah menuju masa depan yang lebih baik.


Tema "Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan" yang diusung oleh Kementerian Agama pada peringatan Hari Santri tahun 2024 ini menjadi seruan bagi para santri di seluruh Indonesia. Ini adalah ajakan untuk terus berjuang demi terwujudnya Indonesia yang lebih maju dan berkeadilan. Selain itu, tema ini juga menyampaikan pesan moral kepada santri untuk terus belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh demi meraih mimpi dan cita-citanya di masa depan.


Makna "Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan" sangat relevan bagi santri yang masih belajar di pondok pesantren, serta bagaimana mereka dapat menyiapkan diri untuk mewujudkan seruan sekaligus pesan moral tersebut.


Tradisi Panjang Perjuangan Santri
Sejarah mencatat bahwa kalangan ulama dan santri telah lama berperan aktif dalam mewarnai perjuangkan kebangsaan Indonesia, bahkan sejak sebelum lahirnya kemerdekaan. Salah satu tonggak awal perjuangan ini adalah Perang Kedongdong pada tahun 1802, di mana para ulama dari Cirebon seperti Bagus Rangin, Bagus Serit, Bagus Jabin, dan Nairem memimpin perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Peristiwa ini menjadi cikal bakal terbentuknya tradisi juang ulama-santri di Indonesia (Zamzami Amin, 2014: 165).


Tidak hanya dalam Perang Kedongdong, ulama dan santri juga terlibat dalam Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Gerakan ini menunjukkan bagaimana santri dan ulama berhasil menyatukan Islam dengan kearifan lokal untuk melawan penjajahan. Ini sekaligus menjadi bukti nyata peran penting ulama dan santri dalam politik serta gerakan antikolonial pada abad ke-19 (Bizawie, 2016: 413).


Puncak dari perjuangan ulama-santri melawan penjajah terjadi pada peristiwa Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Fatwa ini menggerakkan kaum santri dan umat Islam untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru seumur jagung. Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya menjadi simbol kekuatan perlawanan ini, dan kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.


Selain dalam perjuangan fisik melawan penjajah, kontribusi ulama dan santri juga terlihat dalam proses politik dan pembangunan kebangsaan pasca-kemerdekaan. Salah satu momentum penting adalah Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-27 di Situbondo pada tahun 1984, di mana NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Ini menunjukkan komitmen ulama-santri dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan konsensus kebangsaan berdasarkan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945.


Sejarah panjang perjuangan ulama-santri membuktikan kecintaan dan komitmen mereka terhadap bangsa ini. Semangat juang yang diwariskan oleh para pendahulu menjadi teladan bagi generasi santri hari ini, bahwa hidup mereka bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk berbakti kepada negeri sesuai zaman yang sedang berjalan.


Tantangan Zaman di Era Disrupsi
Saat ini, tantangan yang dihadapi santri berbeda dari masa lalu. Jika dahulu musuh yang harus dihadapi adalah penjajahan fisik, kini santri berhadapan dengan disrupsi sosial, ekonomi, dan teknologi yang bergerak begitu cepat. Sejak era pandemi, istilah "disrupsi" telah menjadi bagian dari keseharian kita. Disrupsi adalah perubahan besar-besaran yang disebabkan oleh inovasi, teknologi baru, dan perubahan paradigma.


Salah satu contoh nyata dampak disrupsi adalah di bidang pendidikan. Sistem pendidikan yang dulu sangat bergantung pada interaksi tatap muka di ruang kelas kini telah bertransformasi menjadi lebih fleksibel, personal, dan terjangkau. Melalui platform pendidikan daring seperti Ruang Guru dan Khan Academy, akses terhadap pendidikan menjadi lebih mudah dan dapat diakses kapan saja serta di mana saja.


Disrupsi teknologi ini juga memengaruhi pendidikan di pesantren. Metode pembelajaran tradisional di pesantren perlu beradaptasi dengan teknologi, termasuk memanfaatkan pembelajaran daring untuk memperluas wawasan santri. Namun, disrupsi teknologi juga menghadirkan tantangan yang tak terduga. Misalnya, kecerdasan buatan dan otomatisasi dapat menggantikan peran manusia di berbagai bidang pekerjaan sehingga menciptakan ketidakpastian di pasar tenaga kerja.


Dalam menghadapi ketidakpastian masa depan, santri tidak hanya memerlukan pemahaman agama yang kuat, tetapi juga keterampilan yang relevan dengan perkembangan zaman. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, keterampilan apa yang perlu dipersiapkan santri di era yang serba tidak pasti ini? Apakah keterampilan yang mereka pelajari di pesantren saat ini masih akan relevan di masa depan?


Salah satu jawabannya adalah dengan memberikan penekanan pada pengembangan soft skills. Di antara berbagai soft skills, yang paling penting untuk dikuasai oleh santri adalah kemampuan mengenal diri sendiri. 


Dalam tradisi Islam, santri sering mendengar ungkapan, "Kenalilah dirimu, maka kamu akan mengenal Tuhanmu." Nasihat ini juga relevan dalam menghadapi ketidakpastian zaman. Yuval Noah Harari (2018: 290) menyebut bahwa di abad ke-21 ini, mengenal diri sendiri adalah salah satu kunci untuk bertahan.


Mengapa penting? Karena saat ini kita hidup di era "peretasan manusia." Dengan teknologi yang memantau setiap gerak kita melalui perangkat digital, algoritma mulai mengenal kita lebih baik daripada kita mengenal diri sendiri. Pada saat algoritma mengenal kita lebih baik dibanding kita sendiri, maka algoritma akan mengendalikan kehidupan kita. Jika kita tidak belajar mengenal diri, kita bisa kehilangan kendali atas kehidupan dan masa depan kita, karena keputusan yang diambil oleh algoritma berbasis data.


Soft skill kedua adalah belajar berpikir kritis. Menurut Carol Wade dalam esainya Critical Thinking: Needed Now More Than Ever, tujuan utama pendidikan adalah mengajarkan siswa berpikir mendalam, bukan sekadar mengumpulkan informasi. Tanpa kemampuan berpikir kritis, proses pendidikan menjadi kurang efektif (Wade, 2008: 11).


Meski ada hambatan yang tidak mudah dalam berpikir kritis, namun membantu siswa, santri, dan pembelajar lain untuk berpikir kritis menjadi sangat penting. Pesantren bisa mulai mengintegrasikan program pengembangan soft skill dalam kurikulum mereka. Kelas-kelas pengembangan diri, literasi digital, dan forum diskusi yang mendorong berpikir kritis bisa menjadi langkah awal agar santri siap menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian.


Melalui sejarah panjang perjuangan ulama-santri, kita belajar bahwa peran mereka selalu relevan bagi kemajuan bangsa. Kini, tantangan yang dihadapi santri mungkin berbeda, tetapi semangat juang mereka harus terus menyala untuk merengkuh masa depan yang lebih cerah dan penuh harapan.  


Faishol Adib, Alumnus Pesantren Krapyak Yogyakarta